http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=246285&kat_id=16

Rabu, 03 Mei 2006


Quo Vadis Parpol, Parlemen, dan Pemerintah 
Oleh : R Siti Zuhro
Peneliti Senior The Habibie Center dan LIPI


Era reformasi telah berjalan sekitar delapan tahun, tetapi harapan rakyat akan 
cita-cita reformasi tak juga kunjung terwujud. Salah satunya karena parlemen 
dan partai politik (parpol) belum mampu menunjukkan fungsinya sebagai pengawas 
atau pengendali kebijakan pemerintah, dan fungsi agregasi dan artikulasi 
kepentingan rakyat. Ini terlihat dengan jelas dari kecenderungan masyarakat 
yang lebih memilih parlemen jalanan. Selama era reformasi nyaris tiada hari 
tanpa demo. 

Fenomena parlemen jalanan ini sebenarnya juga terjadi di negara maju sekalipun. 
Tetapi, dilihat dari tingkat frekuensi dan dampaknya, fenomena parlemen jalanan 
yang terjadi di Indonesia sungguh menyedihkan. Demonstrasi buruh besar-besaran 
yang menentang revisi UU Ketenagakerjaan, misalnya, sedikit-banyak berpengaruh 
pada upaya kita untuk menarik kembali investor asing, khususnya.

Kelahiran reformasi
Tahun 1998 umumnya dipandang sebagai tahun kelahiran orde reformasi. Tetapi 
cikal bakalnya telah ada jauh sebelum itu. Embrionya bisa dilacak sejak Gerakan 
Malari 1974. Kegagalan Orde Baru dalam mewujudkan aspirasi dan keadilan sosial 
telah menimbulkan sejumlah gerakan perlawanan. 

Pada intinya gerakan perjuangan rakyat tersebut merupakan ekspresi dari rasa 
ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang dinilainya gagal dalam mengurus 
negara dan bangsa. Selain diwarnai berbagai demonstrasi, di akhir dasawarsa 
1980-an muncul pula perdebatan hangat tentang wacana pemerintahan yang bersih 
dan pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. 

Kekecewaan rakyat terhadap pemerintah dan elite penguasa mencapai puncaknya 
pada periode 1997-1998. Krisis ekonomi yang terjadi pada masa itu akhirnya 
menjadi semacam bom waktu. Kegagalan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi 
telah membuatnya seperti orang yang kehabisan darah. Dalam keadaan seperti ini, 
kekuasaan represif Soeharto yang telah berlangsung selama 32 tahun pun tak 
mampu lagi menahan tekanan.

Menurut Arief Budiman, meskipun terdapat banyak aktor yang berperan penting 
dalam perubahan sebuah rezim, umumnya aktor utama di dalam civil society adalah 
partai-partai politik. Sementara itu, organisasi massa yang lain, seperti 
badan-badan kemahasiswaan, serikat pekerja dan organisasi wanita lebih berada 
di balik layar. Namun, seperti diketahui, peranan partai politik dalam proses 
pelengseran Soeharto nyaris tak berarti. 

Kualitas pemerintahan
Sulit dipungkiri bahwa kualitas sebuah negara/pemerintahan banyak bergantung 
kepada kualitas masyarakat madaninya. Ini berarti bahwa dalam membangun 
negara/pemerintahan, pemerintah harus bisa bekerja sama sebaik-baiknya dengan 
kelompok-kelompok sosial politik yang dominan dalam masyarakat madani tersebut. 
Tetapi, hal ini tak terjadi selama orde baru.

Kekuatan masyarakat madani mulai menunjukkan eksistensinya setelah berakhirnya 
era Soeharto. Sebagai presiden pada masa peralihan, Habibie cukup berhasil 
menjalankan tugas utamanya, yakni menyelenggarakan pemilu demokratis tahun 
1999. Di bawah euforia politik massa yang sangat tinggi, ia memberikan ruang 
yang cukup luas bagi kebebasan pers. 

Kedudukan dan peranan LSM cukup mendapat tempat. Mereka, bahkan, mampu 
"memaksa" Habibie untuk mendatangi masyarakat Tionghoa yang menjadi korban 
kekerasan rasial dan meminta maaf. Bila dilihat dari relatif besarnya peran 
serta masyarakat madani dalam perumusan kebijakan-kebijakan publik, bisa 
dikatakan Habibie cukup berhasil mengantarkan rakyat ke sistem politik yang 
demokratis. 

Penerus Habibie, Abdurrahman Wahid, sebenarnya memiliki legitimasi yang cukup 
kuat, namun ternyata ia gagal dalam membangun kerja samanya dengan 
elemen-elemen infrastruktur dan suprastruktur politik lainnya. Meskipun sejak 
lama ia dipandang sebagai pendekar demokrasi, ia tidak dapat bekerja sama 
dengan parlemen secara produktif. Sikapnya yang serba tak terduga menunjukkan 
kekurangpiawaiannya dalam melakukan manajemen politik.

Seperti halnya Wahid, Megawati juga tak mampu mewujudkan harapan besar 
masyarakat terhadap cita-cita reformasi. Kekecewaan masyarakat kembali 
berulang. Ia yang pada awalnya dianggap banyak orang sebagai tokoh yang bisa 
berperan sebagai 'ratu adil', justru ia lebih memperlihatkan sikap politik yang 
berorientasi ke status quo. Dibandingkan dengan Wahid, pemerintahan Mega 
relatif lebih dapat mengendalikan partai politik dan parlemen. Di era 
pemerintahan Mega, kondisi perekonomian Indonesia tidak mengalami perubahan 
yang mendasar. 

Era SBY
Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipandang banyak orang sebagai angin 
segar yang menjanjikan perubahan sosial dan ekonomi yang lebih baik. SBY adalah 
presiden keenam yang dipilih melalui pemilu langsung oleh rakyat dalam sistem 
yang demokratis. Berduet dengan Jusuf Kalla (JK), di era ini kendali 
partai-partai politik melemah karena Golkar yang merupakan partainya Jusuf 
Kalla merupakan pemenang pemilu 2004.

Peranan pemerintah cenderung menguat ketimbang parlemen. Dalam menghadapi 
parlemen, alih-alih berkonfrontasi, SBY-JK lebih memilih merangkul dan berusaha 
menjalin kerja sama. Maka, pertanyaan yang timbul adalah apakah SBY juga 
mengembangkan sebuah pemerintahan oligarkis, yakni yang bersama-sama pemerintah 
dan partai-partai politik berusaha mempertahankan status quo untuk melindungi 
kepentingan mereka? 

Salah satu tantangan terberat SBY adalah masalah pemberantasan korupsi. Sejauh 
ini SBY cukup memperlihatkan komitmennya dengan membentuk Timtas Tipikor dan 
KPK serta mengizinkan lembaga-lembaga tersebut untuk menyelidiki dan menyidik 
pejabat-pejabat negara dan pemerintah yang diduga terlibat praktik korupsi. 
Bisa diperkirakan bahwa aksi pemberantasan korupsi ini akan mendapat perlawanan 
dari kalangan tertentu.

Parpol dan good governance
Realisasi good governance akan terhambat manakala konsolidasi demokrasi di 
Indonesia tidak berlangsung dengan baik. Padahal harapan rakyat sangat besar 
terhadap konsolidasi demokrasi yang lebih terukur, yaitu melalui parlemen dan 
partai-partai politik yang dapat mempengaruhi dan mengendalikan kebijakan 
publik. Namun, harapan ini tampaknya masih kabur.

Kualitas partai-partai politik dan kinerja parlemen masih meragukan. Global 
Corruption Barometer 2005 (Gallup International), misalnya, menyatakan bahwa 
partai politik masih menjadi lembaga terkorup dengan nilai 4,2 (dari kisaran 1 
sampai 5). Dalam laporannya parpol di Indonesia banyak yang melakukan korupsi 
dengan 'menjual' kewenangan politik mereka untuk mendulang keuntungan. 
Sementara itu, parlemen menduduki peringkat di bawahnya dengan nilai 4,0, yang 
salah satunya ditandai dengan berkembangnya isu moral percaloan.

Keadaan tersebut telah mempersulit posisi parlemen sebagai wakil rakyat, yang 
semestinya mewakili 'kepentingan rakyat' karena parlemen tampak rentan terhadap 
tarikan kepentingan lain (eksekutif, kelompok, atau elite partai sendiri). Ini 
ironis karena peran kritis parlemen sangat diperlukan untuk mengawasi pelbagai 
kebijakan pemerintah.

Setelah terjadi guncangan-guncangan dalam transisi ke demokrasi selama periode 
1998-2006, sudah saatnya Indonesia lebih fokus untuk memperbaiki kualitas dan 
kinerja partai politik dan parlemen. Hal ini diperlukan untuk menciptakan pola 
hubungan eksekutif-legislatif yang lebih berimbang. Perbaikan kualitas partai 
dan parlemen menjadi prasyarat penting bagi konsolidasi demokrasi.


[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke