Bila merunut perjalanan satu dekade reformasi sebenarnya rejim yang bekuasa telah menjalankan estafet penuntasan reorganisasi politik dan ekonomi untuk mengubah Indonesia dalam fundamentalisme pasar atau negara pasar bebas. Paling tidak rejim yang berkuasa yang sepanjang satu dekade reformasi ini telah mengulangi rekayasa ekonomi-politik naiknya Soeharto dan kelahiran Orde Baru. Bila kelahiran orde Baru diwarnai amandemen berbagai perundangan-undangan dibidang ekonomi, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, UU Kehutanan, tepat dititik yang sama ini dilakukan pula oleh Orde Reformasi. Di antaranya di masa pemerintahan Megawati UU 18/2004 tentang Perkebunan dan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air . Sedang di masa SBY-JK dilakukan amandemen UU 27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selain itu kita juga bisa beberkan ‘persetujuan’ elit-elit politik dominan di partai politik terkait kebijakan-kebijakan penghapusan subsidi, liberalisasi impor beras, komersialisasi pendidikan dan kesehatan hingga privatisasi BUMN.
Apakah yang bisa ditangkap dari kompaknya partai-partai politik dan pemerintah terkait estafet penuntasan reorganisasi politik dan ekonomi untuk mengubah Indonesia kearah haluan fundamentalisme pasar atau negara pasar bebas, disisi lain kekompakan dan ‘keengganan’ membongkar Kriminalisai KPK (baik itu yang terjadi dalam proses parlemen khususnya yang terjadi di Komisi IIII serta sikap SBY yang berdiam diri saja dan seperti membiarkan kasus ini sebelum dikeroyok oleh opini publik yang menguat) dan pertarungan dalam Mega Skandal Bank Century (yang lebih mencolok dengan nuansa tawar menawar politik). Tak lain tak bukan ini adalah soal kekuasaan yang sarat dengan perebutan atau pembagian rente ekonomi dan upaya mengamankannya diantara elit politik dominan. Akankah juga rejim yang berkuasa hari ini di satu sisi meliberalkan sepenuhnya ekonomi Indonesia menjadi negara pasar bebas di sisi lain akan melakukan pengekangan kebebasan politik dan partisipasi rakyat di bidang politik-sosial seperti pada jaman Soeharto. Bisa jadi ya bila kita melihat trend kriminalisasi demokrasi atau dalam kesimpulan Riset Demos Satu Dekade Reformasi disebut dengan gejala Konsolidasi Demokrasi Elitis Menuju Politics of Order. Politics of order dijalankan dengan serangkaian langkah-langkah sistematis. Tujuannya mudah diduga. Membatasi kebebasan sipil dan politik termasuk dengan membuat sistem representasi menjadi tertutup dari partisipasi popular. Dalam perspektif ini demokrasi tidak lebih penting daripada stabilitas politik. Dan partisipasi popular dianggap sebagai gangguan terhadap penguasa. Itu artinya, DEMOS (rakyat) dikhianati. dipetik dari paper Antonio Pradjasto Direktur Eksekutif DEMOS ”Ketika Demokrasi Didustai dan ’DEMOS’ Dikhianati” disampaikan dalam Diskusi Publik ”Wajah Demokrasi Indonesia”. selengkapnya http://www.demosindonesia.org/laput/article.php?id=541 DEMOKRASI GAGAL SEBARKAN KESEJAHTERAAN BAGI RAKYAT Jakarta, "Indonesia ini negara penganut demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun ironisnya demokrasi telah berubah menjadi instrumen untuk menambah kemakmuran bagi elit politik," kata Cornelius Lay dalam Diskusi Publik "Wajah Demokrasi Indonesia", di Jakarta Media Center, Rabu. Negara dinilainya masih setengah-setengah dalam berupaya menyejahterakan rakyat. Bukan hanya itu, negara masih memiliki pesaing dalam usaha memunculkan kesejahteraan rakyat. Saingan tersebut hadir dalam wajah rumah sakit, sekolah, dan partai yang turut serta mengemban tugas pemerintah. "Seolah semua golongan ingin memunculkan kelebihannya masing-masing. Muhammadiyah dan orang Katolik, misalkan, bikin sekolah. Rumah sakit juga dibangun untuk menyaingi milik pemerintah," jelas Cornelius. Cornelius menilai, selama ini di Indonesia, demokrasi tidak terjadi secara menyeluruh dalam semua lapisan masyarakat. Contohnya adalah pembuatan KTP. Hal itu tidak menunjukkan seseorang sebagai bangsa Indonesia, tetapi hanya menunjukkan seseorang berasal dari kelurahan dan kecamatan tertentu dalam sebuah kabupaten atau kota . "Contohnya, coba saja kalau kita pegang KTP Yogyakarta, lalu kita mengajukan Askeskin ke rumah sakit di Jakarta, sudah pasti ditolak. Apa itu yang namanya demokrasi?" tutur Cornelius. Lokalitas, kata Cornelius, harus dijadikan basis utama dalam menumbuhkan demokrasi. Masyarakat dan petinggi negeri diharapkannya untuk melupakan sementara ranah Indonesia yang terlalu besar. Sebaiknya demokrasi terlebih dahulu dimunculkan di daerah-daerah. "Berdemokrasilah di pojok-pojok Indonesia yang menjanjikan itu," tambah Cornelius. Menambahkan pendapat Cornelius, Direktur Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), Antonio Pradjasto mengatakan, tidak meningkatnya kesejahteraan rakyat juga disebabkan oleh memburuknya hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). "Hal tersebut mencolok karena di satu sisi ada peningkatan kemakmuran pada segelintir orang di sisi lain mayoritas masyarakat masih tenggelam dalam kemiskinan," kata Antonio. Demokrasi yang cocok Antonio Pradjasto menilai parlemen belum maksimal dalam menegakkan demokrasi. Hal itu disebabkan karena parlemen tidak mengerti kepentingan publik secara menyeluruh. "Belakangan ini mencuat isu bahwa demokrasi tidak cocok diaplikasikan di Indonesia. Menurut saya, itu hanyalah alasan para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka," tandas Antonio. Demokrasi, kata dia, tepat diaplikasikan dimana saja karena setiap manusia di dunia memiliki hak untuk berekspresi. Rakyat Indonesia dianggapnya membutuhkan pemerintah yang tegas dalam menjalankan negeri ini. Namun, ia juga menekankan bahwa tegas tidak sama dengan otoriter. Rezim otoriterlah yang membuat demokrasi tidak bisa dilaksanakan dalam sebuah negara. Pendapat-pendapat Antonio itu dilontarkannya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya memunculkan isu akan ke mana demokrasi Indonesia dibawa. Antonio termasuk orang yang cemas akan hal ini karena dianggap isu pencarian jati diri Indonesia akan membawa Indonesia kepada rezim otoritarian. (ant) sumber http://www.sinarharapan.co.id/berita/read/demokrasi-gagal-sebarkan-kesejahteraan-bagi-rakyat/ [Non-text portions of this message have been removed]