Refleksi : Tentunya  seperempat juta WNI yang berobat ke Malaysia adalah mereka 
yang banyak fulus dan tidak mempunyai kepercayaan akan jaminan mutu dari para 
dokter Indonesia.


Bagi pasien yang tidak mampu berobat untuk disembuhkan di Malaysia atau 
Singapura mungkin situasinya seperti dijatuhi hukuman mati, Hukuman yang 
dijatuhi ini semata-mata karena miskin melarat. Begitulah kedirgahayuan NKRI. 
  
http://www.republika.co.id/berita/102939/seperempat_juta_wni_berobat_ke_malaysia


Seperempat Juta WNI Berobat ke Malaysia
Senin, 01 Februari 2010, 21:17 W 
YOGYAKARTA--Sebanyak 250.000 warga negara Indonesia (WNI) berobat ke Malaysia 
setiap tahun karena kurang percaya dengan kemampuan dokter dalam negeri, kata 
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof 
Rusdi Lamsudin. "Angka itu belum termasuk WNI yang berobat ke Singapura atau 
Australia," katanya pada pengambilan sumpah sembilan dokter baru lulusan 
Fakultas Kedokteran UII di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, dengan semakin banyaknya WNI terutama dari kelompok berpenghasilan 
tinggi yang berobat ke luar negeri menunjukkan kepercayaan terhadap dokter 
dalam negeri mulai tergerus. "Banyaknya warga yang berobat ke luar negeri bisa 
jadi karena alasan medis seperti peralatan yang lebih lengkap dan kemampuan 
tenaga medis. Selain itu, ada kecenderungan masyarakat Indonesia kurang percaya 
dengan kemampuan anak bangsa sendiri," katanya.

Ia mengatakan, masalah itu perlu dianalisis lebih lanjut untuk mengatasi dampak 
yang timbul dari semakin banyaknya masyarakat berobat yang ke luar negeri. 
Dampak yang timbul bisa berupa masalah ekonomi maupun harga diri para dokter 
Indonesia. "Ada sejumlah alasan mengapa kualitas pelayanan medis luar negeri 
lebih dipilih sebagian masyarakat kita, di antaranya masalah komunikasi antara 
dokter dengan pasien,` katanya.

Menurut dia, pasien yang berobat ke luar negeri meskipun menggunakan bahasa 
yang berbeda dengan dokternya dapat berkonsultasi hingga satu jam, sedangkan di 
Indonesia meskipun sama-sama memakai Bahasa Indonesia, konsultasi dan pelayanan 
yang diberikan dokter kepada pasien paling lama hanya berlangsung 15 menit. 
"Hal itu merupakan masalah yang harus dipecahkan, karena dari sisi kualitas 
tidak sedikit dokter Indonesia yang secara internasional diakui kapasitas 
keilmuannya dan tidak kalah dengan dokter luar negeri," katanya.

Untuk itu, menurut dia, dokter baru hendaknya tidak terjebak pada rutinitas 
profesionalisme yang sempit. Banyak dokter yang meyakini bahwa ilmu kedokteran 
hanya terfokus pada masalah penyakit. Padahal, idealnya selain melakukan 
intervensi fisik, dokter juga harus berperan dalam intervensi moral dan sosial 
di tengah masyarakat dengan menerapkan tri peran dokter, yakni sebagai agen 
perubahan, agen pembangunan, dan agen pengobatan.

Ia mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Kementerian 
Pendidikan Nasional, dan institusi profesi dokter sudah saatnya bekerja sama 
merumuskan modifikasi pembagian fungsi dokter pendidik, peneliti, dan pembagian 
tugas yang dibebankan. "Hal itu perlu karena WHO telah lama mengampanyekan `the 
five star doctors` dengan kemampuan sebagai pimpinan masyarakat, memiliki 
kemampuan berkomunikasi yang baik, mampu mengelola, pangambil keputusan yang 
andal, dan penyedia layanan," katanya.








[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke