Rekan-rekan,
  Inilah makalah yang saya bacakan di Semarang kemarin
yang tak bisa diattachkan itu. Silahkan baca dan
komentari.
  Mochtar Naim 

PROBLEMA DAN PROSPEK 
NAGARI KE DEPAN

Mochtar Naim
selaku Pembicara Kunci
pada “Seminar Budaya Minangkabau,”
Ikatan Keluarga Minang Semarang (IKMS) 
dan Ikatan Mahasiswa Minang Semarang (IKAMMI),
Sabtu, 19 Juni 2004, di Semarang


SEHABIS-HABIS meluncur akhirnya titik-balikpun
terjadi. Dan titik-balik ini ditandai oleh kembalinya
kita ke Nagari, ke jati diri kita semula. Tekad dan
semangat Kembali ke Nagari adalah sebuah jawaban
positif yang akhirnya diberikan oleh masyarakat Minang
di kampung dan di rantau setelah mengalami masa trauma
empat-puluhan tahun pasca PRRI dan selama itu pula
bernaung di bawah sistem budaya kekuasaan nasional
yang bertentangan filosofinya dengan filosofi yang
mereka anut dan warisi dari nenek moyang mereka
sendiri. 
        Reformasi yang mengakhiri diaspora budaya itu
sesungguhnya tak lain hanyalah sebuah penyulut bagi
terjadinya upaya pembalikan itu, sementara semangatnya
sebenarnya telah merayap bersamaan dengan proses
kapitulasi dalam masa yang cukup panjang selama masa
Orde Baru itu. Aksi Reformasi di bumi Minangkabau,
setelah kejatuhan Orde Baru 1998 yl, antara lain
diwujudkan dalam bentuk kembali ke Nagari dan kembali
ke jati diri itu. 
*
        Kenapa itu terjadi? Saya melihat, pertama, karena itu
adalah sebuah peluang. UU Otonomi Daerah No. 22 dan 25
th 1999 memberi peluang alternatif bagi masyarakat
pedesaan di daerah manapun untuk memilih antara tetap
dengan struktur Desa seperti di Jawa, yakni seperti
yang diterapkan selama masa Orde Baru (dengan UU No. 5
th 1974 dan UU No. 5 th 1979)  yang berlaku seragam
untuk seluruh Indonesia, atau menghidupkan kembali
sistem dan struktur desa adat seperti yang pernah
berlaku di daerah mereka dahulunya. Sejauh ini,
kebetulan, baru Sumatera Barat yang mengambil peluang
seperti itu.
        Tetapi kedua, yang sifatnya lebih substantif dan
bernuansa sosial-psikologis, memilih kembali ke Nagari
dan ke jati diri itu sebenarnya adalah juga sebuah
manifestasi dari pelempiasan rasa tidak suka yang
dirasakan selama ini akan sistem yang disungkupkan
dari atas kepada masyarakat Sumbar yang dirasakan
sebagai tidak sejalan dan tidak serasi dengan naluri
budaya primordial sendiri. Kita merasakan bahwa sistem
budaya primordial yang kita miliki, yakni dalam
perbandingannya dengan yang dirasakan selama 40an
tahun di bawah rezim Orde Lama dan Orde Baru itu, jauh
lebih ampuh dan lebih tahan uji, di samping juga lebih
bernilai universal.   
        Kita merasa bahwa sistem bernagari lebih unggul dan
lebih serasi dengan daerah dan budaya kita yang
mengenal akan prinsip-prinsip yang sekarang justeru
itu yang dikembangkan dan berkembang di berbagai
penjuru dunia ini. Prinsip dimaksud tidak lain adalah
prinsip demokrasi di mana rakyat secara bersama-sama
mengatur kehidupan mereka yang didasarkan atas
kesamaan hak, kesamaan kedudukan (egaliterianisme),
dan secara bersama-sama menegakkan keadilan dan
kebenaran untuk semua. Prinsip demokrasi seperti ini
tak ayal memang bersifat universal, tetapi yang
rumpunnya juga tumbuh di bumi Minangkabau itu sendiri.
Malah, akar budaya demokratik ini telah ada sebelum
masuknya Islam dan sebelum masuknya pengaruh budaya
Barat yang masuk besertaan dengan penjajahan Barat ke
Indonesia ini. Dan akar budaya demokratik ini
kebetulan pula tak tersentuh oleh pengaruh budaya
Hinduisme dan Budhisme yang masuk ke Indonesia masih
di abad-abad pertama Masehi. Hinduisme dan Budhisme
sebaliknya berpengaruh besar di Jawa dan beberapa
daerah lainnya yang karenanya turut membentuk cara
hidup dan cara berpikir kosmologik mereka yang
bernuansa feodal dan otokratik.
        Ketiga, kita memilih Nagari, dan kembali ke Nagari
dan ke jati diri itu, karena sifatnya yang akomodatif
dan tidak bersikap a priori terhadap semua unsur
budaya apapun yang masuk, dan dari manapun datangnya,
selagi semua itu baik dan serasi dengan prinsip
demokrasi egaliter-kerakyatan yang dianut oleh
masyarakat dan kebudayaan Minangkabau itu. Sifat
budaya Minang yang akomodatif, terbuka dan tidak
bersikap a priori ini sendirinya memungkinkan
terjadinya interaksi dan dialog-dialog yang ujungnya
menjurus ke arah terjadinya proses sintesis budaya.
Dan inilah persis yang terjadi dengan masuknya Islam
serta budaya Barat kemudiannya. Persentuhan budaya
asli Minangkabau melalui proses dialetik yang kemudian
bersintesis dengan Islam dan nilai-nilai budaya
moderen dari Barat, dalam tataran ideal dan
filosofisnya, itulah sesungguhnya yang menciptakan
budaya Minang yang kita kenal sekarang ini. Budaya
Minang yang kita kenal sekarang ini,  oleh karena itu,
bukan lagi budaya pra-Islam, dan pra-sentuhan dengan
budaya moderen Barat, tetapi adalah hasil proses
dialektik: tesis, antitesis, sintesis, yang bergulir
terus, tanpa henti.   
        Makanya kita segera merumuskannya kembali dalam
bentuk kredo pandangan hidup: ABS-SBK (Adat Bersendi
Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah) sebagai pengakuan
eksplisit kita akan pentingnya integrasi nilai-nilai
budaya adat dan agama (Islam) itu.  Integrasi
segi-tiga nilai budaya: Adat, Islam dan nilai-nilai
positif dari Barat (logika ilmiah), yang sekarang
merupakan sendi dan pilar dari struktur budaya M
(Minang) itu perlu sekali kita garis-bawahi, karena di
sinilah letaknya kekuatan dan keampuhan budaya M  itu
dalam menantang dan merentangkan diri dan wawasannya
ke masa depan. 
        Sekaligus, integrasi yang bersifat sintetikal dari
segi-tiga nilai budaya ini pula yang mengharuskan kita
untuk menolak sistem pedesaan yang bersumber dari
filosofi budaya Jawa yang dipraktekkan selama masa
Orde Baru di Sumatera Barat dan seluruh daerah tanah
air. Prinsip demokrasi dan egaliterianisme seperti
yang berlaku di Minangkabau itu, bagaimanapun, memang
tidak bisa berbaur dan dibaurkan dengan prinsip lain
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokratik
dan egaliter itu. Ini artinya bahwa demokrasi dan
egaliterianisme yang menjadi sendi dan tiang dari
budaya M itu tidak mungkin dicampurkan ataupun
dibaurkan dengan feodalisme dan paternalisme otokratik
yang diterapkan selama masa Orde Baru yang masuk
melalui jalur-jalur birokrasi dan sistem pemerintahan
di Sumatera Barat sebagaimana juga di seluruh daerah
Indonesia lainnya.
*
        Bagaimanapun, di sisi lain, nilai-nilai ideal yang
mulai dipasangkan kembali dari integrasi segitiga
budaya itu dihadapkan kepada kenyataan faktual yang
secara empirikal-sosiologikal berjalan selama masa
Orde Lama dan Orde Baru dan yang lantunannya juga
berlanjut sampai ke masa Reformasi sekarang ini, yakni
bahwa dalam masyarakat sendiri sementara itu
sesungguhnya telah terjadi proses pelunturan
nilai-nilai budaya itu. Kita lalu melihat ada jurang
yang cukup menganga antara keinginan kembali ke
nilai-nilai ideal ABS-SBK dengan kenyataan empirik
yang berlawanan dan tidak sejalan dengan itu. Dan
proses pelunturan nilai-nilai budaya ini berlaku pada
ketiga-tiga unsur budaya itu secara sendiri-sendiri
maupun secara integratif bersama-sama. 
        Kita lalu melihat bagaimana besarnya beda antara
nilai-nilai ideal Islam, adat dan logika ilmiyah dari
Barat yang kita jadikan kredo itu dengan kenyataan
empirik-sosiologik yang bersua dalam masyarakat
sendiri, yang ibaratnya jauh panggang dari api, yakni
di mana kenyataan empirikal tidak mencerminkan
nilai-nilai ideal yang dianut, dan sebaliknya.
Ternyata bahwa dalam masyarakat sendiri memang telah
terjadi proses pelunturan dan bahkan pelapukan dari
nilai-nilai ideal itu dalam artian sosiologisnya,
yakni dalam artian struktural maupun fungsionalnya.
Dengan demikian, nilai-nilai ideal-filosofis dari
ketiga unsur budaya pokok itu tidak berfungsi secara
efektif dalam menuntun sikap dan prilaku rakyat dan
masyarakat maupun bangsa secara menyeluruh. 
        Nilai-nilai ideal-filosofis dari ketiga unsur budaya
pokok itu cenderung lalu hidup bersebelahan secara
koeksistensial dengan tingkah-polah empirikal yang
berlaku yang menunjukkan gejala-gejala sebaliknya itu.
Tingkah polah dan prilaku empirikal ini umumnya
bersumber dari budaya sensual-permissif dan
materialistik-hedonistik yang datang dari luar melalui
jalur-jalur media informasi dan komunikasi yang luas
terbuka dan hampir tanpa filter dan kendali, sementara
dari dalam, ekses birokrasi, feodalisme,
praktik-praktik KKN dan borok-borok penyakit
masyarakat lainnya sebagai warisan budaya Orde Baru
berjalan terus yang juga hampir tanpa filter dan tanpa
kendali. 
        Inilah yang menyebabkan terjadinya gejala-gejala jati
diri terbelah (split personality) yang bisa akut dari
bangsa serta rakyat dan masyarakat sendiri; yakni di
satu sisi, rakyat, masyarakat dan bangsa itu mempunyai
nilai-nilai ideal yang sangat agung dan tinggi, namun
di sisi lain, rakyat, masyarakat dan bangsa itu
dikendalikan oleh budaya-budaya sensual, materialistik
dan hedonistik serta sifat-sifat keserakahan egoistik
lain-lainnya itu. Salah satu dari akibat negatifnya
adalah bahwa rakyat dan warga masyarakat itu
kehilangan rasa kebersamaan dan solidaritas sosial,
kehilangan pedoman hidup untuk berlaku jujur, adil dan
amanah, dan tak kurangnya juga kehilangan rasa malu
dan malu berbuat salah. Masing-masing lalu cenderung
mencari jalan sendiri-sendiri dengan kadar egoisme dan
bahkan egosentrisme yang tinggi.
        Dan ini di Sumatera Barat sendiri bersamaan pula
tumbuhnya dengan makin melemahnya fungsi dan peranan
dari lembaga-lembaga sosial tradisional yang di atas
itu dahulu tegaknya masyarakat di Nagari itu. Semua
ini juga berjalan seiring dengan perubahan struktur
ekonomi sendiri, yakni dari ekonomi agraris sederhana
pedesaan ke ekonomi non-agraris perkotaan. Dalam arti
lain, orang Minang dahulu hidup dalam alam agraris
pedesaan, mencukupkan semua kebutuhan sendiri;
sekarang, karena desakan kependudukan, tuntutan
pendidikan dan tuntutan dunia maju lainnya, dsb, makin
banyak yang harus bermigrasi ke kota ke berbagai
pelosok Indonesia ini, merantau.        
        Pergeseran struktural pun karenanya terjadi. Dahulu
orang hidup dalam ikatan kaum dan suku serta nagari
yang relatif utuh dan stabil. Dalam ikatan kaum, suku
dan nagari itu terjalin jaringan kehidupan yang
tertata rapi sesuai dengan fungsi dan peran
masing-masing. Dalam ikatan-ikatan primordial itu
terlihat dengan jelas pembagian fungsi dan peran dari
masing-masing unsur dan komponen.  Dan orang tidak
hidup di luarnya; orang hidup dalam sistem itu. 
        Sekarang, ketika kita kembali ke Nagari dan ke jati
diri itu, itu betul yang sudah berubah. Mana yang
masih ada sudah tidak dalam keadaan utuh seperti
sediakala lagi. Kerangkanya masih ada tetapi
lembaga-lembaga itu tidak lagi berfungsi secara utuh,
oleh berbagai sebab dan perubahan yang telah terjadi. 

*
        Ketika kita kembali ke Nagari dan ke jati diri itu,
sekarang ini, inilah lalu yang  bersua dan kita temui
dalam keadaan senyatanya. Nagari yang kembali
dihidupkan itu lalu cenderung menjadi lesu darah dan
ketiadaan darah-darah segar yang mengalir ke dalamnya.
Setelah semua perangkat-perangkat struktural dibentuk
dan dibenahi kembali dan disesuaikan dengan struktur
Nagari yang diinginkan, ternyata sifat-sifat
kedesaannya seperti di zaman Orde Baru masih lengket
tertinggal; seolah-olah yang berganti barulah nama,
dari Desa ke Nagari, tetapi belum substansi dan bahkan
rohnya. 
        Dengan tidak berfungsinya secara efektif
lembaga-lembaga Nagari yang dibentuk itu, apakah BPRN,
KAN, MUNA, Bundo Kanduang, dsb itu, maka Wali Nagari
seperti dipaksa terpaksa jalan sendiri, dan itupun
dengan perangkat ketataprajaan dan logistik serta
sumber pendanaan yang minimal. Wali Nagari dengan
perangkatnya lalu dibiarkan hidup dengan kebutuhan
pokok yang sangat minimal, sementara anggaran belanja
Nagari yang tersedia dari berbagai sumber, termasuk
DAUN atau dana partisipatif, dsb, tidak sampai
sepertiga dari kebutuhan yang sesungguhnya. Menjadi
pertanyaan, bagaimana Nagari akan bisa bertahan
manakala situasi seperti ini berjalan terus dari tahun
ke tahun? 
        Ketiadaan dukungan moral, spiritual dan finansial
dari lembaga-lembaga Nagari dan bahkan dari masyarakat
Nagari sendiri telah memaksa Wali Nagari untuk kembali
bergantung pada patron yang di atasnya, yaitu Camat,
lalu Bupati, dst. Dengan demikian, disadari atau tidak
disadari, Nagari kembali menjadi Desa seperti yang
dulu, yaitu kembalinya ikatan patron-klien yang
bersifat birokratik, hirarkik, etatik dan
paternalistik ke atas kepada Camat, dst. Sambil lalu,
relatif berhasilnya partai yang memerintah selama masa
Orde Baru dalam memenangkan Pemilu 2004 yl di Sumatera
Barat, salah satu penyebabnya, adalah ini. Dunia
birokrasi yang masih kuat terkait kepada sisa-sisa
Orde Baru mendapatkan tanah berpijaknya di
Nagari-nagari justeru karena kelemahan struktural dan
tidak berfungsinya lembaga-lembaga Nagari seperti
BPRN, KAN dan MUNA itu secara efektif, di samping
belum cukup terbukanya mata rakyat di pedesaan dalam
berpolitik dan bermain politik. Mereka selama masa
Orde Baru dibiarkan menjadi massa mengambang tetapi
lalu dituntun untuk hanya mengenal satu partai politik
saja, yaitu partai dari pihak yang memerintah.
        Dalam masyarakat sendiri, disadari atau tidak
disadari, perubahan-perubahan struktural-fungsional
memang telah terjadi.   Kehidupan keluarga besar kaum
seperintah  mamak sudah cenderung berubah ke keluarga
batih yang langsung dipimpin oleh ayah yang adalah
sumando dalam kaum. Sistem matrilineal seperti
sediakala karenanya telah bergeser ke yang
berorientasi patrilineal; walau tidak harus dalam
artian genealogis tetapi sekurangnya dalam arti
pergeseran peran dari mamak ke bapak dalam ikatan
keluarga batih.
        Kehidupan dalam suku dan nagari juga berubah karena
tidak lagi utuhnya ninik mamak dan pemimpin
tradisional lainnya berperan dalam suku dan nagari
itu. Fungsi-fungsi ninik mamak, alim ulama, cerdik
pandai dan bahkan bundo kanduang sendiri telah
digantikan dan diambil-alih oleh lembaga-lembaga
formal pemerintahan dan ormas lainnya. Karenanya,
orang tidak lagi mengadu dan membawa persoalan dalam
kaum sekalipun ke ninik mamak dan kerapatan ninik
mamak dalam nagari. Orang langsung berhubungan dengan
polisi, dengan pengadilan, kejaksaan, dan sekian
banyak dinas-dinas pemerintahan yang bertingkat sampai
ke tingkat nasional sekalipun; semua tanpa harus
melalui jalur pemimpin non-formal tungku nan tigo
sajarangan itu sama sekali. Bahkan sampai dengan
upacara akad nikah dan urusan-urusan keagamaan
lainnyapun orang tidak lagi melakukannya di mesjid di
hadapan alim ulama, tetapi di Balai Nikah dan KUA yang
adalah bahagian dari birokrasi pemerintahan formal.  
        Sekarang, dalam semangat kembali ke Nagari itu, semua
mau dikembalikan ke Nagari. Lembaga ninik mamak, alim
ulama, cerdik pandai, dan bundo kanduangpun mau
difungsikan kembali. Tetapi situasi yang kita hadapi
adalah seperti itu. Bahkan dalam rangka semangat
kembali ke Nagari itu kita juga mau menghidupkan
lembaga Surau kembali. Kita mengumandangkan: Kembali
ke Nagari, kembali ke Surau! Tetapi kebanyakan
surau-surau yang ada tidak lagi dipakai untuk anak
mengaji, dan tidak pula untuk anak-anak muda tidur di
surau. Di banyak nagari surau-surau tidak lagi
berfungsi atau berisi. ‘Robohnya Surau Kami’ bukan
lagi hanya sebuah cerpen fiktif dari AA Navis alm,
tetapi telah merupakan fakta yang berbicara sendiri,
di mana-mana. Mesjid-mesjid sajapun banyak yang kosong
di siang dan malam hari. Banyak dari masjid, yang
karena alasan keamanan, karena kuatir anjing akan
masuk, tikar permadani, jam dinding dan sound system
akan hilang, dsb, dikunci di jam-jam di luar shalat
berjamaah, dan dikunci di sepanjang malam. Sehingga
anak muda dan orang tua pun tidak lagi tidur di
mesjid. Karena mesjid dikunci di malam hari, orang pun
tidak lagi mengenal qiyamul lail, zikir dan tahajjud
di malam hari di mesjid. Kecuali untuk Jum’at, mesjid
juga sepi di waktu Shubuh dan bahkan Maghrib atau
‘Isya sekalipun. Pengajian rutin biasanya hanya
dihadiri oleh ibu-ibu dan bapak-bapak tua yang sudah
melihat pintu lahat mulai terbuka.
        Dalam masyarakat sendiri tak segera terlihat konsep
operasional yang jelas bagaimana caranya mengembalikan
fungsi Surau itu, dan bahkan mengembalikan fungsi
Nagari itu sendiri. Sangat gampang menyebutkan:
Kembali ke Nagari, kembali ke Surau; tetapi bagaimana
cara pengoperasionalisasiannya agar bisa berjalan
secara efektif, tak segera terlihat ada konsep dan
kiat-kiat yang jelas. Sejauh ini yang ada baru
satu-dua Perda Pemprov tentang pembentukan
pemerintahan Nagari. Lalu lontaran himbauan dari para
pemuka masyarakat dan politisi untuk kembali ke Nagari
dan ke Surau itu tanpa diikuti oleh petunjuk-petunjuk
praktis dan programatis bagaimana kembali ke Nagari
dan ke Surau itu.       
*
        Kita sekarang lalu terjerat oleh ambisi dan imajinasi
kita sendiri. Dan bagaimana ke depan dari nasib Nagari
ini tidak ada yang bisa mengatakan secara pasti. Tidak
dari kalangan pemerintah, dari DPRD, dari kalangan
intelektual cerdik-pandai dan kalangan perguruan
tinggi – dan pun tidak dari rantau sendiri. Sejauh ini
tak segera terlihat ada  konsep-konsep alternatif
untuk keluar dari situasi ketersenakan seperti yang
dihadapi sekarang ini. Sementara, waktu berjalan terus
dan masa hadapan harus dihadang.
        Di sini terlihat betapa perlunya masalah Nagari dan
Membangun Nagari ke Depan ini menjadi pikiran kita
bersama dan tanggung jawab kita bersama. Kita telah
memiliki Biro Pemerintahan Nagari dan Kelurahan di 
Pemprov, Komisi A yang a.l. menangani masalah Nagari
di DPRD, dan Lembaga Penelitian Otonomi Daerah di
Fisipol Unand, PPIM, serta satu-dua LSM, di samping
LKAAM dan entah apa lagi. Yang tak segera terlihat
adalah sinergi, kerjasama yang saling terkait, dan
koordinasi, dari lembaga-lembaga yang telah ada itu
dalam senantiasa memikirkan tentang Nagari sekarang
dan Nagari ke depan. Yang jelas, belum ada satu komisi
atau lembaga yang terpadu yang terdiri dari
wakil-wakil unsur yang ada itu yang memikirkan tentang
Nagari ke Depan secara sinergi dan berkesinambungan
dan memantau terus perkembangannya serta senantiasa
siap dengan alternatif jalan keluar dan
pemecahan-pemecahannya. 
        Saya melihat, sementara itu, ada sejumlah fungsi
Nagari yang harus dikonsepkan secara rinci dan dengan
acuan-acuan operasionalnya. Satu, Nagari sebagai unit
kesatuan administratif pemerintahan di tingkat
terendah di Sumatera Barat ini. Dua, Nagari sebagai
unit kesatuan adat dan sosial-budaya. Tiga, Nagari
sebagai unit kesatuan usaha ekonomi. Dan empat, Nagari
sebagai unit kesatuan keamanan dan pertahanan ataupun
ketahanan rakyat semesta di tingkat masyarakat Nagari
itu sendiri. Semua itu, satu sama lain juga saling
terkait dan saling bersinergi dalam sebuah jaringan
yang bernama Nagari. Semua ini dipikirkan karena
Nagari, berbeda dengan Desa, adalah sebuah sistem
pemerintahan terendah yang bersifat otonom yang
seharusnya mampu mandiri dan membiayai diri sendiri.
        Konsekuensi dari sebuah keinginan agar Nagari
benar-benar memiliki wewenang otonomi yang harus mampu
berdiri di atas kaki sendiri itu memerlukan penjabaran
dengan analisa sistemik. Kita tidak cukup dengan hanya
menghidupkan kembali lembaga-lembaga kenagarian, yang
formal maupun yang non-formal – tetapi yang setelah
dihidupkan lalu tidak berfungsi atau tidak bisa
berfungsi. Kita juga perlu melihat saling keterkaitan
antara lembaga-lembaga itu yang walau secara
fungsional berdiri sendiri-sendiri tetapi secara
sistemik merupakan sebuah jaringan yang saling terkait
dan bersinergi. Kecenderungan yang ada sekarang
adalah: banyak yang bertumpang tindih, sementara
orangnya itu-itu juga.
        Kita mengenal, memang, ada sistem kepemimpinan tungku
nan tigo sajarangan yang unsur-unsurnya terdiri dari
ninik-mamak, alim-ulama dan cerdik-pandai. Sementara,
dalam kenyataan empiriknya, ada banyak ninik-mamak
yang adalah juga alim-ulama dan cerdik-pandai; dan
begitu sebaliknya: ada banyak alim-ulama yang ninik
mamak dan cerdik-pandai, dan banyak cerdik-pandai yang
juga ninik mamak dan alim-ulama. Selain itu, salah
satu  dari permasalahannya, adalah mudah
mengidentifikasi ninik-mamak, karena pengangkatannya
yang dilewakan dan dengan upacara adat yang biasanya
besar-besaran, tetapi tidak mudah mengidentifikasi
siapa alim-ulama, apalagi cerdik-pandai, yang lebih
berupa pengakuan dari masyarakat sendiri, atau
pengakuan dari mereka sendiri, di Nagari. Karenanya,
sukar untuk melihat apa dan bagaimana peranan dari
alim-ulama dan cerdik-pandai itu secara kelembagaan
maupun secara ketokohan perorangan di Nagari.
        Dalam kenyataan sosiologik dalam masyarakat Nagari
sendiri masalah-masalah adat, agama, sosial-budaya dan
pemerintahan, dan apapun, sesungguhnya jarang yang
berdiri sendiri-sendiri yang terlepas satu sama
lainnya. Dalam kenyataan sosiologik itu semua saling
terkait dan saling bertumpang tindih. Karenanya adalah
berlebihan jika di samping BPRN (atau apapun namanya
di masing-masing daerah yang kelihatannya
berbeda-beda) ada Kerapatan Adat Nagari (KAN), ada
Majelis Ulama Nagari (MUNA), Bundo Kanduang, Pemuda,
dsb. – walau sejauh ini tidak ada ikatan
keorganisasian dari yang bernama cerdik-pandai di
Nagari itu.
        Hemat saya, dengan menghimpun semua unsur
kepemimpinan masyarakat itu berada dalam satu wadah
legislatif dan konsultatif yang sama dalam lembaga
BPRN, dan membicarakan semua masalah apapun dalam
situasi dan sisi pandang yang terpadu, maka aspek
kelembagaan legislatif-konsultatif yang terkotak-kotak
itu kiranya bisa dipadu dan disederhanakan. Bukankah
dalam kaitannya dengan falsafah kehidupan ABS-SBK itu,
kita tidak lagi melihat di mana adat, agama, dsb,
berada dalam keadaan yang saling terpisah, dan berdiri
sendiri-sendiri, tetapi saling berkaitan, dan terpadu
secara sintetik, dan bukan sinkretik? Dengan demikian,
berbagai unsur kepemimpinan tali nan tigo sapilin,
tungku nan tigo sajarangan itu bisa saling berdialog
secara langsung dan mencarikan solusi dari masalah
apapun yang tumbuh di Nagari secara terpadu.
        Memfungsikan Nagari sebagai unit kesatuan usaha
ekonomi dan unit kesatuan keamanan juga tak kurangnya
memerlukan konsep yang jelas dan terpadu jika memang
Nagari itu akan mandiri dan mampu membiayai diri
sendiri di samping juga mampu menjaga keamanan dan
ketertiban di dalam Nagari sendiri. 
        Saya membayangkan, dengan otonomi Nagari dan Nagari
diharuskan untuk mampu mandiri dan membiayai diri
sendiri itu, Nagari mau tak mau harus difungsikan
sebagai sebuah korporasi usaha ekonomi. Artinya,
Nagari itu sendiri berfungsi dan memfungsikan diri
sebagai sebuah badan hukum yang secara sah juga
bergerak di bidang ekonomi – samalah dengan Negara itu
sendiri yang memiliki BUMN dan usaha-usaha ekonomi dan
komersial lainnya. Dengan demikian, di Nagari
sekalipun, Nagari memiliki usaha-usaha korporasi
ekonomi di berbagai bidang kegiatan yang potensinya
ada dan bisa digerakkan di Nagari itu sendiri. Tidak
soal, apakah itu di bidang pertanian, perkebunan,
perikanan, peternakan, kerajinan dan pengolahan,
eksplorasi, jasa, dsb. Dan untuk itu, wajar sekali
kalau dalam mengatur lalu-lintas finansial dan
keuangannya, Nagari memiliki Bank Nagari. Dengan
demikian, Bank Nagari itu tidak hanya ada di tingkat
provinsi seperti yang ada sekarang, tetapi dia juga
ada di setiap Nagari di seluruh Sumatera Barat.
Bank-bank Nagari ini tentu saja harus bersinergi pula
dalam konteks Sumatera Barat sekurangnya.
        Demikian juga dengan Nagari sebagai unit kesatuan
keamanan. Saya melihat bahwa Dinas Kepolisian yang ada
di Kecamatan sekarang sifatnya lebih berorientasi ke
atas kepada jajarannya secara vertikal daripada ke
bawah ke Nagari. Polisi biasanya tidak akan turun ke
Nagari kalau tidak ada pengaduan atau keluhan keamanan
di Nagari. Di Nagari sendiri, aspek keamanan Nagari,
kecuali supervisi Polisi di Kecamatan yang sifatnya
lebih superfisial itu, praktis adalah vakum.  
        Pada hal dahulu ada yang namanya Parik Paga dalam
Nagari. Di samping Kerapatan Adat, ada yang namanya
Dubalang Nagari. Dubalang Nagari tidak ikut naik ke
balairung, tetapi dia ada di bawah dan di selingkar
Nagari, menjaga keamanan dalam Nagari. Para pemuda di
Nagari berfungsi sebagai parik paga Nagari. Dan
masalah keamanan dan ketertiban Nagari ini tidak ada
yang merengat keluar. Semua ditanggulangi sendiri dan
diselesaikan sendiri. Hukum di Nagari tegak karena
sanksi yang dilekatkan terhadap pelanggaran apapun
umumnya adalah berat. Selain sanksi badan dan harta,
yang paling berat dan biasanya tak tertanggungkan
adalah hukuman moral yang dijatuhkan kepada yang
bersalah. Misalnya, siapapun yang kedapatan berzina di
nagari, jika kedapatan, diarak keliling kampung,
dipermalukan dan dicibirkan, digundul kepalanya, dan
dilemparkan ke tebat, secara demonstratif
beramai-ramai. Lalu diusir dan dibuang dari Nagari. 
Hukuman berat seperti ini sendirinya membikin orang
jera, dan takut sekali akan berbuat salah dan
melanggar kode etik yang ada di Nagari. Apalagi jika
hukuman berat secara adat ini bertemu pula dengan
hukuman berat secara agama yang bahkan tidak kurang
pula beratnya, karena sanksinya bisa-bisa adalah nyawa
itu sendiri.
        Menciptakan konsep keamanan dan ketertiban masyarakat
dengan institusi paga nagari dan dubalang nagari,
bagaimanapun, memerlukan wacana yang matang sendiri,
yang untuk inipun diperlukan pemikiran konseptual yang
serius.  Bukankah kemari kita harus berpikir? 
        Dan semua ini adalah dalam rangka kita membidik
Nagari ke depan dan ke masa depan. Yang diperlukan
sekali lagi ada sinergi dan rasa kebersamaan kita
ber-Nagari. Kitapun akan dicibirkan oleh orang luar
manakalah eksperimen kita untuk kembali ke Nagari
menemui kegagalan. Dan inipun adalah tantangan bagi
kita ke depan. *** 




                
__________________________________
Do you Yahoo!?
New and Improved Yahoo! Mail - Send 10MB messages!
http://promotions.yahoo.com/new_mail 
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke