http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/06/150563/70/13/Anggota-KPU-Peliharaan-Parpol-
Anggota KPU Peliharaan Parpol Selasa, 22 Juni 2010 00:01 WIB PENGUMUMAN susunan lengkap pengurus Partai Demokrat oleh Ketua Umum Anas Urbaningrum pada Kamis (17/6) menghentak banyak pihak. Bukan hanya karena kepengurusan yang kegemukan, tetapi juga lantaran masuknya anggota Komisi Pemilihan Umum Andi Nurpati ke jajaran pengurus pusat. Masuknya Andi Nurpati sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat menuai kecaman. Sebab, hal itu menyeret kembali KPU ke pusaran kontroversi dan semakin meneguhkan anggapan bahwa KPU tidak netral. Sejak awal penyelenggaraan Pemilu 2009, KPU menangguk kontroversi yang tajam. Lembaga itu terkesan tidak independen dan mudah diintervensi. Banyak keputusannya berubah-ubah. Misalnya, publik masih ingat bagaimana KPU mengubah agenda kampanye menyesuaikan dengan agenda Presiden. KPU juga dikritik karena Ketua KPU Hafiz Anshary menyambangi TPS di Cikeas, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga melaksanakan hak suara mereka. KPU juga dikecam habis berkaitan dengan daftar pemilih tetap. Tak hanya itu, KPU pun disorot karena dengan enteng mengubah-ubah kebijakan mengenai pemilihan umum kepala daerah di sejumlah tempat. Langkah Andi Nurpati melompat ke Partai Demokrat mempertebal kecurigaan publik bahwa KPU tidak netral pada Pemilu 2009. Apa yang salah dengan langkah Andi Nurpati itu? Yuridis formal memang tidak ada larangan anggota KPU menjadi pengurus partai. Undang-Undang No 22 Tahun 2007 tentang KPU tidak mengatur, apalagi melarang anggota KPU menjadi pengurus partai setelah pemilu. Sekali lagi, setelah pemilu. Pasal 11 yang mengatur syarat menjadi anggota KPU hanya menyebutkan bahwa anggota KPU tidak pernah menjadi anggota partai atau dalam jangka waktu lima tahun tidak lagi menjadi anggota partai, serta bersedia tidak menduduki jabatan di pemerintahan dan BUMN/BUMD selama masa keanggotaan. Sama sekali tidak diatur larangan menjadi anggota partai atau pengurus partai selama menjabat anggota KPU. Tetapi secara moral politik sangat merisaukan apabila jabatan anggota KPU dijadikan tiket masuk ke parpol, bahkan jabatan menteri. Jika itu dibiarkan, anggota KPU akan menjadi peliharaan partai untuk kepentingan partai dengan iming-iming jabatan di partai. Bahkan, calon presiden dan wakil presiden bisa memberi iming-iming yang amat menggiurkan, yaitu menjadi menteri. Dan itu bukan cerita fiksi. Kita mempunyai pengalaman dengan Hamid Awaluddin. Di saat masih menjabat anggota KPU, setelah SBY dan JK terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, Hamid direkrut menjadi Menteri Hukum dan HAM di Kabinet Indonesia Bersatu I. Meski modusnya berbeda, Anas Urbaningrum juga masuk ke Partai Demokrat setelah hengkang dari KPU. Semua itu layak dicurigai mencederai independensi dan netralitas KPU. Oleh karena itu, melalui forum ini, kita ingatkan agar orang yang direkrut masuk ke KPU kelak adalah sosok yang mampu memelihara independensi dan netralitasnya. Orang yang konsisten, bersikukuh menjadi nonpartisan. Akan tetapi di zaman ini, imbauan moral saja tidak cukup. Harus tegas ada larangan dalam undang-undang, bahwa anggota KPU selama masa keanggotaannya, bahkan hingga lima tahun setelah pemilu yang diselenggarakannya dan tidak lagi menjadi anggota KPU, dilarang menjadi anggota partai, pengurus partai, serta menjadi menteri. Instrumen itu harus dibuat agar KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak mudah disusupi orang-orang titipan yang lagaknya saja netral dan independen, padahal sarat dengan agenda tersembunyi. ++++ http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=13832&tit=KABAR%20PEMILU%20-%20Parpol%20Lahan%20Subur%20Korupsi Rabu, 28 Oktober 2009 | 11:38 Parpol Lahan Subur Korupsi -------------------------------------------------------------------------------- Selain Kepolisian dan instansi hukum, lembaga lain yang juga berpeluang besar menjadi lahan korupsi adalah partai politik. Pasalnya tidak terjadi keterbukaan dalam tubuh partai politik. "Parpol adalah lembaga yang paling banyak korupsi setelah polisi dan hukum," ujar Todung Mulya Lubis, Ketua Transparancy Internasional Indonesia usai dialog kaukus perempuan, di Jakarta, Selasa (27/10). Ia mengatakan, cara yang paling mudah untuk melihat korupsi di tubuh parpol adalah pada saat kampanye. Ketika kampanye hampir semua partai tidak memaparkan secara detail pemasukan dan pengeluaran partai. Aliran dana tak terkontrol dengan ketat. "Lihat saja zaman kampanye, semua tertutup mengenai anggaran kampanye," katanya. Ani Soetjipto, aktivis perempuan yang juga dosen FISIP UI berpendapat, korupsi bukan sebatas menerima suap. Terdapat banyak tindakan yang dapat dikategorikan korupsi. "Orang berpikir parpol tidak mempunyai uang yang banyak, dari mana bisa dikorupsi. Padahal wewenang seseorang dalam parpol memungkinkan untuk melakukan korupsi." jelasnya. Ia mencontohkan, pembuatan aturan bagi para kader yang tidak sesuai dengan aturan dapat dimasukan kedalam tindak korupsi. Selain itu, lanjutnya, tindakan ketua parpol yang bertindak seolah-olah partai yang dipimpin adalah miliknya juga merupakan korupsi. "Sebuah untuk pemimpin parpol, misalnya saja untuk jabatan menteri. Padahal duplikasi jabatan rentan konflik kepemimpinan yang memungkinkan untuk melakukan korupsi," tegasnya. (int) [Non-text portions of this message have been removed]