mba' Juni, terima kasih sekali atas dukungannya...:). dan terima kasih pula
sudah memperjelas duduk perkara dan asal-usul timbulnya persoalan ini. Ma'af
mba' e-mail sifat bukan menjawab, tapi lebih ke asal -usul mengapa saya
menulis ini 'in the first place". Mungkin relevan mungkin tidak, boleh dibaca,
boleh tidak...:)).
 
   Alasan pertama saya menulis seperti itu adalah saya dilahirkan dari orang
tua yang punya perbedaan suku (1 Jawa, 1 Sunda). Walaupun, sama2 dari jawa,
kakak saya bisa "anti-jawa", dia maunya dibilang "Sunda", ngomong Sunda mau,
ngomong Jawa engga' mau. Walaupun tidak berat sifatnya, tapi perpecahan ini
terjadi di dalam core dari society itu sendiri, yaitu: kelurga. Saya yakin,
seyakin yakinnya bahwa situasi seperti ini banyak dialami oleh orang2 yang
mempunyai orang tua beda suku. 
   Alasan yang kedua, saya tidak bisa bahasa daerah, dan tidak mau belajar
bahasa daerah (karena alasan pertama tersebut). Sekarang di tempat saya
tinggal, beberapa dari teman2 saya berbahasa daerah. Walaupun mereka semua
adalah teman2 baik saya, dan saya sangat menghormati mereka dan begitu juga
sebaliknya. Di saat mereka ngomong bahasa daerah, di saat itu juga, mereka
secara tidak langsung membuat saya merasa "tersingkir". Perasaan seperti
lama-kelamaan akan dapat berubah menjadi kebencian. Sekali lagi ini yang
mengakibatkan perpecahan di dalam bangsa Indonesia sendiri.
   Alasan saya yang ketiga, menyangkutkan ras/suku dengan geografis, ini juga
salah satu sumber utama perpecahan bangsa kita. Tidak hanya dengan melayu,
tapi juga dengan orang cina, mereka sendiri terpecah2, cina jawa, terlebih
cina2 yang berasal, mulai dari daerah Jawa Tengah terus ke Timur, mereka lebih
suka ngumpul sama cina jawa (karena bisa ngomong jawa, lebih halus, dan lebih
sesuai dengan perasaan mereka), cina jakarta (merasa anak metropolitan)
ngumpul sama cina jakarta (ngomong tionghoa, kiblat: HongKong), mereka sendiri
merasa kurang senang dengan cina medan, yang menurut mereka perusak nama cina
di Indonesia, akibatnya, cina medan ngumpul sendiri. Tidak ada seorang yang
menyadari hal2 tersebut karena masing2 punya 1 common enemy, yang melayu
terhadap cina, yang cina terhadap melayu-nya. Populasi cina yang menjadi
minoritas di Indonesia, membuat mereka terlihat lebih bersatu kebanding
saudara2 melayunya. Ini yang membuat perasaan "anti-cina" atau "anti-melayu",
tapi apakah ini bisa disalahkan? jelas tidak, karena perasaan tersebut tidak
dimulai dari perasaan anti ras, tapi sifatnya lebih ke kedaerahan. Di agama
pun juga begitu, munculnya gereja jawa, gereja batak, gereja daerah2 lainnya.
Secara langsung, maupun tidak langsung, mengkontribusi ke perasaan sukuisme
yang tinggi, dan menyebabkan perpecahan bangsa. 

   Kemampuan kita, untuk merubah udara menjadi bermacam2 suara dengan vocal
cord kita, adalah pemberian Tuhan yang sangat berharga kepada kita. Ini adalah
salah satu step awal di evolusi manusia, yang membedakan manusia dengan
binatang. Bahasa ini pulalah yang telah mengantarkan manusia keluar dari gua2,
dan memulai peradaban.
  Berdasarkan ini saya melihat bahwa bahwa bahasa adalah pengikat suatu bangsa
atau community, dan itu yang harus kita semua sadari.Bahwa bahasa Indonesia,
adalah bahasa nasional, bahasa pengikat seluruh warganegara Indonesia. Sudah
menjadi kewajiban kita semua untuk menjunjung tinggi bahasa nasional kita.
Seperti orang2 Islam, Yahudi atau Hindu yang menjunjung tinggi dan memilih
bahasa arab, Hebrew, atau Sansekerta (respectively) sebagai bahasa kitabnya.
Kita harus dapat mengusahakan supaya bahasa daerah hanya dipakai untuk
upacara2 kedaerahan.
Usaha yang saya upayakan disini adalah menyadarkan sebanyak mungkin manusia
Indonesia, bahwa bahasa Indonesia itu bukan bahasa kedua, bahasa alternatif,
bahasa terjemahan, untuk orang2 yang tidak mengerti bahasa daerah.
   Atas dasar paham ini, saya berkesimpulan bahwa, bahasa daerah  maupun
bahasa asal itu sangat buruk pengaruhnya untuk menjaga keutuhan bangsa. 

Telepas dari semua BS yang saya uraikan diatas...:)). 1 yang tetap mejadi
pertanyaan saya: Mungkinkah memisahkan budaya daerah/asal dari bahasa
daerah/asal?. Melihat perkembangan agama yang ada di Indonesia, saya kira
mungkin. Seandainya kita dapat memisahkan bahasa kitab dengan bahasa sehari2,
bukanlah tidak mungkin membuat bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari2, dan
bahasa daerah sebagai bahasa Tradisional. Mungkin dengan mengshuffle staff
guru dari satu daerah ke daerah yang lain (ini saangggaaat berat...:)), atau
menghilangkan pelajaran bahasa daerah, di instansi2 sekolah di daerah2 +
menanamkan kesadaran yang tinggi terhadap guna dan makna memakai bahasa
Indonesia, kita dapat mengembalikan persatuan Indonesia, tanpa
menghapus/menghilangkan kebudayaan daerah, atau hormat kita terhadap
adat/istiadat nenek moyang kita.

Ichal


E R Juni <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

kalau mau mendukung boleh nggak ? :-)

menurut saya ini seperti buah simalakama, yang mau tidak mau harus pilih
salah satu (karena cara yang salah tentunya) padahal bisa kita 'makan'
dua2nya kalau mau berpikir sedikit...

1. konsep yang didapat dari orang tua adalah : pertahankan adat, junjung
tinggi asal daerah dan nenek moyang masing2... (mulia)

2. menyingkirkan segala perbedaan, bersatu sebagai bangsa indonesia yang
tak perduli bahwa kita berbeda, bhinneka tunggal ika, maju tak gentar
menghadapi dunia... (mulia juga)

tapi karena bangsa indonesia bangsa yang luhur budi dan menjunjung tinggi
nenek moyang, tapi dengan mental yang terjajah, implementasinya adalah :

1. primordialisme, rasa kesukuan yang tinggi, diskriminasi (baik S, A, R
maupun A) yang gila2an, pelaksanaan pesta adat yang berlebihan (boros
materi, buang2 uang, ini terutama pesta pernikahan), menghindari pernikahan
antar suku/ras, dan lain2..

2. dihindari, karena bisa mengganggu nomor 1, akibatnya indonesia sulit
maju, 200 juta lebih penduduk yang saya yakin minimal 5 % adalah bibit
unggul (itu aja udah berapa tuh, tidak usahlah kita bicara pembodohan
nasional 54 tahun...heheh..), jadi tidak pernah matang karena selalu
ditekan oleh 'kewajiban' nomor 1 di atas, yang nggak berani ditentang cuma
karena nggak ngerti prinsipnya *sebenarnya* apa. dan ketidakmengertian ini
sudah berlangsung sekian generasi, jadi memang butuh 'pemberontak' untuk
membongkarnya...

miskin kreatifitas, jadi teruskan saja apa yang selama ini dilakukan orang
tua kita, upacara sana dan upacara sini, tanpa ngerti itu maksudnya apa...
dan hasilnya bisa diduga, dari dulu orang indonesia ya begini terus, kalau
mau ngadu domba gampang, tinggal ungkit sedikit perbedaan salah satu unsur
sara, pasti langsung berantem, contoh paling gampang ya di milis permias
ini (contoh valid karena anggotanya supposedly terpelajar dan punya pikiran
terbuka), cukup senggol S, atau A, pasti sibuk adu pendapat tanpa hasil
yang jelas karena semua cuma mementingkan golongannya masing2. walaupun
begitu yang paling sering saya lihat sih adalah A yang terakhir
(antargolongan), coba aja inget jaman sidang umum kemarin, yang satu
nyenggol mega, yang sini nyenggol akbar tanjung, terus udah deh sibuk
belain jagoan masing2...  what a BIG BS ! (sesuai dengan subject nih)

hehe.... kita ini bodoh banget sih... ? mau aja terus2an diadu
begitu....  semua berasa paling bener, kritik sana kritik sini.... heh...
:-) terus lupa bahwa tujuan utama adalah bikin maju bangsa, bukan
membuktikan bahwa 'megawati emang nggak ngapa2in', 'amien rais harus turun'
dan lain2....  masa iya milis permias isinya juga cuma lawak seperti di
tanah air sana ? malu ah...


e r juni


____________________________________________________________________
Get your own FREE, personal Netscape WebMail account today at 
http://webmail.netscape.com.

Kirim email ke