Jawa Pos
[ Rabu, 27 Januari 2010 ] 

Mosi Tak Percaya bagi Dewan 

Oleh: Arfanda Siregar

SEBENARNYA Presiden SBY tidak perlu takut akan dimakzulkan atau dimosi tak 
percaya oleh DPR. Bukan hanya jalan menuju pemakzulan penuh lubang dan berliku, 
tapi di negeri yang tidak sehat ini selalu ada peluang memukul balik para lawan 
politik.

Tingkah laku sebagian anggota DPR yang bersikukuh merahasiakan kekayaan dengan 
tidak peduli imbauan KPK untuk segera menyerahkan laporan harta kekayaan 
penyelenggara negara (LHKPN) juga tidak kalah seramnya dengan tuduhan anggota 
DPR kepada SBY dan menterinya yang tertuduh sebagai "otak" dalam skandal Bank 
Century.

Maling Teriak Maling 

Konon dari 550 anggota DPR, baru 229 orang yang patuh menyerahkan laporan harta 
kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Padahal, tenggat penyerahan pada 1 
Desember (Jawa Pos, 25/1). Kondisi ini sedikit lebih baik ketimbang anggota DPR 
periode 2004-2009 yang mayoritas merahasiakan kekayaan mencapai 77,09 persen. 
Toh, angka-angka tersebut menggambarkan betapa masih jauhnya sosok wakil rakyat 
yang antikorupsi di negeri ini.

Ironinya, gaya wakil rakyat yang tergabung dalam Pansus Hak Angket Bank Century 
kepada para menteri dan saksi lain yang dipanggil sungguh luar biasa: bak 
pahlawan antikorupsi melawan koruptor kelas kakap. Kata-kata dan cecaran 
pertanyaan kepada para saksi yang ditengarai terlibat sangat pedas dan 
memojokkan. Seakan-akan para saksi telah terbukti dengan sengaja menyelewengkan 
uang rakyat.

Membandingkan wakil rakyat dengan para menteri seperti jauh panggang dari api. 
Bukan saja secara kualitas para menteri pemerintah SBY lebih baik. Juga dalam 
hal kepatuhan menteri dalam melaporkan kekayaan ke KPK pun jauh lebih tinggi 
dibanding anggota DPR. Menurut data KPK, seluruh menteri di KIB II sudah 100 
persen melaporkan kekayaannya, sebuah sikap yang belum pernah terjadi pada 
wakil rakyat sejak zaman Orba sampai sekarang. 

Ini sama dengan pepatah maling berteriak maling. Di media pun kita mendengar 
tim pansus garang sekali "melempari" eksekutif dan pembantunya dengan tuduhan 
skandal penggerogotan uang negara atas nama stabilisasi krisis ekonomi. Namun, 
pada saat bersamaan, sesungguhnya budaya korupsi wakil rakyat lebih parah.

Budaya merahasiakan kekayaan bagi para pejabat negara terjadi sejak masa Orde 
Baru. Dasar hukumnya pun sudah ada. Yaitu, Keputusan Presiden (Keppres) No 52 
Tahun 1970 tentang Pendaftaran Kekayaan Pribadi Pejabat Negara dan Keppres No 
52/1971 tentang Laporan Pejabat Negara mengenai Kewajiban Membayar Pajak 
Pribadi. Bedanya, laporan kekayaan itu disimpan oleh atasan yang bersangkutan. 
Masuk laci dan sama sekali tak bisa diakses oleh publik.

Lalu pada era reformasi lahirlah Tap MPR No XI/MPR/1998, Tap MPR No IV/MPR/ 
1999, dan UU No 28/1999. Secara tegas diperintahkan perlunya dibersihkan 
penyelenggara negara dari praktik KKN dan memeriksa kekayaan penyelenggara 
sebelum dan setelah menjabat. Itulah perintah MPR yang dalam UUD 1945 dan 
perubahannya tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara dan bukan 
lagi sebagai pemegang kedaulatan rakyat. 

Memang sudah ada korban gara-gara konstitusi itu. Paling tidak, sudah banyak 
pejabat negara yang terbukti korupsi menginap di bilik terali besi. Tapi, 
khusus kasus yang berkaitan dengan transparansi kekayaan belum pernah memakan 
korban. Sampai sekarang, pejabat negara aman-aman saja kalau terlambat atau 
tidak melaporkan kekayaannya secara utuh. Konstitusi itu hanya garang di 
kertas, tidak pada praktik.

Kewajiban melaporkan kekayaan bagi penyelenggara negara itu bukan hanya khas 
Indonesia. Di Amerika Serikat, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif 
wajib melaporkan kekayaannya kepada United States Office of Government Ethics 
(OGE). 

Berbahaya 

Tentu sangat berbahaya membiarkan kelakuan wakil rakyat yang tidak pernah 
berubah sepanjang periode. Ini bukan hanya sebagai gambaran rendahnya moral dan 
etika para wakil rakyat. Dari segi kepatutan, sesungguhnya wakil rakyat tidak 
patut memeriksa, mengawasi, terlebih menuduh eksekutif terlibat tindak korupsi, 
seperti yang dilakukan tim Pansus Hak Angket Century. Bagaimana mungkin, 
lembaga bermasalah memeriksa lembaga yang juga bermasalah?

Roberto Mangabeira Unger, dalam buku Law In Modern Society, Toward A Criticism 
of Social Theory, bertutur tentang autonomous law atau hukum yang otonom. Hukum 
otonom maksudnya hukum itu berlaku tanpa pandang bulu, baik bagi pihak yang 
mengeluarkan hukum maupun bagi pihak yang berlaku melaksanakan hukum itu. Unger 
hendak menjelaskan, baik DPR maupun MPR yang memproduksi banyak ketetapan MPR 
dan undang-undang (UU) harus lebih dulu tunduk dan wajib mengikuti perintah UU 
atau Tap MPR itu. 

Jauh sebelum itu Nabi Muhammad SAW pun pernah mengatakan akan memotong tangan 
anaknya, Fatimah, kalau terbukti mencuri. Beliau tidak pandang bulu menetapkan 
hukum.

Gambaran itu tentu juga bisa diberlakukan bagi anggota MPR/DPR sebagai individu 
maupun lembaga. Lantas dengan contoh itu, apakah wakil rakyat yang telah secara 
jelas-jelas melecehkan aturan yang dibuatnya sendiri masih punya otoritas moral 
untuk meneriakkan pemberantasan KKN, menyelidiki keterlibatan eksekutif, 
sementara mereka pun sesungguhnya bermasalah. Sebagai law maker (pembuat 
hukum), DPR pun kayaknya perlu mendapat mosi tidak percaya. (*)

*). Arfanda Siregar, dosen Politeknik Negeri Medan 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke