Apa yang sudah terjadi ini sebaiknya kita ambil sebagai pelajaran yang berharga.

Saya mengawali dari hasrat sejumlah fraksi yang ingin mengegolkan agar orang 
parpol bisa masuk sebagai penyelenggara pemilu. Dalih yang diajukan 
bermacam-macam. Mereka juga mengintepretasikan kata independen menurut 
seleranya. Untuk itu dalam revisi UU No 22/2007 yang akan dibahas Juni dan Juli 
ini, keinginan itu coba diperjuangkan.
Di tengah-tengah hasrat itu, kita dikejutkan Andi Nurpati yang masuk 
kepengurusan Partai Demokrat. Atas tindakan ini, Andi memang sudah tidak pantas 
jadi anggota KPU lagi. 
Harian Suara Merdeka hari ini terbit dengan headline KPU Terbukti Tidak 
Independen. Narasumbernya para wakil rakyat yang selama ini getol akan mengisi 
KPU dengan orang parpol. Saya jadi geli, mereka yang ngotot agar KPU diisi 
parpol menuding KPU sudah tidak independen dengan penafsiran umum sederhana. 
Bahwa independen adalah berarti tidak orang parpol. Padahal, bukankah itu yang 
sedang diperjuangkan?
Pelajarannya adalah, dengan berbagai alasan, antara penyelenggara dan pemain 
memang tidak boleh dalam satu wadah. Parpol berjuang di jalannya sendiri, 
biarkan KPU diisi orang-orang nonparpol. Karena, se-independen apapun sikap 
seseorang, jika KPU diisi orang parpol, lembaga itu akan dicurigai terus.
Akal-akalan Andi Nurpati adalah wujud dari akal-akalannya politisi yang akan 
mengisi KPU dengan orang parpol


 Pada Jum, 18/6/10, Satrio Arismunandar <satrioarismunan...@yahoo.com> menulis:

Dari: Satrio Arismunandar <satrioarismunan...@yahoo.com>
Judul: [ppiindia] Akal-akalan Andi Nurpati
Kepada: "news Trans TV" <news-tran...@yahoogroups.com>, "kampus tiga" 
<kampus-t...@yahoogroups.com>, aipi_poli...@yahoogroups.com, "ex menwa UI 2" 
<exmenwa...@yahoogroups.com>, "HMI Kahmi Pro Network" 
<kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com>, "jurnalisme" <jurnali...@yahoogroups.com>, 
"Indonesia Rising" <indonesia-ris...@yahoogroups.com>, "Pers Indonesia" 
<persindone...@yahoogroups.com>, "sastra pembebasan" 
<sastra-pembeba...@yahoogroups.com>, "ppiindia" <ppiindia@yahoogroups.com>, 
"nasional list" <nasional-l...@yahoogroups.com>
Tanggal: Jumat, 18 Juni, 2010, 5:46 PM







 



  


    
      
      
      Jumat, 18/06/2010 14:36 WIB

Kolom Didik Supriyanto

Akal-akalan 

Andi Nurpati

Didik Supriyanto - 

detikNews



Jakarta - Jejak Anas Urbaningrum terulang. 

Anggota KPU Andi Nurpati menjadi pengurus Partai Demokrat. Memang tidak ada 

larangan, tapi tindakan ini telah melangkahi makna independen. Sekadar petunjuk 

tambahan, KPU tidak netral pada Pemilu 2009 lalu.  



Setelah Ketua Umum 

Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum mengumumkan susunan pengurus DPP PD, 
Kamis 

(17/6/2010), beberapa aktivis pemantau pemilu dan pengamat pemilu, geram. 
Mereka 

kecewa dan marah mendengar anggota KPU, Andi Nurpati, masuk dalam jajaran DPP 

PD.



Para pemantau dan pengamat pemilu sudah menyimpulkan, kelemahan 

menonjol dari KPU Pemilu 2009 adalah gampangnya lembaga ini diintervensi pihak 

luar, baik partai politik, pemerintah, maupun organisasi masyarakat. KPU 2009 

sesungguhnya tidak mandiri dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara 

pemilu sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. 



Banyak 

bukti yang bisa ditunjukkan, mulai dari keterlibatan dalam penyelesaian 

kekisruhan Pilkada Maluku Utara, jadwal kampanye yang disesuaikan dengan 

kunjungan presiden, kedatangan Ketua KPU ke TPS Cikeas, pengubahan hasil 

penghitungan suara, hingga kebijakan yang berubah-ubah dalam menangani Pilkada 

Toli-toli belakangan ini.



Namun, mereka tidak mengira, bahwa 

ketidakindependenan KPU tersebut dilanjutkan dalam bentuk wadag: anggota KPU 

masuk dalam pengurus partai politik, seperti dilakukan Andi Nurpati. Sebab, apa 

yang dilakukan oleh Anas Urbaningrum pasca-Pemilu 2004, sesungguhnya telah 

menuai kritik tajam. Tentu para (calon) anggota KPU periode berikutnya telah 

menyadari hal itu. 



Artinya, jika dari awal menyadari bahwa dirinya tidak 

mampu membendung libido politik untuk berpartai, maka seharusnya mereka tidak 

perlu menjadi anggota KPU. Apalagi mempunyai pikiran menempatkan KPU sebagai 

batu loncatan untuk menjadi pengurus partai (sebagimana dilakukan Anas 

Urbaningrum) atau menjadi pejabat publik (sebagimana terjadi pada Hamid 

Awaludin).



Dua kasus itulah yang melatarbelakangi lahirnya ketentuan 

persyaratan menjadi anggota KPU sebagaimana diatur dalam UU No 22/2007. Pasal 
11 

huruf a menyatakan, bahwa syarat menjadi anggota KPU adalah, “bersedia tidak 

menduduki jabatan di pemerintah dan BUMN dan BUMD selama masa 

keanggotaan.”



Sedang Pasal 11 huruf i menyatakan, “tidak pernah menjadi 

anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau 

sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun tidak lagi menjadi anggota partai 

politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik 

yang bersangkutan.”



Memang pasal itu hanya menyaratkan (calon) anggota 

KPU bukan berasal dari partai politik. Pasal itu tidak bicara, larangan anggota 

KPU atau mantan anggota KPU untuk menjadi partai politik. Namun teks itu harus 

dimaknai bahwa anggota KPU tidak boleh menjadi anggota partai politik baik 

sebelum maupun sesudah.



Jika sebelum menjadi anggota KPU telah menjadi 

anggota partai politik, maka dia tidak mungkin melepaskan dirinya dari 

kepentingan partai politiknya dalam proses penyelenggaraan pemilu. Sebaliknya, 

jika sesudah menjadi anggota KPU diperbolehkan menjadi anggota partai politik, 

maka anggota tersebut akan cenderung membela kepentingan partai politik yang 

hendak dimasukinya.



Hakekat ketentuan Pasal 11 UU No 22/2007 itulah yang 

diakali oleh Andi Nurpati.  Sesungguhnya dia paham hakekatnya, tetapi pura-pura 

tidak paham, karena dia sadar dirinya sedang bermain politik. Sekali lagi, 

inilah cara mengakali teks undang-undang, sebuah kecerdasan politisi kita yang 

tiada tanding.



Kasus Andi menjadi PR buat para perancang Perubahan UU No 

22/2007, bahwa persyaratan, pembatasan dan pelarangan (calon) anggota KPU 
memang 

harus jelas, sejelas-jelasnya, agar tidak dimainkan oleh orang-orang yang 

berlagak independen, namun sesungguhnya naluri berpartainya sangat 

tinggi.



* Didik Supriyanto:  wartawan detikcom. Tulisan 

ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili pendapat 

perusahaan.



(diks/nrl) 



[Non-text portions of this message have been removed]





    
     

    
    


 



  







[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke