http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=153488

[ Jum'at, 03 September 2010 ] 


Harga Diri Bangsa Kita 


INSIDEN penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh 
Malaysia di perairan Pulau Bintan yang jelas-jelas merupakan wilayah Republik 
Indonesia, agaknya, masih menjadi isu panas yang akan terus menggelinding. 
Penyelesaian dengan cara membarter tiga petugas KKP itu dengan nelayan Malaysia 
dianggap banyak pihak sebagai langkah SBY yang sangat tidak fair dan cenderung 
merendahkan nilai diri bangsa ini.

Sementara itu, pidato terakhir SBY sebagai bentuk respons kepala negara atas 
memanasnya hubungan RI-Malaysia yang disampaikan di Markas Besar TNI di 
Cilangkap (1/9) ternyata tak cukup menyiram isu panas tersebut. Bahkan 
sebaliknya.

Pidato itu tidak menunjukkan adanya balasan kiriman kalimat keras seperti yang 
diucapkan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang mengatakan: Malaysia siap 
menghadapi ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri. Meski ancaman luar 
negeri itu tak secara khusus dimaksudkan sebagai ancaman dari Indonesia, kita 
tentu tahu bahwa Najib Razak sedang mengirimkan sinyal tantangan secara 
diplomatis kepada SBY.

Keanehan yang kita rasakan atas sikap SBY kali ini adalah dia tak bereaksi 
seperti biasanya yang begitu responsif bila terjadi perang statemen seperti 
yang acap kali ditunjukkan kepada Megawati sebagai lawan politiknya. 

Kali ini, saat berhadapan dengan Najib Razak, terasa betul bahwa SBY seperti 
mati gaya dan kehabisan kata-kata. Padahal, terhadap rival-rival politiknya di 
dalam negeri, dia bisa sangat produktif membalas statemen seperti penyair yang 
berbalas pantun.

Apa yang disampaikan presiden di Mabes TNI Cilangkap itu sungguh hanya sebuah 
taushiyah normatif yang isinya sudah banyak diketahui umum. Indonesia sebagai 
pilar penting penyangga perdamaian di Asia, terutama, tentu kita menyadari 
betul. Tapi, bahwa sebagai negara kita punya kedaulatan penuh, tentu perlu 
ditunjukkan dengan adanya sikap tegas.

Apa yang disampaikan Panglima TNI Djoko Santoso bahwa Malaysia hanya melakukan 
gertak sambal pun terasa naif. Sebab, meski hanya pura-pura menggertak, di mata 
rakyat Indonesia, hal itu tetap saja terasa sebagai sebuah penghinaan dan 
pelecehan. Sebagai tetangga dekat, sudah semestinya Malaysia wajib menjaga 
lidahnya dari kalimat-kalimat yang bisa memanaskan telinga rakyat Indonesia.

Presiden sebagai pemimpin bangsa ini seharusnya mampu menegaskan bahwa kita 
adalah bangsa yang setara. Berdiri sama tinggi, baik dengan Malaysia maupun 
bangsa mana pun di muka bumi ini.

Keberadaan dua juta pekerja Indonesia di Malaysia, 13.000 pelajar dan mahasiswa 
Indonesia yang belajar di Malaysia, serta 6.000 pelajar dan mahasiswa Malaysia 
yang juga sedang belajar di Indonesia semestinya bisa dijadikan warning yang 
elegan bahwa Malaysia tidak boleh sembrono. Putusnya hubungan kedua negara 
bertetangga ini, bila sampai terjadi, akan berdampak sangat besar. Tak hanya 
buat Indonesia, tapi tentu juga bagi Malaysia.

Pada zaman sekarang, ekonomi adalah senjata. Ekonomi merupakan panglima, alat 
tawar, sekaligus harga diri. Perang zaman sekarang adalah perang secara 
ekonomi. Adakah kita bisa menjadi bangsa yang gagah dengan ekonomi yang 
morat-marit seperti ini? Indonesia adalah negara luas dengan modal penduduk 
yang sangat besar.

Kesulitan ekonomi yang sekarang sedang melilit Indonesia akan berbalik menjadi 
kekuatan bila negeri ini telah keluar dari keterpurukan. Pada saat itu, 
Malaysia bukan apa-apa! Ingat, rakyat sedang menunggu ketegasan seperti itu 
dari presidennya. Demi harga diri bangsa ini di hadapan tetangga kecil kita: 
Malaysia.





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke