Suara Karya

Kompensasi BBM dan Pendidikan Gratis
Oleh Sabaruddin Siagian 

Jumat, (01-04-'05)
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (MJK) 
masing-masing terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, ada harapan yang 
besar dari masyarakat bahwa permasalahan bangsa, khususnya permasalahan 
perekonomian, dapat lebih tertangani dengan baik. Besarnya harapan masyarakat 
tersebut bisa dimengerti, karena pasangan SBY-MJK pada masa kampanye pemilihan 
presiden sangat banyak menabur janji-janji bahwa akan ada perubahan yang besar 
bila mereka memimpin negeri ini. 

Besarnya harapan akan adanya perubahan dalam pengelolaan negara, khususnya di 
dalam pemberantasan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), membuat 
kalangan dunia usaha pun meningkatkan laju usahanya. Meningkatnya laju dunia 
usaha tersebut sudah terlihat pada kinerja perekonomian kita pada 2004 yang 
cukup memuaskan, pertumbuhannya mencapai 5,13 persen. Begitu juga perbankan 
nasional telah melakukan ekspansi kredit sebesar 27 persen. 

Tetapi, ketika menjalankan pemerintahan, khususnya di dalam masa 100 hari, 
kinerja pemerintahan SBY dan MJK masih jauh dari memuaskan. Apa yang mereka 
janjikan pada masa kampanye, yakni adanya perubahan dalam pengelolaan negara, 
belum terlihat pada kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan mereka. 

Lebih mengenaskan lagi, walaupun kinerja pemerintahan mereka masih jauh dari 
memuaskan dan masa pemerintahan mereka belum mencapai 5 bulan, SBY-MJK masih 
berani menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 29 persen. Tentunya 
kita bertanya, apa dasar pemerintahan SBY-MJK sampai berani menaikkan harga 
BBM? Apakah benar kebijakan dana kompensasi BBM dapat mengurangi jumlah orang 
miskin? Dan, ke manakah dana kompensasi BBM disalurkan supaya efektif 
penggunaannya? Hal-hal ini penulis bahas pada tulisan ini. 

Orang Miskin Berkurang?


Dilihat dari sisi perhitungan ekonomi, kebijakan menaikkan harga BBM memang 
tepat sekali. Karena kalau harga BBM tidak dinaikkan, maka beban subsidi BBM 
yang akan ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin 
besar, dapat mencapai Rp 60 triliun. Dan, bila subsidi BBM tidak dikurangi, 
tentu hal ini akan menggangu kesinambungan pembangunan nasional dan 
terganggunya pelayanan kepada masyarakat. 

Tetapi, bila dilihat dari sisi kinerja pemerintahan dan masa pemerintahan 
SBY-MJK, maka pemerintah belum tepat menaikkan harga BBM sekarang ini. Untuk 
menaikkan harga BBM, sebaiknya pemerintahan SBY-MJK menunjukkan dulu 
kinerjanya, khususnya dalam pemberantasan KKN. 

Sebelum menaikkan harga BBM, pemerintah harus mempersiapkan secara matang 
pelaksanaan kebijakan tersebut. Khususnya, merencanakan ke mana dana kompensasi 
BBM tersebut disalurkan. Sehingga, dengan adanya persiapan yang matang, 
masyarakat tidak terlalu besar merasakan dampak dari kebijakan kenaikan harga 
BBM. 

Salah satu dari ketidakmatangan persiapan pelaksanan kebijakan kenaikan harga 
BBM tercermin dari pernyataan pemerintah mengatakan, kebijakan kenaikan harga 
BBM tidak menimbulkan jumlah orang miskin, tetapi sebaliknya akan menurunkan 
orang miskin. Dasar pemerintah mengatakan bahwa kebijakan kenaikan harga BBM 
akan menurunkan orang miskin karena pemerintah akan mengalihkan pencabutan dana 
subsidi BBM ke dalam bentuk dana kompensasi BBM untuk membiayai pengurangan 
jumlah orang miskin. 

Pemerintah mengambil kesimpulan bahwa dana kompensasi BBM akan menurunkan 
jumlah orang miskin merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Lembaga 
Penyelidikan Ekonomi dan Masyakarat (LPEM) Universitas Indonesia. Hasil kajian 
LPEM tersebut telah diiklankan oleh Freedom Institute di Harian Kompas sebelum 
kebijakan kenaikan harga BBM diambil oleh pemerintah. 

Dari hasil penelitiannya, LPEM UI mengambil kesimpulan, bahwa dengan kenaikan 
harga BBM sebesar 29 persen, jumlah orang miskin akan meningkat dari 16,2 
persen menjadi 16,5 persen. Tetapi, dengan adanya penyaluran dana kompensasi 
BBM tersebut, maka jumlah orang miskin akan berkurang, dari 16,2 persen menjadi 
13,7 persen. 

Akan tetapi, hasil penelitian Institute for Development of Economics and 
Financial (Indef) dan Studi Hamonangan Ritonga (SHR) berbeda dengan hasil 
penelitian yang dilakukan LPEM. Menurut Indef dan SHR, kendatipun seluruh dana 
kompensasi BBM disalurkan sebesar Rp 18,77 triliun, akan tetap ada peningkatan 
jumlah orang miskin sebesar 2 persen. Dengan demikian, menurut IndefF dan SHR, 
jumlah orang miskin meningkat menjadi sebesar 18,7 persen dari 16,7 persen. 

Selain penelitian Indef dan SHR, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Smeru, 
Brighten Institute juga mengadakan penelitian mengenai dampak kebijakan 
kenaikan harga BBM dan dampak pemberian dana kompensasi BBM. Penelitian mereka 
menyebutkan bahwa kebijakan kenaikan BBM akan meningkatkan jumlah orang miskin 
meskipun dana kompensasi BBM disalurkan. 

Penyebab utama perbedaan hasil penelitian tersebut terletak pada asumsi 
penyaluran dana kompensasi BBM tersebut. LPEM mengasumsikan bahwa penyaluran 
dana kompensasi BBM semuanya tepat sasaran. Di lain pihak, Indef dan SHR 
mengasumsikan bahwa dalam penyaluran dana kompensasi BBM tidak semua tepat 
sasaran, dengan mengacu pada penyaluran dana kompensasi BBM tahun 2001-2003 
pada Sensus Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Biro Pusat 
Statistik (BPS). 

Ganasnya praktik KKN di Republik ini - survei korupsi lembaga domestik dan 
internasional pun mendukung hal tersebut - baik yang terjadi di kalangan 
birokraksi maupun masyarakat bisnis, membuat asumsi Indef dan SHR sangat 
realistis dibandingkan asumsi LPEM yang dipergunakan untuk menghitung dampak 
kenaikan harga BBM terhadap jumlah orang miskin. Dengan demikian, hasil 
penelitian Indef dan SHR dapat diterima keabsahannya. Artinya, memang jumlah 
orang miskin akan meningkat dengan adanya kebijakan kenaikan harga BBM meskipun 
ada penyaluran dana kompensasi BBM. 

Penulis tidak habis pikir, mengapa LPEM dalam menghitung kebijakan kenaikan 
harga BBM terhadap perubahan jumlah orang miskin tidak memasukkan 
ketidaktepatan penyaluran dana kompensasi BBM di dalam penelitiannya. Padahal, 
seperti diketahui, birokrasi kita sangat korup. Di samping itu, kemampuan 
birokrasi dalam mendata masyarakat miskin masih lemah. 

Yang lebih aneh lagi, begitu mudahnya pemerintah menelan bulat-bulat hasil 
penelitian yang dibuat LPEM tanpa mengkaji lebih dalam hasil penelitian 
tersebut atau membandingkannya dengan hasil penelitian lembaga-lembaga lain, 
seperti penelitian BPS dan lembaga-lembaga penelitian lain yang sudah dikenal 
reputasinya. 

Pendidikan Dasar Gratis


Berdasarkan hasil Susenas BPS selama 2001-2003, dana kompensasi BBM yang 
disalurkan ke masyakarat ketepatannya sangat rendah sekali, kurang dari 30 
persen. Rinciannya antara lain, masyarakat miskin yang mendapat kartu sehat 
hanya 26,53 persen, beasiswa 33,34 persen, beras untuk masyarakat miskin 25,93 
persen, serta kredit usaha di bawah Rp 10 juta hanya 9,89 persen. Berarti, 
sekitar lebih dari 70 persen dana kompensasi BBM salah sasaran dan 
disalahgunakan. 

Besarnya ketidaktepatan dalam penyaluran dana kompensasi BBM disebabkan 
pemerintah daerah kurang mengetahui data kantong-kantong kemiskinan di setiap 
daerah. Selain itu kriteria orang miskin atau orang yang berhak menerima dana 
kompensasi BBM pun belum akurat diketahui oleh pemerintah daerah. 

Penyaluran dana kompensasi BBM bagi anak-anak sekolah yang tidak mampu atau 
masyarakat miskin sangat kecil sekali, hanya sebesar Rp 5,6 triliun bagi 9,77 
juta siswa. 

Yang menjadi pertanyaan, apakah dana besar itu mampu untuk membayar SPP, buku 
dan alat tulis, uang pangkal sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, uang 
transport, kegiatan ekstrakurikuler, akomodasi, dan lain-lain? Tentunya tidak 
mungkin, bukan? 

Untuk memberi akses bagi masyarakat miskin agar memperoleh pendidikan layak dan 
mencegah penyalahgunaan dana kompensasi BBM, maka sebaiknya dana kompensasi BBM 
diintegrasikan dengan APBN. Adapun dana kompensasi BBM tersebut dipergunakan 
untuk membiayai program pendidikan dasar secara gratis. 

Program pendidikan dasar gratis sembilan tahun bagi SD dan SLTP sebenarnya 
sudah diamanatkan oleh UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 
Namun sudah dua tahun ini amanat undang-undang tersebut belum bisa dilaksanakan 
karena terkendala soal pendanaan. Jadi, dengan adanya dana hasil pencabutan 
subsidi BBM ini, program pendidikan dasar gratis sebaiknya menjadi prioritas 
pelaksanakannya.*** 

(Penulis anggota ISEI, alumnus Pascasarjana
Universitas Pancasila, Jakarta).

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke