KOMPAS, Jumat, 29 Januari 2010 | 02:36 WIB
            
            
Oleh Soe Tjen Marching
 Lelaki
itu tidak berbicara kepada saya, tetapi bisikan kepada temannya sampai juga di 
telinga: ”Perempuan sudah mendominasi dunia
seni Indonesia.”
 Memang, perempuan tak asing dan tak begitu
diasingkan lagi dalam dunia sastra dan film Indonesia. Nama Ayu Utami,
Dewi Lestari, dan Djenar Maesa Ayu sudah menjadi bahasa sehari-hari
dalam sastra Indonesia. Pemenang sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta
juga didominasi perempuan. Begitu juga dunia film, ada Mira Lesmana,
Nia Dinata, Ida Baron, dan Nan T Achnas.
 Mereka tak ragu membuat
karya menyuarakan ketidakadilan seksual yang telah dan masih terjadi di
Indonesia, karya yang menyuarakan identitas perempuan. Bahkan, banyak
kajian tentang film perempuan dan sastra perempuan, seakan karya itu
mempunyai jenis kelamin tersendiri—karya yang tak lepas dari pengalaman
pribadi dan kisah manusia yang bukan lelaki.
 Namun, seakan ada
yang tertinggal oleh kesegaran dalam dunia seni ini. Dunia musik
kontemporer masih tidak banyak menarik media massa. Inilah ironinya.
Musik kontemporer adalah bunyi, tetapi yang paling tak terdengar publik.
 Ketika
berbagai festival dan penghargaan sastra berkumandang di Nusantara,
musik kontemporer juga paling membisu. Asosiasi Komponis Indonesia yang
dipelopori Slamet Abdul Sjukur sekarang kembang kempis, majalah Svara
bahkan mati. Mungkin hanya karena usaha Michael Asmara-lah di
Yogyakarta ada Festival Musik Kontemporer setiap tahunnya.
 Dalam
kesunyian ini, perempuan komponis semakin diam. Perempuan yang belajar
musik kebanyakan berakhir sebagai pemain yang mau tidak mau harus patuh
pada tuntutan komponis.
 Dalam tulisan, saya bisa berpanjang
lebar tentang jati diri sebagai perempuan. Saya bisa memaparkan
feminisme, merumuskan, mengkaji, dan menggunakannya. Bahkan,
keperempuanan saya seakan menjadi logo yang dapat saya tempelkan pada
beberapa tulisan.
 Dalam musik, keperempuanan seakan berada
antara ada dan tiada. Ia tidak lagi menjadi definisi, tetapi esensi. Ia
jauh lebih mendalam daripada keperempuanan tulisan, sekaligus lebih
jauh. Karena dari dalam tubuh perempuan dan dalam kitaran ide feminis
sayalah semua bunyi yang saya torehkan dalam kertas dapat tercipta.
 Tubuh
saya bagaikan sumber yang menetaskan musik. Ide-ide saya telah ada di
sana tanpa harus menjelaskan dengan definisi. Ia melebur lebih dalam
dan karena itu kenampakannya telah hilang. Dalam musik saya, bunyi
tidak lagi memproduksi arti, tetapi menjadi berarti dengan sendirinya.
Warna, nada, keras-lembut, tempo dan karakternyalah yang berbicara.
Bunyi dihargai sebagai bunyi, bukan tukang pos atau perantara yang
membawa pesan yang terkadang tak ada hubungannya dengan bunyi itu.
Teori Saussure tentang bunyi tidak berlaku di sini.
 Bahkan untuk
mengetahui siapa penghasil musik tersebut, penonton harus berpaling
dari karya itu sendiri, menengok program acara sehingga dapat melihat
nama komponis. Pemberontakan saya dalam musik bukanlah pemberontakan
sebagai perempuan, tetapi keperempuan.
  Komponis  perempuan
 Sebelum
dapat menampilkan musik, seorang komponis harus mengalami proses
panjang setelah karyanya jadi. Komponis sering kali membutuhkan kaki
tangan orang lain untuk dapat mendengar pewujudan ciptaannya dan
terkadang begitu tergantung pada pemain. Sebagai komponis ia
adalah pemimpin yang mengatur, memberi arah, dan kalau perlu mengkritik
pemain. Kadang kala ada perbedaan mendasar antara pemain dan komponis.
Pemain adalah pelayan yang menuruti kehendak komponis. Namun, menjadi
pelayan yang baik sama sekali tidak mudah. Hanya dengan kerja keras dan
latihan luar biasa hal ini dapat tercapai.
 Inilah kesukaran
perempuan komponis. Dia harus menghadapi beberapa manusia yang tidak
dapat menerima dirinya sebagai pencipta. Komponis Fanny Mendelssohn
terbenam jauh dalam ketenaran saudaranya, Felix. Ayah mereka sendiri
pun menganjurkan Fanny tidak mengejar karier musik—perempuan hanya akan
menjadi hiasan. Baru belakangan para sejarawan mengakui bakat besar
komponis bernama Fanny.
 Mungkin, anggapan negatif ini pula yang
membuat Clara Schumann terpaksa puas menjadi pianis, pemain yang
menyajikan karya suaminya, Robert, walau dia sendiri sering mengarang
musik. Rasa rendah dirinyalah yang membuat ia menulis di buku
hariannya: ”Sebagai perempuan, aku tidak akan mengarang lagu—tidak ada
pengarang perempuan sebelumnya, jadi mengapa aku harus menjadi
komponis?”
 Sekarang, tentu banyak yang berubah bagi perempuan.
Namun, penelitian tahun 1992 di sepuluh universitas terbesar di Amerika
Serikat menguak, sedikit sekali perempuan yang mengajar komposisi atau
mendapat pengakuan dalam bidang ini. Komponis Amerika, Susan Parenti
(lahir 1950 di Chicago Illinois) juga menyatakan, walau banyak
perempuan belajar musik, tetapi bidang yang membutuhkan penciptaan
masih tidak cukup terbuka untuk perempuan.
 Karena itu, perempuan
komponis Indonesia masih bisu. Ia sering dibatasi berbagai tuntutan,
pada sebuah zaman dan waktu yang terkadang membelenggu.
 Soe Tjen Marching  Akademisi  dan komponis


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke