Walaikum salam sanak Darul,
Pernahkah
sanak Ismet melihat dan memikirkan bahwa dulu orang Minang sangat menonjol di
khasanah Nusantara ini, tapi kini telah diambil alih oleh orang Batak? Apa ini
menunjukkan bahwa keadaan Minang dulu dengan sekarang sama, sedang daerah lain
maju pesat?
Saya belum bisa mengerti apa yang dimaksud dengan "sekarang ini orang
Batak mengambil alih kedudukan orang Minang". Dalam hal apa ................
????
Tapi baiklah, kita tak usahlah berpolemik untuk hal hal yang
sukar diukur secara kuantitatif. Yang perlu sanak Darul, Isna, Capt lakukan
adalah cobalah juga untuk melihat apa-apa yang sudah, sedang dan akan (rencana)
dilakukan oleh orang-orang yang sekarang ini berada di Sumbar. Dengan melihat
aspek kemajuan yang telah ditempuh oleh mereka sekarang ini dan tentu saja
berikut kekurangannya (karena mereka bukanlah makhluk sempurna), akan mengurangi
sikap anda yang terlalu "negative" terhadap kampung halaman sendiri. Janganlah
selalu untuk melihat hal-hal jelek terhadap suatu masalah apalagi
menceritakannnya ke banyak orang sehingga akan dapat menurunkan citra kampung
halaman sendiri terutama kepada perantau-perantau yang karena banyak hal sulit
untuk datang sendiri ke tanah Minang. Memang mungkin maksud anda bukan
untuk seperti yang saya katakan tetapi kita-kita yang sudah berumur ini saya
rasa harus memikirkan juga tindakan-tindakan kita yang dapat berakibat
berlawanan dari apa yang kita maksud. Cobalah anda sekali-kali gunakan waktu
anda untuk melihat "kemajuan SumBar" dengan menggunakan internet melalui mesin
pencari Google dengan memasukkan item "kemajuan Sumbar". Google akan memberikan
informasi yang banyak sekali (berhalaman-halaman banyaknya) tentang kemajuan
beserta kendalanya yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh orang-orang yang
berada di Sumbar, baik itu dibidang infrasturktur & transportasi,
kesehatan, pengembangan ekonomi, keagamaan & sosial kemasyarakatan,
pendidikan, pertanian dan lain-lainnya. Untuk tahap awal ini baiklah saya akan
attachkan hasil berselanncar yang telah saya lakukan dengan menggunkan Google
terhadap item "kemajuan Sumbar" yang saya pilah atas (1) kemajuan Sumbar
(2) masalah sosial (3) pendidikan di Sumbar. Attachment ini cukup banyak memakan
memory saya harap mudah-mudahan dapat terkirimlah seluruhnya, tapi jika tidak
dapat saya harap agar dicari dengan menggunakan mesin pencari Google
seperti yang dijelaskan di atas.
Saya
tidak mengetahui umur dan didalam era mana sanak hidup. Kalau sja anda pernah ke
Bulkittinggi 20 tahun lalu, dan melihat kini, terutama di kampuang sekitarnya.
Memang sudah banyak perobahan, tapi perobahan tersebut kearah kemajuan dan
modern dalam arti kebebasan. Tapi kalau ditingkat pendidikan entahlah. Pernahkan
sanak Ismet memikirkan kenapa 60 % lebih anak SMA di Padang terakhir ini tidak
lulus EBTANAS tahap pertama dan Sumbar hampir 50 %? Apa ini memang Minang yang
dulu tinggi dalam pendidikan tidak dibilang Mundur. Dengan membaca attachment yang saya lampirkan mungkin akan dapat mengubah
pandangan sanak Darul terhadap apa yang sanak tulis di atas.
Mengenai hasil EBTANAS pelajar di Padang dan Sumbar umumnya janganlah sanak
terlalu risaukan. Dulu ketika saya lulus EBTANAS nilai kelulusannya adalah 100%
begitu juga untuk kelulusan EBTANAS 5 tahun sebelumnya dan 5 tahun
sesudahnya juga 100%. Apakah yang demikian ini menjamin bahwa
pelajar-pelajar seangkatan saya atau yanag 5 tahun lebih muda atau 5 tahun
yang lebih tua merupakan pelajar-pelajar yang unggul ? ...... tidak juga.
Hal ini terlihat oleh saya sekarang ini dimana mereka itu tidaklah
seluruhnya berhasil, bervariasi kehidupann mereka itu sekarang ini.
Dulu kalau batamu di jalan, orang
saling tegur sapa, paling nggak ya tanya: kailia mak? Pai kasawah mak? pada hal
itu kita sudah tahu benar bahwa orang tersebut mau "kailia" dan " Kapasa". Tapi
kini antahlah sanak.
Saya ulangi lagi agar sanak Darul untuk membaca dengan teliti setelitinya
attachment yang saya lampirkan, terutama hasil Temu Regional Budayawan di Padang
tanggal 22-23 Oktober 2003. Untuk kasus yang sanak Darul hadapi ini telah
dibahas dalam makalah "Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi Menghadapi Globalisasi -
S.M. Taufik Thaib, SH (Sumbar)".
Kalau boleh saya petikan beberapa hasil Temu Regional
tsb :
Persoalan kebudayaan dewasaa ini antara lain terjadii
akibat penafsiiran budaya yang keliru, terjadi miskomunikasi budaya
antargenerasi. Budaya yang merupakan sistem gagasan yang berisi nilai-nilai,
norma dan aturan haruslah dilihat dalam 3 aspek yaitu aspek proses
pembelajaran, aspek konteks (suasana, keadaan) dan aspek pelaku pendukung
kebudayaan. Adanya era globalisasi yang melanda hampir seluruh permukaan bumi
,akibat kemajuan teknologi, ikut mempengaruhi suasana (konteks) kebudayaan
berbagai etnik, akan terjadi aktualisasi sehingga sering mengubah eksistensi
kebudayan tersebut. Sementara itu pada tingkat globalisasi terjadi desakralisasi
kebudayaan akibat faktor materialisme, teknologi dan ekonomi. Hal ini memberikan
petunjuk bagi pentingnya kebudayaan direinterpretasi atau
direposisi.
Kemballi kepersoalan kenapa sanak Darul tidak lagi
di"sapa" oleh masyarakat di tempat di mana 20 tahun yang lalu sering
mengalami "sapaan". Globalisasi yang sangat padat dimuati oleh faktor
materialis, teknologi dan ekonomi telah membuat masyarakat di sana untuk
bertindak lain dari tidakan masyarakat semasa sanak Darul 20 tahun yang lalu
berada di sana. Mungkin masyarakat di sana sekarang ini sudah dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran ekonomis yaitu tidak perlu lagi (capek) untuk menanyakan hal-hal
yang sudah diketahui (kalau boleh memakai istilah Islam mereka beranggapan hal
tersebut sebagai tindakan mubazir). Atau juga mereka beranggapan bahwa untuk
bertemu / berhubungan dengan seseorang pada zaman sekarang ini sudah
sangat-sangat mudah sekali (akibat kemajuan teknologi seperti telepon,
fax, email, hand phone,ataupun camera phone serta transportasi yang menjadikan
semua orang terasa lebih dekat ) sehingga "sapaan" tidak mereka anggap
perlu lagi sebagai pembuka komunikasi. Atau juga karena kuatnya arus
materialisme yang melanda dunia bukan saja di kota-kota besar tapi juga sampai
ke desa-desa di Sumbar sehingga memaksa mereka mengumpulkan materi untuk
menghadapi tekanan, himpitan, godaan materialisme ataupun beban hidup yang harus
mereka hadapi, tidak seperti 20 tahun yang lalu yang kalau satu petak sawah
cukup untuk dibagi 4 orang tetapi sekarang tentulah pembaginya jauh lebih besar
dari 4 orang sehingga memaksa mereka tidak punya waktu lagi untuk berleha-leha
dengan "sapaan" yang mereka anggap dapat diigantikan oleh teknologi yang sudah
banyak menjamur di sekitar mereka. Jadi seharusnya sanak Darul berbesar hati
dengan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat yang telah ditinggalkan lebih dari
20 tahun yang lalu itu.
Coba renungkan, apa kita akan selalu menepuk dada,
bahwa Minang itu unggul ............ padahal alah
taungguak?
Yang seharusnya merenung duluan menurut saya adalah
sanak Darul, terutama setelah berselancar dengan Google dengan item "kemajua
Sumbar" .Setelah pundi-pundi sanak Darul
terisi penuh oleh informasi-informasi yang "positive" penilaian tehadap Sumbar
begitu juga terhadap masyarakatnya sekarang ini yang sudah tentu jelas berubah
dari 20 tahun yang lalu akan lebih fair.
Wassalam
M. Ismet Ismail
|
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________