http://www.sinarharapan.co.id/berita/0505/02/sh05.html
Nasib Guru Bantu yang Tak Terbantu SERANG-Sukardi tidak tahu siapa yang harus disalahkan atas nasibnya yang hampir 17 tahun menjadi guru bantu Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ciruas, Kabupaten Serang, Banten, dengan honor antara Rp 90.000-Rp 150.000 per bulan. Besaran honor itu jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Serang Rp 675.000 per bulan. "Kalau sekolah sedang banyak uang, honor saya naik. Tapi kalau sedang tidak punya uang, ya paling menerima Rp 90.000, Pak," kata Sukardi yang menempati rumah dinas di samping sekolah. Rumah dinas itu tidak ditempati oleh kepala sekolah atau guru tetap yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) karena mereka sudah memilik rumah sendiri. Jika dihitung dengan 26 hari kerja, honor Sukardi hanya Rp 3.400-Rp 5.800 per hari. Honor itu sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup Sukardi bersama istri dan dua anaknya. Misalnya, harga beras termurah dengan kualitas sedang di pasaran saat ini sekitar Rp 2.300 per kg, yang berarti telah menghabiskan separuh honornya. Ini belum kebutuhan lain seperti minyak, sayur, gula, terigu, bahan bakar minyak (BBM) dan seterusnya. Untuk menutupi kekurangan itu, Sukardi memperlihatkan warung bambu yang dibuat di depan sekolahnya. Istrinya, Enah, berjualan makanan untuk anak sekolah mulai dari bakwan, pisang goreng, cireng (aci digoreng), es plastik dan sebagainya. Penghasilan dari warung ini memang jauh lebih besar dibandingkan dengan honornya sebagai guru SD. Sukardi hanya tersenyum ketika ditanyakan penghasilannya untuk membeli buku-buku yang berkaitan dengan profesinya sebagai guru. "Boro-boro buat beli buku, untuk makan saja susah. Saya hanya mengandalkan buku-buku paket, koran dan majalah yang ada di sekolah," ujarnya dengan suara perlahan. Ironisnya, Sukardi, adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Serang tahun 1987 yang khusus dibentuk pemerintah untuk memenuhi kebutuhan guru SD. Pemerintah kemudian membubarkan sekolah ini dan mengeluarkan peraturan baru, yaitu untuk menjadi seorang guru harus memiliki sertifikat akta IV atau setara diploma III. Ini berarti para lulusan SPGN harus melanjutkan pendidikannya jika tetap berkeinginan menjadi guru SD. Sukardi tidak bisa memenuhi persyaratan itu karena kondisi keuangan orang tuanya yang pas-pasan. "Dulu, orang tua saya menyekolahkan anak ke SPGN dengan alasan cepat kerja menjadi guru," katanya seraya menyebutkan orang tuanya bekerja sebagai petani di daerah Pamarayan, Kabupaten Serang. Akibatnya, dia tidak pernah lulus mengikuti tes menjadi guru yang berstatus PNS. Adang Effendi, mantan Wakil Kepala SPG Negeri Serang yang merangkap Kepala SPG Muhammadiyah, mengemukakan angka 3.000-5.000 lulusan SPG yang nasibnya tidak menentu. Mereka berasal dari lulusan SPG Negeri, 3 SPG swasta dan Kursus Pendidikan Guru (KPG). Lulusan ini tidak diperhatikan nasibnya setelah pemerintah mengubah kebijakan penyediaan guru dengan cara membubarkan SPG. Tukang Ojek Nasib serupa dialami Sutarjo, guru honor di SDN Sepang, Kabupaten Serang. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Sutarjo mengojek sepeda motor pada sore hingga malam hari. Pekerjaan sampingan itu bisa menghasilkan Rp 15.000-Rp 25.000 per hari setelah dipotong sewa motor Rp 10.000 dan bensin. Jika sedang ramai, dia berpenghasilan Rp 40.000-Rp 50.000 dalam semalam. Selain mengojek, Sutarjo juga diminta mengajari beberapa murid di rumah. Waktunya dari pukul 15.00-17.30 WIB. Selepas jam itu, Sutarjo mengojek lagi. "Ada orang tua murid yang tahu saya mengojek pada sore hari. Mereka malah jadi langganan. Saya pagi-pagi menjemput anak-anak itu. Di sekolah, saya yang mengajar. Kemudian saya antarkan sepulang sekolah. Ongkosnya lumayan, Pak," katanya. Celakanya, tingkat kesejahteraan guru honor itu tak banyak diperhatikan pemerintah. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Serang, Agus Makmun dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Didi Supriyadi, mengemukakan guru honor itu sepenuhnya tanggung jawab sekolah. Besaran honornya disesuaikan dengan kemampuan keuangan sekolah. Namun kedua pejabat itu mengakui di wilayah kerjanya dirasakan kekurangan tenaga pengajar, terutama untuk tingkat sekolah dasar (SD). Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Didi Supriyadi, menyebutkan tahun 2003 tercatat jumlah kekurangan hampir 20.000 guru agama, guru kelas, guru olahraga dan kepala sekolah di empat kabupaten dan dua kota di Banten. Ini belum termasuk kekurangan guru di sekolah tingkat lanjutan pertama (SLTP) dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Agus Makmun, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Serang, membenarkan kekurangan guru itu menyebabkan seorang guru harus mengajar 2-4 kelas dalam sehari. Bahkan guru itu merangkap beberapa mata pelajaran, mengakibatkan kualitas pendidikan yang dihasilkan rendah. Dan, efektivitas pengajaran semakin berkurang akibat jumlah murid dalam satu kelas bisa mencapai 40-50 murid. "Pemerintah bukan tidak memperhatikan nasib mereka. Buktinya, pemerintah membuat program guru bantu sekolah (GBS) yang honornya diperoleh dari APBN," kata Didi Supriyadi, Kadis Pendidikan Provinsi Banten. Program GBS ini dimulai tahun 2003 dengan masa kontrak 2,5 tahun. Untuk Provinsi Banten, besarnya honor GBS sekitar Rp 450.000 per bulan. Namun Didi tidak mau berkomentar ketika disebutkan para GBS itu ternyata tidak memiliki latar belakang pendidikan mengajar (SPG). Program ini banyak merekrut lulusan SMA dan hanya sebagian kecil lulusan SPG yang bisa lulus dalam tes tersebut. "Yang penting kami tidak menyalahi aturan," kilahnya. Dan, nasib GBS pun tidak jauh berbeda. Pasalnya, honor dari pemerintah pusat diterima tersendat-sendat. Misalnya Ratna, GBS yang ditempatkan di SD Padarincang, 15 kilometer sebelah selatan Kota Serang, hampir setiap bulan selalu mencari pinjaman untuk menutupi ongkos transpor ke SD dan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. "Sejak bulan Desember 2004, kami belum menerima honor GBS. Rasanya malu kepada tetangga, utang sudah bertumpuk. Syukurnya, orang tua saya sering memberi bantuan ongkos," katanya. Kepala Dinas Pendidikan Banten Didi Supriyadi membenarkan sering terlambatnya pengiriman honor GBS dari pemerintah pusat. "Kami sudah mencoba memberitahukan hal ini, tapi tetap saja dari sananya telat. Kami tidak bisa menanggulangi dari alokasi APBD karena keterbatasan dana," ujarnya. Kalau sudah begini, janji para petinggi pemerintah tentang perbaikan kesejahteraan guru dan program-program peningkatan mutu sekolah dipandang sebagai pemanis mulut saat membangun citra si petinggi itu. Boleh jadi, kalimat hiburan, yaitu guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa harus disertai kalimat berikutnya, yaitu tanpa kesejahteraan yang memadai. Kasihan. (SH/iman nur rosyadi) Copyright © Sinar Harapan 2003 [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/