Bismillaah, Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim
Karena berita sungguh sangat pentingnya, saya kutipkan dari Waspada On-line 
dari Medan, seputar "Berita Bohong Yang Menyesatkan Masyarakat Kita".

Mudah-mudahan berita ini bukan berita bohong, melainkan berita tentang 
berita bohong selalu beredar di tengah kita dan disenangi oleh kita yang 
mau dibohongi. Semoga mulai hari ini, kita tidak akan dibohongi lagi. Ingat 
Al-Qur'an Surat Al-Hujuraat ayat 6 !

Maaf dan terima kasih.
As-Salaamun alaikum
Syaifuddin Ma'rifatullah - Aceh.
----
--- awal kutipan ---
JUMAT, 4 Mei 2001
http://www.waspada.co.id

Wartawan Indonesia Banyak Praktekkan Jurnalisme Omongan

SEMARANG (Antara): Para wartawan di Indonesia lebih banyak mempraktekkan 
"talking jurnalism" yaitu jurnalisme omongan yang lebih merupakan kutipan 
atas pernyataan seorang tokoh atau pejabat dan "counter" pakar atas 
pernyaraan tersebut atau sebaliknya, kata Stanley dari Institut Studi Arus 
Informasi (ISAI).

"Jurnalisme omongan pada hakekatnya adalah sama dengan jurnalisme bohong. 
Pendapat tokoh dipersepsikan seolah-olah sebagai sebuah realitas sosial 
ketika muncul sebagai berita," katanya pada seminar "Media di Tengah 
Konflik" di Semarang, Kamis (3/5).

Dia mengatakan, wartawan Indonesia selama puluhan tahun terlanjur tidak 
terbiasa dengan pola penyelidikan (investigation) dan juga sama sekali 
tidak mengenal "provetic journalism" sebagaimana diterapkan para wartawan 
di negara maju.

Dalam meliput konflik elite politik, katanya, wartawan lebih banyak 
mengutip ucapan para tokoh elite politik yang seolah-olah merupakan 
representasi dari rakyat Indonesia. "Asumsi seperti ini membawa dampak 
terseretnya rakyat ke wilayah pertikaian elite," ujarnya.

Dia mengatakan, kaidah pers "big name big news, no name no news" dalam 
paradigma wacana media di Indonesia, khususnya yang menyangkut pejabat 
adalah mesin produksi berbagai anti realitas.

Dia mencontohkan, pada tahun 1970-an saat Presiden Soeharto berpidato 
menyatakan bahwa Indonesia telah bebas buta huruf, kemudian pers memuat 
pernyataan ini sebagai headline dan tidak pernah melakukan konfirmasi pada 
jutaan rakyat yang masih buta huruf.

Dengan bantuan media, katanya, ucapan presiden yang tadinya baru bertaraf 
"pernyataan" diubah menjadi "kenyataan". Upaya mengubah paradigma 
pernyataan-kenyataan ini didukung dengan diwajibkannya setiap desa membuat 
slogan "Bebas 3B" (bebas buta aksara, buta huruf, dan buta angka).

Stanlay mengatakan, dengan adanya kebiasaan pejabat atau tokoh untuk 
menutupi fakta sebenarnya, maka pers terbiasa mengutip kebohongan. "Hal 
tersebut terlanjur jadi sesuatu yang lumrah. Apalagi ada kewajiban dalam 
pers untuk menyajikan liputan secara berimbang (cover both side)," katanya.

Di jaman Orde Baru, katanya, liputan penyelidikan dan pengumpulan data di 
lapangan bisa dimentahkan dengan bantahan dari pejabat yang apabila 
diturunkan akan mengundang resiko munculnya teguran dari sejumlah instansi 
yang berwenang.

"Dalam hal konflik elite, media bukan hanya mempraktekkan jurnalisme 
omongan tetapi juga dengan fasihnya mempraktekkan jurnalisme perang, sebuah 
hal yang kini tengah mendapat kritikan pedas di kalangan jurnalis," 
demikian katanya.
--- end kutipan---


[Non-text portions of this message have been removed]


Untuk Penegakan Syari'ah Islam, sumbangkan zakat, infaq, dan sedekah anda ke: 
Majelis Mujahidin
MARKAZ: Jl. Veteran No. 17, Yogyakarta, telp.: (0274)373458
BNI Syari'ah Yogyakarta
No. 801.000020199.001

Untuk subscribe ke milis sabili kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]
Untuk unsubscribe dari milis sabili kirim email kosong ke: 
[EMAIL PROTECTED]

 

Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/ 


Kirim email ke