MEDIA INDONESIA Jum'at, 01 April 2005 Jualan Ambalat dan Blok Lain Ashadi Siregar, Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogya, Yogyakarta.
DARI mana datangnya semangat Ganyang Malaysia (GM) yang tiba-tiba meruyak lewat aksi massa di berbagai daerah belakangan ini? Kondisi sekarang jauh berbeda dengan tahun 1960-an, saat semangat itu membakar massa di Indonesia. Adapun seruan GM sebagai agitasi dari Dwikora dicanangkan Bung Karno menentang pembentukan perserikatan Malaysia yang terdiri atas Semenanjung Malaya, Pulau Singapura, dan kawasan di Kalimantan Utara. Semangat GM dibangun melalui media massa, terutama RRI sebagai medium utama bagi Presiden Soekarno. Saat itu siaran televisi pemerintah terbatas hanya di Jakarta, sedang surat kabar biasanya memiliki rasionalitas dengan perspektif yang beragam, sehingga medium radio sangat pas untuk menampung retorika yang menggugah emosi. Bung Karno selaku Pemimpin Besar Revolusi menjadi sumber dari seluruh dinamika politik emosional yang diperlukan untuk berperang. Bung Karno yang tidak pernah menjadi tentara, melihat perang dengan kacamata romantika politik. Romantika politik ini merupakan pendorong bagi agitasinya melawan kolonialisme dan imperialisme sebagai suatu entitas ideologis, namun akan membawa konsekuensi fatal jika digunakan untuk menghadapi realitas empiris. Perang yang memiliki makna 'sakral' hanyalah perang kemerdekaan, melepaskan diri dari penjajahan dan melawan jika penjajahan kembali masuk. Perang semacam ini digerakkan dengan semangat kolektif dari rakyat sendiri. Di luar itu, setiap perang terbuka harus dinyatakan oleh presiden atas persetujuan DPR (Pasal 11 UUD 1945). *** Semangat GM yang menggerakkan massa pada tahun 2005 ini tentunya berbeda. Sebab tidak ada sumber agitasi semacam Bung Karno. Lalu 'hantu' mana gerangan yang merasuki para pengunjuk rasa itu? Saat ini pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, kendati berlatar belakang tentara, bukan tipe agitator haus perang. Tidak sekali pun pernah ada pernyataan yang mencerminkan agresivitas. Keberadaan publik dalam konteks ruangnya (public-sphere) pada dasarnya adalah lewat media massa. Dengan kata lain, keterlibatan publik kepada ruang publiknya secara psikis maupun fisik bertolak dari informasi yang diperoleh dari media massa. Sedangkan faktor yang 'menyulut' massa untuk anti-Malaysia sampai membakar bendera nasional negara tetangga serumpun itu pada tahun 2005 ini, tentulah lebih kompleks. Boleh jadi keterlibatan publik tidak semata-mata bermula dari kasus kapling minyak dasar laut (blok) Ambalat. TKI yang disakiti di Malaysia, bersama sanak keluarganya tentunya kalau jadi pengunjuk rasa, akan berkobar-kobar semangat kebenciannya. Tetapi bagaimana jika berasal dari DPR sendiri? Terbaca sebagai banner headline yang ditulis dengan huruf kapital koran Yogyakarta begini: SBY DIDESAK MAKLUMATKAN PERANG: KAPAL MALAYSIA KIAN NEKAT. Koran itu mengutip pernyataan Wakil Ketua DPR Zainal Ma'arif, antara lain: "Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar tak segan-segan segera mengeluarkan maklumat perang dengan Malaysia. Sebab dinilai Malaysia telah mempersiapkan berbagai skenario matang untuk merongrong kedaulatan RI''. Selanjutnya Zainal Ma'arif mengatakan, ''Tidak perlu ada diplomasi lagi dengan Malaysia yang nyata-nyata telah melecehkan harga diri kita sebagai bangsa yang berdaulat. Setelah menyakiti para TKI yang telah diperas tenaganya untuk membangun negerinya, kini Malaysia akan mencaplok wilayah Indonesia.''(Kedaulatan Rakyat, (14/3). Apakah fraksi-fraksi di DPR diasumsikan akan mendorong dan menyetujui agar presiden membuat pernyataan (maklumat) perang? Konsekuensi status belligerent dalam hukum internasional tentulah sangat dipahami oleh setiap anggota parlemen. Kalau untuk konflik yang berasal dari kasus bisnis minyak di suatu blok kawasan negara sampai menjadi perang antarnegara, entah macam apa jadinya politik luar negeri yang harus dijalankan. Apalagi jika bagi parlemen, urusan TKI dapat menjadi pemicu dari perang karena dianggap merongrong kedaulatan negara, sungguh gampang nantinya negara RI terlibat dalam perang. Media massa menjual kasus Ambalat, dengan fokus ketegangan militer. Judul-judul yang mengisi halaman depan koran seperti: Menghadapi Permainan Domino Malaysia: TNI Bertekad Habis-habisan, Empat Kapal Malaysia Tetap Berpatroli di Ambalat, dan judul senada lainnya. Kalau publik tergugah dengan judul-judul provokatif, dapat dimaklumi. Sedang anggota parlemen tentunya punya akses informasi yang lebih luas dan spesifik, bahkan yang tertutup bagi publik, sehingga keputusan kenegaraan bertolak dari informasi yang dibahas secara rasional. *** Urusan kedaulatan negara jelas merupakan masalah prinsipal. Tetapi apakah kasus Ambalat memang menyangkut kedaulatan negara? Sebelum menjadi isu politik media sudah memberitakannya dalam konteks bisnis. Urusannya di blok Ambalat adalah segi tiga: Pertamina - perusahaan operator - Petronas. Blok Ambalat, sama halnya dengan kaveling-kaveling kekayaan alam seperti hutan (HPH) dan pertambangan yang dimonopoli negara, umumnya dikontrakkan kepada perusahaan operator. Di awal Orde Baru, harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, sebagai crushader yang ingin membuka borok Pertamina. Tetapi perjuangannya kandas. Bisnis melalui blok minyak bumi menjadi semacam anugerah 'tanah perdikan' di kerajaan lama untuk membeli elite yang menjadi pengikut setia Soeharto, bersamaan dengan blok-blok hutan. Tuntutan Indonesia Raya di tahun 1970-an agar bisnis minyak bumi negara yang bersifat monopolistis dijalankan secara transparan dan akuntabel, akan tetap relevan. Untuk itu diperlukan fungsi media massa sebagai watch dog agar kontrak-kontrak yang menjuali blok-blok minyak bumi demi kepentingan bangsa, bukan untuk sejumlah elite. Karenanya, kasus Blok Ambalat yang mencuat sebagai isu politik menjadi tidak proporsional. Apakah Malaysia memang nyolong, alias kita kecolongan? Tunggu dulu. Kalau rajin mengikuti media massa, tentunya ketemu dengan data bahwa sejak lama Blok Ambalat dan blok lain yang berdekatan, sudah dijual oleh negara (cq Pertamina). Ada yang dijual kepada Total Indonesia untuk mengelola Blok Bunyu, BP dilepas pantai North East Kalimantan, Hadson Bunyu untuk Blok Bunyu, Eni Bukat untuk Blok Bukat, Eni Ambalat untuk Blok Ambalat (lihat Kompas, 7 Oktober 2004). Kasus Ambalat mencuat karena Petronas ("Pertamina"-nya Malaysia) menawarkan kawasan yang sama, sebab setelah Sipadan dan Ligitan dinyatakan oleh Mahkamah Internasional sebagai wilayah Malaysia, jaraknya ke kawasan blok minyak bumi itu dapat menjadi dasar klaimnya. Karenanya jangan buru-buru menyalahkan pihak lain. Kalau mau introspeksi adalah pada pemerintahan Megawati, setelah Sipadan dan Ligitan lepas dari kedaulatan RI di era pemerintahannya, tidak menindaklanjuti dengan perundingan bilateral batas wilayah lepas pantai masing-masing. Ini repotnya pemerintahan yang suka 'tidur siang', banyak urusan yang ditinggalkan, harus diselesaikan pemerintahan berikutnya. *** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/