Jawa Pos
[ Rabu, 27 Januari 2010 ] 

Gejolak Harga Pangan 

Oleh: Toto Subandriyo 


MEROKETNYA harga komoditas pangan beberapa waktu terakhir ini mengingatkan kita 
terhadap peringatan yang pernah disampaikan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi 
dan Pembangunan (OECD) serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) 
beberapa waktu lalu. Peringatan tersebut secara eksplisit dituangkan dalam 
laporan bertajuk OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016. 

Laporan itu menyebutkan, dalam waktu sepuluh tahun ke depan akan terjadi 
perubahan permanen terhadap struktur perdagangan komoditas pangan dunia. 
Menurut Direktur Jenderal FAO Dr Jacques Diouf, kondisi tersebut merupakan 
resultan naiknya permintaan pangan, pesatnya pertambahan penduduk dan 
pertumbuhan ekonomi di negara-negara emerging countries (Brazil, India, dan 
Tiongkok), terjadinya perebutan bahan pangan untuk pengembangan biofuel, serta 
turunnya pasokan komoditas pangan akibat pengaruh perubahan iklim (utamanya 
banjir dan kekeringan).

Saat ini dunia memasuki harga keseimbangan baru komoditas pangan. Dunia sudah 
mengucapkan sayonara terhadap kebijakan pangan murah. Untuk komoditas gula, 
misalnya, saat ini rasanya mustahil dapat mengembalikan harga eceran pada 
tingkat semula di kisaran Rp 6.000-Rp 7.000 per kilogram. Harga keseimbangan 
baru akan berkisar pada Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram.

Kini kenaikan harga gula di pasar internasional menembus level tertinggi selama 
28 tahun terakhir sejak 1981. Harga gula untuk pengiriman Maret 2010 di bursa 
berjangka New York Board of Trade (NYBOT) tercatat USD 26,76 sen per pon. 
Sementara itu, di bursa berjangka London, harganya telah mencapai 694,5 pound 
sterling per ton.

Perubahan struktur perdagangan komoditas pertanian di pasar dunia saat ini 
memunculkan beberapa pertanyaan besar, apakah kita akan tetap mengabaikan 
sektor pertanian yang merupakan sumber hidup utama bangsa ini? Apakah kita 
tetap akan abai terhadap sektor yang telah berkali-kali teruji sebagai "pemadam 
kebakaran" saat krisis multidimensi melanda negeri ini? 

Pelajaran Berharga 

Setidaknya, ada dua pelajaran yang dapat dipetik dari perubahan mendasar 
struktur perdagangan komoditas pangan dunia itu. Pertama, harga keseimbangan 
baru yang sangat tinggi bagi komoditas pangan menunjukkan kepada kita akan 
pentingnya posisi komoditas pangan saat ini. Komoditas pangan telah menjadi 
komoditas emas baru yang akan selalu diburu.

Sebagai negara gemah ripah loh jinawi, kondisi itu merupakan peluang bangsa 
Indonesia dan menjadikannya sebagai strarting point bagi kebangkitan 
agroindustri dan agrobisnis dalam negeri. Para pakar ekonomi pertanian yakin 
bahwa insentif harga jual yang tinggi terhadap komoditas pertanian bakal 
berpengaruh secara signifikan terhadap kegairahan petani dalam meningkatkan 
produksi.

Momentum itu menjadi suntikan energi baru yang sangat berharga bagi pencapaian 
swasembada beberapa komoditas pangan yang diupayakan, seperti daging dan gula. 
Termasuk juga mempertahankan swasembada berkelanjutan komoditas beras dan 
jagung. 

Pada era '60-an bangsa ini tercatat sebagai eksporter gula terbesar kedua di 
dunia setelah Kuba. Pada 1930 di bawah kendali Belanda, produksi gula Pulau 
Jawa mencapai 3 juta ton. Harga jual komoditas gula yang sangat tinggi di pasar 
dunia saat ini dapat dijadikan sebagai awal kebangkitan agroindustri gula di 
tanah air. Jangan sampai peluang yang sangat baik itu hanya menjadi "gula-gula" 
yang tidak dapat dinikmati para petani kita.

Pelajaran kedua, tingginya harga komoditas pangan di pasar dunia saat ini 
merupakan peringatan serius terhadap ketahanan pangan nasional. Sebab, hingga 
kini Indonesia masih tercatat sebagai negara importer utama beberapa komoditas 
pangan, mulai kedelai, gula, terigu, hingga garam. 

Setiap tahun devisa republik ini terkuras tidak kurang dari Rp 50 triliun untuk 
impor bahan pangan. Angka itu sungguh fantastis karena melampaui total anggaran 
sektor pertanian pada 2009, yang hanya Rp 40 triliun. Rata-rata APBD 
kabupaten/kota di Indonesia saat ini kurang dari Rp 1 triliun per tahun. 

Bagaimanapun, FAO pernah mengingatkan bahwa negara berpenduduk lebih dari 100 
juta orang seperti Indonesia tidak akan dapat membuat rakyatnya sejahtera jika 
pemenuhan pangan selalu diimpor. Lebih dari itu, kedaulatan pangan suatu negara 
bakal sangat terkait erat dengan kedaulatan negara tersebut di bidang sosial, 
ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan.

Kita dapat memetik pelajaran berharga dari peristiwa yang menimpa Uni Soviet. 
Benih-benih disintegrasi telah membuat bangunan kukuh negara superpower 
tersebut hancur berkeping-keping. Semua itu dipicu rapuhnya ketahanan pangan 
negara akibat jauh terperangkap jebakan pangan (food trap) yang dipasang 
negara-negara Barat.

Karena itu, sudah saatnya kita tegakkan ketahanan pangan bangsa ini di atas 
kemampuan sendiri. Sungguh terlalu berat ongkos sosial politiknya jika kita 
membiarkan gejolak harga pangan akhir-akhir ini menjadi bola liar. 

Hal tersebut perlu penulis tegaskan sehubungan dengan peringatan yang pernah 
disampaikan oleh Profesor Toruyano dari Tokyo University. Dia mengatakan, 
ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini tidak berasal dari serangan dan 
invasi negara asing, melainkan justru datang dari dalam negeri. Cukup disulut 
dengan isu kelangkaan kebutuhan pokok, keresahan sosial mudah sekali pecah. 
Bukankah yang dikhawatirkan Toruyano tersebut sudah sangat nyata?

*). Toto Subandriyo, alumnus IPB dan MM-Unsoed, kepala Kantor Ketahanan Pangan 
Kabupaten Tegal, Jateng 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke