http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/9/21/o2.htm


Dengan jumlah rakyat miskin 36 juta jiwa, tak ada cara lain yang dapat 
dilakukan kecuali melakukan terobosan dan inovasi kebijakan untuk mengurangi 
besaran angka itu. 

----------------------------

Menciptakan Ketergantungan dengan Subsidi
Oleh Wayan Gede Suacana 



SEBAGAI bentuk kompensasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), 
pemerintah berencana memberikan subsidi langsung berupa uang tunai Rp 100.000 
per bulan kepada rakyat miskin. Walau masih mengundang pertanyaan, kriteria 
''miskin'' yang dipakai sudah disesuaikan dengan persyaratan yang diajukan oleh 
Badan Pusat Statistik (BPS), yakni mereka yang berpenghasilan Rp 175.000 per 
bulan. Sebuah pilihan pendekatan dan strategi yang tidak lagi memberikan 
''kail'', tetapi menyodorkan ''ikan'' siap santap kepada rakyat. 

------------------------------------

Perubahan Strategi

Apabila dicermati, sebelum penerapan program pengentasan rakyat miskin dengan 
pemberian subsidi langsung ini, beberapa konsep dan strategi pembangunan sudah 
diterapkan oleh rezim pemerintah sebelumnya. Strategi pembangunan yang prevalen 
pada era pascarevolusi fisik, misalnya memberian bobot yang begitu dominan pada 
dimensi politik. Oleh Bung Karno, pembangunan cenderung diidentikkan sebagai 
nation building, yakni suatu pembentukan identitas nasional dan kultural yang 
berkiblat pada nation state Indonesia. Ada semangat untuk menunjukkan kebesaran 
dan keberhasilan  diri di ''mata'' internasional di antaranya dengan hidup 
''berdikari'' dan sikap antimodal asing.

Pada masa eksistensi Orde Baru, Soeharto tampaknya memberikan botot yang lebih 
besar pada pembangunan ekonomi dengan memitoskan model pertumbuhan (growth 
model of national development) selama hampir 32 tahun. Rakyat dibuat menjadi 
lebih pragmatis lewat partisipasi nonpolitik dalam pembangunan di segala bidang 
dengan paradigma, ''politik no, pembangunan yes''. Selama kurun waktu itu, 
kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan secara langsung dilakukan melalui: 1) 
pembangunan infrastruktur ekonomi pedesaan; 2) perluasan berbagai pelayanan 
publik, seperti KIA, KB, pendidikan; 3) revolusi hijau; 4) resource-sharing 
dalam bentuk berbagai Inpres; 5) perluasan jangkauan perkreditan rakyat, 
seperti Kupedes, BKK, KURK, Lumbung Piti Nagari, dan sebagainya; 6) 
pengembangan kelembagaan seperti PKK, Karang Taruna, Dasa Wisma dan seterusnya; 
dan 7) Inpres Desa Tertinggal.

Menjelang sewindu gerakan reformasi hampir tidak ada kejelasan tentang konsep 
dan strategi pembangunan nasional. Kesulitan yang dihadapi oleh pimpinan 
pemerintahan pasca-1998 bersumber dari krisis ekonomi, instabilitas politik dan 
beban utang luar negeri. Keputusan menaikkan harga BBM oleh pemerintahan Susilo 
Bambang Yudhoyono dilakukan akibat keuangan negara yang ikut terguncang oleh 
harga minyak. Pemerintah yakin bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat 
miskin, harus segera dilakukan pengurangan subsidi BBM. Berdasarkan keyakinan 
ini, pemerintah melakukan propaganda yang gencar untuk memaksa rakyat memahami 
alur pemikiran tersebut.

Dengan jumlah rakyat miskin 36 juta jiwa, tak ada cara lain yang dapat 
dilakukan kecuali melakukan terobosan dan inovasi kebijakan untuk mengurangi 
besaran angka itu. Di tengah keterbatasan dana APBN, pemerintah saat ini memang 
harus mengelola pengeluarannya secara adil dan bijaksana dan berupaya mencari 
tambahan penerimaan untuk menghapus kemiskinan.



Belum Menerima

Namun, berbagai keraguan terhadap cara pengentasan masyarakat miskin dengan 
pengalihan subsidi BBM dan memberikannya langsung kepada rakyat ini masih 
sering mengemuka. Keraguan yang tidak jarang berujung pada sikap penolakan 
tersebut masih terus dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat. Mereka 
umumnya masih belum dapat menerima dan menyangsikan beberapa hal terkait dengan 
risiko sosial keputusan ini, seperti kemampuan rakyat menanggung beban 
kehidupan yang pasti bertambah berat akibat kenaikan harga BBM. Di samping itu, 
masih ada pertanyaan seputar cara pendataan rakyat miskin dan juga 
pendistribusiannya agar proses penyaluran dan pemberian kompensasi ini nantinya 
bisa adil dan tepat sasaran.

Walaupun untuk mengatasi masalah penyaluran subsidi langsung itu Presiden telah 
mengeluarkan Instruksi No. 12 tahun 2005 yang menunjuk 17 pejabat yang 
bertanggung jawab, tetap saja diragukan efektivitasnya di lapangan karena tidak 
diketahui siapa yang bertindak sebagai koordinator lapangan (korlap). 
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kita masih sangat lemah dalam hal 
pendistribusian dan koordinasi di lapangan.

Di tengah upaya pemerintah untuk mengatasi pengangguran dan menyelamatkan 
rakyat miskin dengan subsidi langsung ini tentu masih ada celah harapan untuk 
perbaikan nasib menuju kesejahteraan rakyat ke depan. 

Pertama, mengarahkan (lagi) konsep dan strategi pembangunan dengan tetap 
menjadikan rakyat sebagai pusat dan subjek. Peningkatan kemampuan, persamaan 
dan kesejahteraan rakyat, semestinya menjadi fokus utamanya. Kenyataannya, 
dalam beberapa program, seperti pengadaan beras dalam negeri, pemerintah 
bersikap tidak konsisten dengan lebih memilih mengimpor beras 250 ribu ton 
daripada membeli produk petani. Padahal, produksi beras mencapai 53 juta ton 
dan masih ada surplus 1,6 juta ton hingga akhir tahun.

Kedua, sesungguhnya akan jauh lebih baik memberikan ''kail'' daripada ''ikan'' 
kepada rakyat. Dengan begitu, rakyat miskin yang menurut hasil perhitungan 
pemerintah diperkirakan telah mencapai 15,5 juta jiwa bisa ''mengail'' kembali 
dan tak hanya ''menadahkan tangan'' kepada pemerintah dalam memenuhi kebutuhan 
hidup mereka. Konsep dan strategi seperti itu telah dipraktikkan beberapa tahun 
silam dengan sebutan swadeshi di India (Mahatma Gandhi) dan berdikari di 
Indonesia (Bung Karno) yang ternyata tetap memposisikan pemerintah hanya 
sebagai katalik/fasilitator (Osborne dan Gaebler) bukan enabler/sinterklas 
dalam pembangunan.

Dengan demikian campur tangan pemerintah dapat tetap dilakukan secara terbatas 
dan kritis dengan mendorong partisipasi aktif rakyat miskin. Pendiri gerakan 
rekonstruksi desa di Cina James Y.C. Yen menyebut cara ini: membangun apa yang 
dimiliki rakyat, bukan dengan pertolongan melainkan pembebasan. 

Penulis, dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol Unwar, sedang studi Kajian Budaya di 
Unud


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke