http://ranah-minang.info/content.php?article.25

Pendidikan Perspektif Minangkabau
oleh Silfia Hanani pada Thursday 26 February 2004

Dalam peta sejarah Minangkabau, pendidikan dan agama dua hal yang menentukan
arah kultur. Dalam bidang pendidikan, Minangkabau telah menemukan bentuk
pendidikan lokal dengan dasar kultural. Inilah yang selanjutnya dinamakan
dengan pendidikan surau. Pendidikan, di Minangkabau dipelopori oleh kaum
agama. Pada umumnya, ulama-ulama mempunyai lembaga pendidikan, sehingga
figur seorang ulama di Minangkabau erat kaitannya dengan sosok pendidik.

Pendidikan, dalam ranah Minangkabau tidak hanya berkaitan dengan materi
tekstual, yaitu membaca apa yang tertulis dalam buku atau kitab suci tetapi
juga kontekstual, sehingga untuk menuntut ilmu tidak punya batasan materi.
Dalam perspektif ketidakterbatasan ini, pendidikan tidak pernah berhenti
untuk digali, pendidikan adalah long life education. Konteks pendidikan long
life education ini termanifestasi dalam konsep filsafah ke Minangkabauan
yang dijuluki dengan Alam Takambang Jadi Guru (alam terkembang jadi guru).

Esensial alam takambang jadi guru adalah alam luas ciptaan Tuhan, merupakan
materi pendidikan, sehingga ia harus diungkap dan diinterpretasikan menjadi
bernilai, bermanfaat dan berguna. Untuk sampai pada hal yang demikian orang
harus cerdik dan pandai mempergunakan akal pikirannya. Kecerdikan dan
kepandaian hanya bisa diperoleh melalui pendidikan yang bersinergi dengan
alam semesta. Oleh sebab itu, seseorang harus mencari ilmu tanpa ada batas
ruangnya. Hal ini bersesuaian dengan hadist Nabi Tuntutlah ilmu itu
sekalipun ke negeri Cina.

Oleh sebab itu kepopuleran merantau dalam suku Minangkabau salah satunya
didorong oleh faktor pendidikan. Hal ini juga berlaku dalam suku atau etnis
lainnya. Mochtar Naim menyebutkan merantau dengan alasan pendidikan, sudah
berlangsung dalam masyarakat Minangkabau sejak lama. Merantau semakin
populer semenjak masuknya Islam ke wilayah ini, karena kontak dengan
negara-negara Islam telah mendorong anak muda Minangkabau untuk menuntut
ilmu ke negara-negara yang memiliki basis ke Islaman.

Dari merantau ini pula berkembang ide-ide baru dalam masyarakat, karena
mereka yang pulang dari perantauan selalu membawa pembaruan dan
mengembangkan konsep-konsep baru di kampung halaman. Hal ini salah satu
pendukung berkembangnya Islam dalam masyarakat Minangkabau. Di samping itu,
juga menjadi pendorong terjadinya perubahan-perubahan, akibat
dikembangkannya aliran-aliran baru yang mereka peroleh dari negeri
perantauan.

Peran perantau terhadap pendidikan dalam masyarakat Minangkabau juga tidak
dapat diabaikan. Perantau memainkan peranan penting, karena mereka yang
kembali menuntut ilmu pada umumnya mendirikan institusi untuk mengembangkan
ilmunya. Dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau orang yang paling
dikenal sebagai peletak dasar institusi pendidikan adalah Syeikh
Burhanuddin.

Burhanuddin adalah seorang anak muda Minangkabau yang merantau menuntut ilmu
ke Aceh selama 30 tahun, kemudian pulang ke tanah kelahiran membawa sistem
pendidikan baru ke dalam masyarakat Minangkabau, yakni menjadikan surau
sebagai media pengembangan ajaran Islam yang sebelumnya tidak pernah
dijadikan sebagai kegiatan pendidikan yang lebih luas dan terintegral.

Kegiatan pendidikan yang dikembangkan Burhanuddin ini, melahirkan peta
sejarah baru dalam pendidikan komunitas masyarakat adat Minangkabau.
Terutama berkembangnya surau menjadi tempat pendidikan unggulan bagi
masyarakat pesisir. Kemudian menjadikan daerah pesisir ini sebagai daerah
basis Islam yang meng-Islam-kan wilayah alam Minangkabau, sehingga daerah
ini menjadi pusat ke-budayaan Islam.

Hal ini, melahirkan peta sosiologis masyarakat pesisir di Minangkabau
sebagai masyarakat Agamis, sementara itu masyarakat darek yang berada dalam
kosmologi alam Minangkabau sebagai masyarakat adat. Dimana keduanya menjadi
dua kekuatan kultural dalam alam Minangkabau, kemudian berintegrasi sehingga
Islam dan adat menyatukan masyarakat darek dan rantau sebagai wilayah
kesatuan Minangkabau.

Adat dan agama saling melengkapi dan mengisi kekosongan-kekosongan norma.
Daerah pesisir mengisi kekosongan agama tauhid ke wilayah alam Minangkabau
(darek). Sedangkan kultur darek atau wilayah alam Minangkabau mempunyai
peranan terhadap wilayah pesisir terutama dalam mengisi kekosongan adat di
wilayah pesisir. Secara teoritis, dua kondisi ini merupakan difusi agama dan
adat yang bersifat pertukaran ide (ide change) yang disebut dalam pepatah
syarak mandaki, adat menurun (syariat mendaki ke wilayah darek karena
tipologinya dataran tinggi dan adat menurun ke pesisir sebagai wilayah
rantau dengan tipologi wilayah yang rendah).

Menurut hukum adat, masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang beragama
Islam, legalisasi ini ditegaskan dalam falsafah adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Secara struktural, Islam merupakan formasi sosial
masyarakat. Manifestasi Islam ini, mempunyai dimensi objektif historis bagi
Minangkabau, sehingga Islam tidak hanya sebagai skriptualisme saja akan
tetapi Islam sebagai otentisitas yang mempunyai konstribusi terhadap
pengembangan sosial budaya. Menurut Gadamer, otentisitas terungkap melalui
prilaku dan budaya sosial yang membentuk suatu karakteristik kultural.

Identitas masyarakat Minangkabau dalam ke Islaman ini menunjukan pemaknaan
dan penafsiran kultural, hal ini sejalan dengan komitmen Geertz, terhadap
agama dan idiologi sebagai sistem budaya dapat dipahami sebagai salah satu
realita sosial seperti kasus Islam di Minangkabau ini. Totalitas Islam dalam
masyarakat Minangkabau, tidak lah anti terhadap idiologi nasionalisme,
karena Islam datang dengan fungsional sosial dan kultural sehingga
penafsiran-penafsiran Islam terhadap realita sosial membuktikan Islam itu
tidak apriori dan tidak jumud. Konteks seperti ini, dapat dilihat dari
historisasi fakta kemuduran dan perkembangan Islam yang terjadi dalam
peradaban dunia.

Konstribusi Islam terhadap masyarakat Minangkabau, setidaknya telah menuntun
masyarakat Minangkabau mereformasi kultur dari kejumudan dan membuka
komposisi adat menjadi fleksibel dan memiliki pijakan normatif. Dari fakta
sejarah dapat disimpulkan bahwa pembaruan di Minangkabau dipengaruhi oleh
Islam. Dalam konteks ini, keberadaan surau tidak bisa diabaikan. Surau
mempunyai signifikan dalam pembaruan dan pemurnian serta memberikan formasi
sosial, politik, ekonomi dan budaya.

----------------------------------------------------------------------------
----

Kiriman dari: Silfia Hanani, M.Si ([EMAIL PROTECTED])
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bukittinggi
dan Saat ini sedang Melanjutkan Studi Program S3 di Sosiologi Antropologi
Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Sekaligus Penulis Buku Surau Aset Lokal
Yang Tercecer






____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke