Bismillaah, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim

Subuh ini saya mendapat kesempatan untuk mendengarkan ceramah subuh yang di dalamnya membahas tentang "kebenaran". Ustadz kami di subuh itu mengatakan :

"... kebenaran yang hakiki atau al-haq itu adalah milik Allah. Sedangkan manusia pasti tidak akan mampu mencapai kebenaran yang hakiki itu. Manusia hanya akan mampu untuk mendekati kebenaran. Kebenaran adalah kesempurnaan dan itu hanya dimiliki oleh Allah".

Mungkin karena pas dengan suasana bulan Ramadhan, bagi saya tema ini adalah menarik. Maka, ketika ceramah itu berakhir dan semua jema'ah mulai bergerak pulang ke rumah masing-masing, saya jawil ustadz itu dan menanyakan beberapa hal tentang "Wajib" dan "Rukun", yang akan saya hubungkan dengan pertanyaan tentang "kebenaran" pada kesempatan itu juga. Beberapa orang jema'ah lainnya ikut bergabung dengan pembicaraan kami.

1. Tentang "Wajib".

Pada ceramah subuh itu, Ustad kami ini menginformasikan bahwa Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa "khusyuk itu adalah wajib di dalam shalat", sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan "khusyuk hanyalah sekedar sunnat di dalam shalat". Maka saya bertanya kepadanya : "sebenarnya, apa sih yang disebut wajib itu Ustadz ?". Dia menjawab bahwa yang wajib di dalam shalat itu adalah 'apabila tidak dilaksanakan maka shalatnya menjadi hampa' tak ada artinya tetapi tidak sampai membatalkan shalat itu sendiri, shalat tetap syah.

Maka saya mengomentarinya, "kalau boleh saya analogikan dengan komputer, maka yang wajib pada komputer itu misalnya adalah mencolokkan kabel power ke sumber listrik. Jadi ketika komputer itu tidak dialiri listrik maka komputer itu seperti hampa tak ada artinya". Ustadz itu pun mengiyakannya. Menurut saya, yang dimaksud "wajib" ini adalah suatu "kebutuhan dasar". Benarkah komputer itu bisa berfungsi bila kabel powernya disambungkan ke sumber listrik ? Benar !

Insya Allah, tema ini dapat kita diskusikan lebih lanjut agar kita bisa memperoleh manfaat yang lebih luas lagi, dengan mencari analogi lainnya. Silahkan !

2. Tentang "Rukun".

Saya juga menanyakan tentang apa yang dimaksud dengan "rukun", apakah itu aplikasinya pada rukun shalat atau rukun haji dan rukun-rukun lainnya. Ustadz yang menyandang gelar S2 itu menjelaskan bahwa "... rukun itu adalah apabila tidak dilaksanakan menjadi tidak syah ibadahnya". Misalnya salah satu rukun shalat adalah "berniat shalat". Bila kita shalat tanpa niat shalat, maka shalatnya itu batal menurut fiqih".

Saya pun mencoba memahaminya dengan kembali mengambil analogi tentang komputer. Maka, yang rukun di sini adalah "adanya kabel power dari sumber listrik ke komputer". Artinya apabila "kabel power"(listrik)-nya (rukun) tidak ada, maka "kabel listrik itu pun tidak dapat dicolokkan" (wajib) ke komputernya. Maka Ustadz kami pagi itu pun, sekali lagi mengiyakannya. Benarkah komputer itu bisa berfungsi bila ada kabel power (listrik) yang dapat disambung dari komputer ke sumber listrik ? Benar !

Begitulah saya mencoba memahami perbedaan antara "wajib" dan "rukun" itu. Insya Allah, tema ini pun bagus juga untuk kita bahas bersama dengan mengetengahkan contoh-contoh yang lebih nyata lainnya dalam kehidupan sehari-hari kita. Apa saja yang termasuk rukun dalam kehidupan kita ini, ada yang berkenan untuk mengupasnya ?

3. Tentang "Kebenaran".

Dengan menggunakan kesepakatan "kebenaran" sementara melalui pembahasan soal "Wajib" dan "Rukun" di atas, saya mencoba mengkonfirmasi sekali lagi :

(a). Benarkah komputer itu bisa berfungsi bila kabel powernya disambungkan ke sumber listrik ? Benar !
(b). Benarkah komputer itu bisa berfungsi bila ada kabel power (listrik) yang dapat disambung dari komputer ke sumber listrik ? Benar !

Contoh ini memang terlalu nyata untuk dijadikan contoh mengenai "kebenaran". Padahal kebenaran itu setidaknya ada dua macam : Kebenaran relatif dan kebenaran hakiki. Kebenaran yang sebenar-benar kebenaran atau Al-Haq itu adalah milik Allah dan hanya Allah-lah yang tahu. Namun kebenaran hakiki bukanlah suatu hal yang mustahil dapat kita capai. Sebab di dalam kebenaran hakiki ini sebenarnya kita mengenal juga adanya kebenaran universal, di mana kebenaran itu dapat diterima secara umum dengan menggunakan patokan ilmu tertentu pada semua kita.

Sedangkan kebenaran relatif adalah kebenaran menurut situasi dan kondisi masing-masing orang yang memahaminya. Inilah yang kemudian kita kenal juga dengan kebenaran subjektif itu. Itulah milik kita. Itulah fakta atau kenyataan yang ada pada kita. Di situlah kita berada saat ini.

Yang jelas, meskipun kita hanya memiliki kebenaran relatif, kita ini sebenarnya selalu memperbaiki atau meningkat dari satu kebenaran relatif ke kebenaran relatif berikutnya dan selalu menuju kepada kebenaran yang hakiki. Benarkah ? Marilah kita hati-hati memahami hal ini. Karena jika tidak, kita akan terjebak kepada fanatisme buta, yang mengakibatkan kita memandang kebenaran itu hanya pada kita dan orang lain menjadi salah.

Sebelum melangkah jauh, dengan melihat dua contoh nyata pada komputer di atas dan juga dari adanya  kebenaran relatif dan kebenaran hakiki yang kita sepakati di atas, saya menangkap bahwa "kebenaran itu bekerja sesuai dengan kebutuhannya masing-masing". Sedangkan "kebutuhan itu sendiri haruslah dihubungkan dengan bekerjanya suatu fungsi pada suatu keadaan tertentu". Untuk berfungsinya komputer di atas secara normal haruslah terlebih dulu dipenuhinya segala yang bersifat "wajib" dan juga segala yang bersifat "rukun".

Misalnya begini : seseorang pekerja angkat barang di pelabuhan membutuhkan makan nasi sebagai sumber karbohidrat sebanyak 3 piring nasi (rukun) untuk sarapan pagi (wajib). Sedangkan seorang pekerja klerikal di kantor hanya membutuhkan 1 potong roti (rukun) untuk sarapan pagi (wajib) mereka. Kedua jenis pekerja ini adalah benar menurut kebutuhan dan keadaannya masing-masing, meski pun kadar-banyaknya dalam mengkonsumsikan makanan ini berbeda-beda.

Dengan sejumlah porsi yang mereka makan tersebut, mereka sudah dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Kedua mereka tidak perlu memprotes dan saling menyalahkan, karena mereka berjalan di jalurnya masing-masing. Mereka berdua adalah benar dan memiliki kebenarannya masing-masing. Makanan yang mereka konsumsi telah memenuhi kebutuhan mereka masing-masing. Itulah kebenaran mereka !

Ketika "kebenaran sebagai pekerja klerikal di kantor" diterapkan sebagai "kebenaran bagi pekerja angkat barang di pelabuhan", maka kebenaran yang tadinya benar menjadi tidak benar lagi. Protes dan demo bisa terjadi karena menerapkan kebenaran yang salah tempat, karena pada saat itu yang terjadi adalah "kebutuhan tidak terpenuhi". Kebutuhan tak terpenuhi maka terjadilah ketidakbenaran.

Begitulah relatifnya kebenaran pada kita manusia. Masing-masing memiliki kebenarannya sendiri sesuai dengan kondisinya masing-masing. Jadi kebenaran adalah sesuai kebutuhan ! Tahukah Anda bahwa ide ini telah mendongkrak pesatnya perkembangan ekonomi Jepang ?

Pada masa lalu dan nampaknya masih berjalan hingga saat ini, produk Jepang menyerbu segala penjuru pasar di bumi ini. Mereka memproduksi barang-barang sesuai dengan kebutuhan para pemakainya. Bagi pemakai yang uangnya sedikit, mereka memproduksi barang yang sesuai keadaan itu. Bagi pemakai yang menyukai desain dengan kemampuan keuangan tertentu, mereka juga memproduksi barang-barang dengan desain khusus untuk mereka. Pendeknya mereka memproduksi kebutuhan semua manusia. Apa yang terjadi ? Hampir tak ada manusia di bumi ini yang tidak memiliki produk Jepang. Menakjubkan ! Itulah hebatnya ide "kebenaran adalah sesuai kebutuhan".

Kebenaran Jalan Islam

Orang Islam mengatakan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Kepada Ustad kami itu pun saya ajukan "Di mana letak kebenaran Islam ?". Ustadz itu pun menjawab bahwa "Islam itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia". Ya, begitulah kira-kira jawaban beliau kepada kami. Jawaban ini sepertinya memang sejalan dengan apa yang telah kita bicarakan seputar "kebenaran", yang di depan kita hubungkan dengan masalah wajib dan rukun yang kita contohkan pada kasus "komputer dan kabel power (listrik)-nya". Kebenaran adalah sesuai dengan kebutuhan.

Mungkin akan sedikit sulit ketika kita mencoba mengaplikasikan "kebenaran sesuai kebutuhan" itu pada bidang-bidang sosial atau ilmu-ilmu keagamaan. Ini memang akan memerlukan tambahan dalil-dalil pendukung baru. Di dalam Al-Qur'an, dijelaskan bahwa "Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya, melainkan sesuai dengan kesanggupannya masing-masing" (Al-Baqarah 286).
Adalah suatu hal yang normal benar bila kebutuhan itu sesuai dengan kesanggupan atau kemampuan.

Adalah benar bila manusia tidak mengkonsumsi minuman yang mengandung al-kohol, sebab al-kohol akan dapat merusak beberapa fungsi tubuh kita. Tidak berfungsinya beberapa fungsi tubuh adalah "tidak benar", maka perbuatan yang dapat menyebabkan terjadinya "tidak benar" tersebut adalah juga tidak benar. Maka berdasar ini, kita dapat menetapkan dalam pemahaman kita masing-masing bahwa "mengkonsumsi al-kohol adalah tidak benar !". Mudah-mudahan ini adalah sebuah contoh kasus keagamaan yang paling tetap untuk kita fahami bersama. Silahkan dicari contoh-contoh lainnya.

Maka adalah suatu kebenaran bila kita memfungsikan segala sesuatu yang ada pada kita atau yang ada di dalam wewenang dan tanggung jawab kita sesuai dengan kebutuhan dan kesanggupannya masing-masing. Ajaran Islam mengarahkan kita manusia untuk dapat memfungsikan tubuh dan diri kita sesuai dengan kebutuhan dan kamampuan kita masing-masing dan juga sesuai dengan kebutuhan dan kamampuan universal manusia. Karena manusia itu diciptakan oleh Allah, maka Allah-lah yang sungguh-sungguh Maha Mengetahui segala sesuatu tentang tubuh dan diri kita.

Agaknya saya cukupkan perbincangan kita hari ini. Meskipun agak sedikit "berat", tema ini menarik juga untuk kita bicarakan untuk memperkokoh keimanan kita. Keimanan tidak hanya sekesar kepercayaan dan keyakinan, akan tetapi kepercayaan dan keyakinan itu sungguh-sungguh dapat difahami kebenarannya secara nyata dengan akal dan ilmu pengetahuan.

Demikian, mohon maaf, dan terima kasih atas segala perhatiannya.

As-Salaamun alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Syaifuddin Ma'rifatullah - Aceh.

Kirim email ke