MEMBONGKAR PEMURTADAN DENGAN BERKEDOK ISLAM
PRAKTEK KRISTENISASI & GLOBALISASI GGG (Gold-Glory-Gospel) 
SEKTE KRISTEN KHASANAH ORTODOKS SYRIA (DOULOS) 

   

 FIle gambar cek di :
http://groups.yahoo.com/group/sabili/files/Murtadin/Sekte-KosDaolos1.gif
http://groups.yahoo.com/group/sabili/files/Murtadin/Sekte-KosDaolos2.jpg

KHASANAH ORTODOKS SYRIA

KOS: Serupa Tapi Tak Sama
Sebuah sekte dalam agama Kristen, praktik peribadatannya nyaris sama dengan Islam. 
Orang awam sulit membedakan. Kristenisasi gaya baru?

Saat Maghrib telah tiba. Belasan orang di Hotel Sahid Surabaya itu bergegas shalat. 
Semuanya berkopiah dan dipimpin seorang imam. Jangan keliru, mereka bukan kaum 
Muslimin yang edang menunaikan kewajiban  shalat Mahgrib. Mereka adalah jamaah Kanisah 
Ortodok Syiria (KOS), sebuah sekte dalam agama Kristen.

Bisa jadi, orang awam akan terkecoh. Sebab, sekte ini memang sangat mirip Islam. Bukan 
saja asalnya serumpun, Timur Tengah, tapi juga ritual dan tatacara peribadatannya 
nyaris sama.

Tengoklah saat mereka shalat. Selain berkopiah dan dipimpin seorang imam, bila 
berjamaah, juga memakai bahasa Arab. Rukun shalatnya pun nyaris sama. Ada ruku' dan 
sujud.

Bedanya, bila kaum Muslimin diwajibkan shalat 5 kali sehari, penganut KOS lebih banyak 
lagi, 7 kali sehari &emdash;setiap 3 jam&emdash;  masing-masing dua rakaat. Mereka 
menyebutnya: sa'atul awwal (fajar/shubuh), sa'atuts tsalis (dhuha), sa'atus sadis 
(dhuhur), sa'atut tis'ah (ashar), sa'atul ghurub (maghrib), sa'atun naum (Isya'), dan 
sa'atul layl (tengah malam).

Hal yang sama juga pada praktik puasa. Puasa wajib bagi pemeluk Islam dilakukan selama 
sebulan dalam setahun, dikenal dengan shaumu ramadhan. Sedang pada KOS disebut shaumil 
kabir (puasa 40 hari berturut-turut) yang dilakukan sekitar bulan April. Jika dalam 
Islam ada puasa sunah Senin-Kamis, pada KOS dilakukan pada Rabo-Jum'at, dalam rangka 
mengenang kesengsaraan Kristus.

Selain shalat dan puasa, jamaah KOS juga mengenal ajaran zakat. Zakat, dalam ajaran 
KOS, adalah sepersepuluh dari pendapatan bruto. 

Tidak sebatas itu saja. Kalangan perempuan pemeluk KOS, juga mengenakan jilbab plus 
pakaian panjang ke bawah hingga di bawah mata-kaki. Pemeluk KOS mempertahankan Kitab 
Injil berbahasa asli Arab-Ibrani: Aram, sebagai kitab sucinya. Model pengajian yang 
dilakukan pemeluk KOS juga tidak berbeda jauh dengan ala pesantren di Indonesia. 
Mereka melakukan dengan cara lesehan di atas tikar atau karpet. Ini tidak pernah 
didapati pada 'pengajian' pemeluk Kristiani di Indonesia yang lazim duduk di atas 
kursi atau balkon.

Efram Bar Nabba Bambang Soorsena, SH (36), seorang Syekhul Injil (penginjil) KOS yang 
pertama kali memperkenalkan ajaran KOS di Indonesia, kepada Sahid mengatakan, di 
antara kedua agama (Islam dan KOS) memang mempunyai kesamaan sejarah, etnis serumpun, 
dan kultur (budaya). Adanya Pan-Arabisme di Timur Tengah, misalnya, ternyata bukan 
ansich milik kalangan Muslim. Pemeluk KOS pun, turut memiliki Pan-Arabisme itu. Salah 
satunya, kalangan KOS turut menyesalkan sikap Israel yang hingga sekarang ngotot 
menduduki jalur Ghaza milik penduduk Palestina.

Menurut Prof Dr Nurcholis Madjid, agama Nasrani itu makin klasik makin banyak 
kemiripannya dengan Islam. "Aliran KOS itu justru lebih murni ketimbang Kristen yang 
berkembang di Barat," ujar Ketua Yayasan Paramadina asal Jombang yang akrab dipanggil 
Cak Nur itu.  

Sementara Jalaluddin Rahmat, tidak merasa kaget terhadap adanya banyak kesamaan antara 
Islam dengan KOS. Pada zaman dulu, kata cendekiawan dari Bandung ini, orang-orang 
Islam di Yordania, Syria, dan Lebanon hidup berdampingan dengan orang-orang Kristen, 
yang dikenal dengan Kristen Monorit. Mereka melakukan tatacara peribadatan hampir 
mirip dengan cara beribadah umat Islam.

Dengan banyaknya kemiripan itu, tak heran bila KOS lebih bisa diterima di kalangan 
Muslim di Indonesia. Setidaknya, setiap bulan KOS diberikan kesempatan tampil dalam 
'Forum Dialog Teologis' yang diselenggarakan Yayasan Paramadina, Jakarta. "Kami sangat 
berterima kasih dan menaruh hormat kepada orang-orang Islam yang bersedia menerima 
kehadiran KOS dengan lapang hati dan terbuka," ujar Bambang. 

Anehnya, di kalangan Kristen sendiri KOS malah kurang bisa diterima, bahkan dicurigai. 
Tengoklah pernyataan Direktur Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen Protestan 
Departemen Agama RI, Jan Kawatu. Menurut Jan, aliran tersebut belum tercatat dalam 
komunitas Kristen di Indonesia.  

Jan juga mengatakan bahwa pihaknya telah mengeluarkan surat edaran yang disampaikan 
kepada para notaris. Isinya, agar mereka tidak mengesahkan berdirinya sebuah yayasan 
atau lembaga Kristen sebelum mendapatkan izin resmi dari Direktur Bimas Kristen. "Izin 
itu diperlukan untuk mengetahui siapa mereka, apa tujuannya, dan macam apa alirannya," 
kata Jan Kawatu seperti dikutip Gatra (14/3/98). Dan, masih menurut Jan, bahwa Bimas 
Kristen-Protestan sudah menutup pintu bagi aliran baru.  

Tetapi, kalangan KOS sendiri agaknya tak mau ambil pusing dengan surat edaran Dirjen 
Bimas Kristen-Protestan itu. Mereka menilai, pelarangan itu lebih bersifat politis. 
"Karena di Indonesia telah ada terlebih dahulu Kristen Ortodoks Yunani. Hanya saja, 
selama bertahun-tahun tidak menunjukkan perkembangan berarti. Sedang KOS, kendati baru 
beberapa tahun, tapi cukup bisa diterima masyarakat dan terus berkembang," papar 
Henney Sumali, SH (37), Ketua Yayasan KOS Surabaya.  

Sementara Bambang menambahkan, saling curiga di antara sekte di Kristen itu merupakan 
penyakit lama. Kristen Timur &emdash;KOS termasuk di dalamnya&emdash; juga menaruh 
curiga kepada Kristen Barat (umumnya dianut Kristen di Indonesia). Menurut Bambang, 
Kristen Barat telah mengalami helenisasi (pembaratan), untuk kepentingan imperialisme. 
 Terjadinya Perang Salib, misalnya, tetap dicurigai kalangan Kristen Timur hanya 
semata sebagai kedok Barat yang memakai agama untuk kepentingan imperialisme mereka.

Meskipun Dirjen Bimas Kristen telah menyebarkan surat larangan kepada para notaris, 
nyatanya KOS tetap bisa mengantongi akte pendirian. Yakni melalui notaris Gufron 
Hamal, SH, di Jakarta pada 17 September l997. Melalui yayasan inilah, Bambang yang 
kelahiran Ponorogo ini terus mensosialisasikan KOS ke khalayak ramai. Yang kerap 
mereka lakukan adalah lewat kajian-kajian, misalnya melalui 'Pusat Studi Agama dan 
Kebudayaan' (Pustaka) di Malang (1990-1992). Kini, kajian itu sudah merambah Jakarta 
dan Surabaya.

Tetapi soal pengikut, diakui Bambang, memang belum cukup banyak, baru sekitar 100 
orang. Tapi kalau simpatisan, sudah mencapai ribuan. Untuk menjadi pengikut resmi KOS 
di Indonesia belum bisa dilakukan, karena KOS di Indonesia belum mempunyai imam dan 
gereja. Padahal untuk bisa menjadi pengikut resmi KOS harus melewati prosedur 
pembaptisan seorang Imam. Di

Indonesia, kata Bambang, yang kini tinggal di Malang, baru bersifat 'studi atau kajian 
KOS'. Sebab itu, untuk sementara ini bagi jamaah KOS yang ingin menjadi pengikut resmi 
KOS harus melalui prosedur pembaptisan Abuna Abraham Oo Men di Singapura.

Perbedaan prinsip

Yang disebut simpatisan tadi, sebagian besar berasal dari kalangan Islam. Ini diakui 
Joko, staf Yayasan Studia Syriaca Ortodoxia Jakarta yang rutin menggelar kajian KOS. 
"Setiap bulan pengajian KOS di Hotel Sahid Jakarta yang diikuti sekitar 400 orang, 
sekitar 60% pesertanya dari kalangan pemeluk Islam," kata Joko.

Seorang kristolog muda bernama Mashud SM, menilai menyambut baik metode menyebaran 
sekte KOS. Mereka, kata penulis 'Dialog Santri Pendeta' ini, lebih berani tampil 
terbuka dalam wacana intelektual dengan kalangan Islam dan agama lain. Bukannya dengan 
cara licik seperti memberi supermie atau beras untuk menggaet pengikut baru.  

Namun ia mengingatkan, selain banyak kemiripan, antara Islam dan KOS tetap ada 
perbedaan prinsipil. Kitab suci mereka tetap Injil, meski berbahasa Arab. Nada yang 
hampir sama diungkapkan oleh seorang mantan pendeta yang kini masuk Islam. "Mereka 
tetap Kristen, bukan Islam. Kalau kemudian banyak kemiripan dengan Islam, itu soal 
metodologi 'dakwah' yang disesuaikan dengan kultur masyarakat setempat. Karena di 
Syiria mayoritas Islam, agar bisa diterima, mereka pun menyesuaikan dengan kultur 
Islam," katanya.

Yang tidak habis dimengerti Mashud adalah, kalau memang KOS murni membawa ajaran Nabi 
Isa as, mestinya mereka percaya kepada Nabi Muhammad saw sebagai penyempurna semua 
ajaran agama Samawi. "Karena dalam Injil mereka yang asli menyebutkan begitu," 
katanya. Nyatanya, mereka memang tidak mengakui peran Nabi Muhammad itu. Kalau 
mengakui, tentu mereka sudah Islam.



KHASANAH ORTODOKS SYRIA 

Lahirnya Paham Ortodoks 

Sejarah menyebutkan, paham ortodoks lahir dari perselisihan antara Gereja Alexandria, 
Gereja Roma, dan Kaisar Konstantin. Puncaknya, pada masa Kaisar Bizantium Marqilanus 
(450-458 M) seabad lebih sebelum Nabi Muhammad lahir di Mekkah (571). Kala itu, 
tepatnya pada tahun 451, diadakan Majma Khalkaduniyah (Konsili Kalkedonia) dalam hal 
ketuhanan. Buntut dari konsili ini menimbulkan perpecahan di antara gereja-gereja yang 
sulit disatukan kembali.

Nah, rupanya, sejak inilah umat Kristen terpecah menjadi dua. Di satu pihak berpusat 
di Roma dan Bizantium, dipimpin Bapa Laon (440-461). Kelompok ini mengakui, al-Masih 
mempunyai dua sifat: Tuhan dan manusia. Kelompok ini kemudian lebih dikenal dengan 
Kristen dan Katholik. 

Di pihak lain, berpusat di Alexandria dan Antakia di bawah pimpinan Bapa Disqures 
(444-454 Masehi). Kelompok ini berpegang kuat pada sifat tunggal bagi al-Masih. Mereka 
tidak setuju dengan aliran Kristen yang mengakui sifat Tuhan sekaligus manusia. 
Kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan kelompok ortodoks. Nama 'ortodoks' 
dipakai karena berarti: menganut ajaran agama yang dianggap benar, yang asli. Karena 
itu, penganut ortodoks mencoba untuk hidup secara lurus, sesuai dengan tuntutan awal 
dari kelahiran agamanya.

Penganut ortodoks sendiri terdiri atas beberapa toifah (komunitas berdasarkan kesamaan 
kultur, tradisi, bahasa, dan bangsa). Karenanya ada toifah Koptik, Syrian, Armenian, 
dan Habasah. Sedang 'aqidahnya' sama. 

Kanisah Ortodoks Syria (KOS) mengklaim punya bukti sejarah, bahwa Injil yang pertama 
berbahasa Arab Syria. Menurut mereka, bahwa al-Masih &emdash;kalangan penganut KOS 
pantang menyebut Nabi Isa as dengan Yesus seperti lazimnya digunakan penganut Kristen 
Katholik/Protestan, tetapi lebih suka menyebutnya dengan al-Masih atau Sayyidina Isa 
al-Masih&emdash; berbicara dengan menggunakan bahasa Syria. Injil diterjemahkan ke 
dalam bahasa Arab pada tahun 643. Hingga sekarang, Injil yang digunakan penganut paham 
Ortodoks Syria, Irak, Lebanon, dan Mesir, adalah berbahasa Arab. Memang, antara bahasa 
Syria dan bahasa Arab terdapat kemiripan dan persamaannya.

Di Indonesia, KOS mulai diperkenalkan secara resmi oleh Bambang Noorsena, SH. 
Berdasarkan akte notaris tertanggal 17 September 1997, Bambang mulai memperkenalkan 
KOS. Sebelumnya, selama 2 tahun (1995-1997), alumnus Fakultas Hukum Universitas 
Kristen Cipta Wacana Malang ini, keliling ke Timur Tengah &emdash;di antaranya Suriah, 
Damaskus, Mesir, Yordan, Libanon, Palestina, dan Israel&emdash; untuk mempelajari 
pola-pola ajaran KOS. Karena di Indonesia belum mempunyai gereja, kerapkali 
pengajian-pengajian jamaah KOS ini dilakukan di hotel: di Jakarta, Surabaya, maupun 
Malang. Sebab itu pula keberadaan KOS di Indonesia masih berbentuk lembaga studi 
dengan nama 'Studia Syriaca Ortodoxia' berpusat di Malang, Jawa Timur. 

Pemimpin tertinggi KOS adalah Patriakh, yang sekarang dipegang oleh Patriakh Mar 
Ignatius Zakka I Iwas di Suriah. Berdasarkan Konstitusi 1991, KOS terdiri atas 20 
keuskupan yang tersebar di seluruh dunia. Di bawah uskup ada abuna (pemimpin). KOS di 
Indonesia belum sampai ke tingkat abuna, karena belum mempunyai gereja. Yang ada, kata 
Bambang, baru sebatas Syekhul Injil (penginjil). Itu sebabnya, untuk menjadi penganut 
KOS di Indonesia terlebih dulu dilakukan proses pembaptisan oleh Abuna Abraham Oo Men 
di Singapura



KHASANAH ORTODOKS SYRIA

KOS di Mata Pengikutnya 

Henney Sumali, SH (37) 

Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (1988) ini Ketua KOS Surabaya. 
pria dibesarkan dari lingkungan keluarga Kristen-Protestan ini mengaku, tertarik 
dengan KOS baru setahun lalu (1998). Berikut kisahnya:

Sejak kecil saya hidup dalam keluarga penganut Kristen-Protestan yang taat. Namun, 
saya masih ingin mengembarakan naluri beragama saya itu. Hanya satu yang saya tuju, 
mencari kepastian dalam menuju keselamatan hidup dunia-akhirat. Bertahun-tahun 
lamanya, tapi belum juga ditemukan kecocokan. Hingga kuliah, belum juga ketemu. 

Pada suatu ketika dalam suatu pertemuan di Surabaya, tepatnya Mei 1998, saya bertemu 
dengan Mas Bambang Noorsena, SH. Dari perbincangan dengan Mas Bambang itu, kemudian 
berlanjut dengan saya datang ke rumahnya, di kawasan Jalan Supriadi di Malang. Dari 
situlah terjadi dialog teologi. Mas Bambang banyak cerita tentang Kanisah Ortodoks 
Syria (KOS) dan pengalaman spiritualnya sebelum (Bambang sebelumnya penganut 
Kristen-Protestan) dan sesudah mempelajari KOS di Timur Tengah.

Dari situ, saya menjadi tertarik. Karena menurut saya, sekalipun Kristen-Protestan 
yang selama ini saya peluk merupakan rumpun agama samawi, namun belum saya temukan 
kepastian iman. Tapi, di KOS saya seakan menjadi terbuka dan menemukan ikhwal 
kepastian dalam menuju kehidupan dunia akhirat. Saya juga menemukan hakikat iman yang 
selama ini saya cari. Bahwa Isa al-Masih &emdash;yang menurut pemeluk 
Kristen-Protestan disebut Yesus adalah anak Tuhan&emdash; dihadirkan ke dunia, menurut 
KOS dipahami sebagai Nuzul Tuhan (penyampai firman Tuhan). Tuhan itu Esa. Tidak sama 
atau tidak bisa disamakan dengan makhluk. Karena kalau Tuhan sama dengan makhluk. 
Berarti bisa fana (binasa). Saya memahami Isa al-Masih itu, tidak berbeda halnya 
dengan Nabi Muhammad dalam Islam. Muhammad dihadirkan ke dunia sebagai penyampai 
firman Tuhan.

Saya tidak beragama Islam. Tapi, saya menemukan "islam" dalam KOS. Bahwa, apa yang 
saya yakini dan lakukan sehari-hari sebetulnya sudah inheren dengan "islam" (KOS 
memakai nama islam dengan huruf "i" kecil, sebab kalau "I" besar itu identik dengan 
"Dienul Islam" yang dibawa Nabi Muhammad saw). Karena hakikat "islam," dalam KOS, 
artinya: berserah diri pada Allah. Jadi, apa yang saya jalani ini tidak lepas dari 
tuntutan.   

Joko, peserta pengajian KOS Jakarta
Lelaki yang dulunya hidup dalam keluarga beragama Islam ini sempat tiga kali pindah 
agama, terakhir tertarik dengan KOS. Berikut kisahnya:

Pada awalnya, saya seringkali mengikuti pengajian Mas Bambang Noorsena secara rutin 
sebulan sekali di Hotel Sahid, Jakarta. Saya bersama sekitar 400-an orang ikut 
pengajian Mas Bambang. Menurut perkiraan saya, jamaah pengajian itu sekitar 60% 
pesertanya dari kalangan Islam. Seperti biasa, setiapkali pengajian terlebih dulu 
diawali dengan shalat naum (mirip shalat maghrib, karena dilakukan selepas maghrib). 
Usai shalat, dilanjutkan dengan Tilawatil Injil dan disambung dengan ceramah yang 
disampaikan Mas Bambang. Sebelum berakhir, juga diselingi tanya-jawab. 

Sebelum menjadi peserta kajian KOS ini, saya sudah tiga kali pindah agama. Sewaktu 
saya masih kecil, kedua orangtua saya beragama Islam. Tapi, ketika saya berusia 7 
tahun, ibu saya pindah ke agama Katholik. Bapak masih bertahan dengan agama Islam. 
Jadi ketika itu, saya juga

sering diajak ibu pergi ke gereja, juga sering diajak bapak ke musalla/langgar. Saya 
juga diajari shalat dan puasa oleh bapak. Kehidupan beragama di lingkungan keluarga 
memang tampak demokratis. Tapi, dari situ, saya kemudian agnostik, percaya pada Tuhan 
tapi untuk sementara waktu menunda kepercayaannya. Hal itu berjalan sampai saya kuliah 
di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. 

Kehidupan agnostic ini berangsur berkurang setelah saya aktif mengikuti mengikuti 
dialog theologi yang diselenggarakan Yayasan Paramadina di Hotel Regent, Jakarta. Dari 
situ pula, saya kemudian berkenalan dengan pengajian KOS yang diasuh Mas Bambang. 
Hingga kemudian tertarik. 

Tito Pontoh, peserta pengajian KOS di Jakarta 
Lelaki alumni Universitas Krisna Dwipayana Jakarta ini mengaku, lahir dari keluarga 
yang bermacam-macam agama. Tapi, pihak keluarganya, katanya, cukup memberikan 
toleransi pada keluarga lainnya yang berbeda agama. Berikut kisahnya:

Sebelum tertarik dengan KOS, saya pemeluk Kristen-Protestan yang taat. Karena 
lingkungan keluarga yang cukup memberi toleransi pada keluarga yang berbeda agama itu, 
saya juga berusaha belajar lain-lain agama. Nah, kemudian saya menjadi tertarik dengan 
KOS. Karena missi dan tujuannya, setelah saya pelajari ternyata baik sekali.

 Bagi saya, KOS merupakan jembatan bagi pemeluk Islam dan Kristen di Indonesia yang 
selama ini acapkali tegang dan disalahpahami di antara keduanya. Berbagai kegiatan KOS 
yang saya ketahui, ia melakukan dialog terbuka, duduk sebangku dan semeja antara 
pemeluk Kristen dan Islam. Dari situ, saya menilai KOS cukup positif. 

 Hal lain yang membuat saya tertarik dengan KOS, menurut saya, KOS ini seperti tasawuf 
dalam Islam, kurang lebih begitu. Karena disini 'kan ada mistik-mistiknya. Sedang di 
Protestan murni logika. KOS selain logis, juga membiarkan unsur-unsur tasawufnya 
hilang begitu saja. Dari situlah saya menjadi tertarik dengan KOS.

 Tulisan : Bambang Noorsena pada Majalah Indonesia Maret 1998



KRISTEN ORTODOKS SYRIA 

Upaya Menemukan Kembali Akar 

Ajaran Kristen Ortodoks Syria hadir di Indonesia. Mereka salat tujuh kali sehari, 
dengan menggunakan bahasa Arab.

BERMULA dari keingintahuannya tentang ajaran Kristen yang berwajah oriental, Bambang 
Noorsena, 34 tahun, menelaah teks Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Ia juga 
melakukan perjalanan ke beberapa negara Timur Tengah pada 1995-1997. "Saya melacak 
jejak historis Gereja Anthiokia purba yang dikisahkan dalam Kitab Kisah Para Rasul," 
katanya kepada Gatra. Pencariannya tidak sia-sia. Bambang menemukan ajaran Kristen 
Ortodoks yang berpusat di Anthiokia, Syria.

Dalam ajaran Ortodoks itu Bambang Noorsena menemukan jembatan yang bisa menghubungkan 
antara Kristen dan Islam yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Lalu, warga 
Malang, Jawa Timur, yang tercatat sebagai jemaat Kristen Jawi Wetan itu berguru khusus 
kepada Mar Ignatius Zaka al Awwal al Uwais yang berkedudukan sebagai Patriark 
Anthiokia dan seluruh wilayah Timur. Mar Ignatius dikenal juga sebagai Rais al Aliy 
(Pemimpin Tertinggi) Gereja Ortodoks Syria. "Selama belajar di sana saya menemukan 
kembali akar kekristenan semitik. Inilah penerus dan pewaris Kristen yang pertama," 
kata Bambang.

Dalam Kisah Para Rasul disebutkan, sepeninggal Isa, Rasul Petrus bertugas sebagai 
patriark yang pertama di Anthiokia. Selama tujuh tahun Rasul Petrus menjalani misi 
sucinya, sebelum bertugas ke Roma. "Sejak saat itu ajaran Kristen mengalami proses 
Helenisasi, diikuti dengan Westernisasi," ujar Bambang Noorsena menjelaskan.

Yang menarik, dalam menjalankan ibadah ritualnya, Ortodoks Syria ini menjalankan salat 
tujuh waktu dalam sehari semalam, dengan menggunakan bahasa Arab. Mereka juga membaca 
Kitab Injil -dalam bahasa Arab- mirip orang Islam Sedang mengaji Al-Quran.

Adapun tata cara salatnya dimulai dengan posisi berdiri yang dipimpin oleh seorang 
imam berpakaian jubah warna hitam. Imam meletakkan kedua tangan di dada, membuat tanda 
salib, lalu mengucapkan lafaz dalam bahasa Arab: Bismil Abi wal Ibni wa Ruhil Quddus 
Ilahu Wahid (Demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Allah Yang Maha Esa). Jamaah 
menyambutnya: Amin. 
Imam melanjutkan berdoa dengan mengangkat kedua tangan dan disahuti oleh jamaah. 
Setelah membuat tanda salib berikutnya, imam membungkukkan badan seperti posisi ruku, 
dan mengucapkan: Quddusun Anta, ya Allah (Kuduslah Engkau, ya Allah). Jamaah menyahut 
dengan menyucikan nama Allah Yang Mahakuasa, Yang Tak Berkematian. Jamaah memohon 
kasih sayang Allah yang telah disalibkan sebagai ganti umat manusia. 
Imam berdiri tegak dan menadahkan tangan lagi.  
Lalu imam bersujud, dan diikuti seluruh jamaah. Ketika bangun dari sujud, imam membaca 
Subhanaka Allahumma (Mahasuci Engkau, ya Allah), jamaah menyahut bersamaan. Sambil 
menadahkan tangan, imam dan jamaah membaca Doa Rabbaniyah (Doa Bapa Kami versi bahasa 
Arab). 
Selanjutnya dibaca Salam Walidatullah (atawa Salam Maria). 
Imam kemudian membaca petikan Zabur (alias Mazmur dalam bahasa Aramaik), dan salat pun 
berakhir. 
 Kini, pengikut ajaran "baru" itu sudah ratusan jumlahnya, terutama di kalangan anak 
muda terpelajar. Mereka tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Untuk 
menghimpun jamaah, Bambang Noorsena membentuk Yayasan Kanisah Ortodoks Syria, 
September tahun lalu. Peresmiannya diselenggarakan di Hotel Milenium di Jakarta, akhir 
tahun lalu. Barnabas Suebu (mantan Gubernur Irian Jaya) duduk sebagai ketua umum 
yayasan. Sedangkan Dr. Anton Lesiangi (tokoh teras di Kosgoro) sebagai sekretaris 
umum. Mereka memang masih belum mempunyai gereja sendiri, karena masih menunggu sang 
imam yang bakal ditasbihkan di Syria.

Meskipun demikian, sejauh ini yayasan tersebut belum tercatat dalam komunitas Kristen 
di Indonesia. Hal itu dikemukakan oleh Jan Kawatu, Direktur Bimbingan Masyarakat 
(Bimas) Kristen Protestan, Departemen Agama, kepada Gatra.

Selama ini, menurut Jan, untuk mengontrol lahirnya yayasan dari aliran-aliran 
keagamaan di lingkungan Kristen Protestan, pihaknya telah mengeluarkan surat edaran 
yang disampaikan kepada para notaris, agar mereka tidak mengesahkan berdirinya sebuah 
yayasan atau lembaga kristen sebelum mendapat izin resmi dari Direktur Bimas Kristen. 
"Izin itu kan perlu untuk mengetahui siapa mereka, apa tujuannya, dan macam apa 
alirannya," kata Jan. Selain itu, menurut Jan, Bimas Kristen Protestan sudah menutup 
pintu bagi aliran baru. "Tidak ada lagi izin bagi aliran baru," kata Jan menegaskan. 

Berbeda dengan Jan, kehadiran aliran Kristen Ortodoks Syiria ini dapat diterima oleh 
cendekiawan muslim seperti Dr. Jalaluddin Rakhmat dan Dr. Nurcholis Madjid. "Kita 
harus menaruh hormat dan menghargai perbedaan," kata Kang Jalal -sapaan akrab 
Jalaluddin Rakhmat- pada Taufik Abriansyah dari Gatra. Menurut Kang Jalal, dia tidak 
kaget kalau dalam tata cara peribadatan mereka banyak yang sama dengan ajaran Islam. 
Sebab, menurut Kang Jalal, pada zaman dulu pun orang-orang Islam di Yordania, Syria, 
dan Lebanon hidup berdampingan dengan orang-orang Kristen yang disebut Kristen 
Moronit. Mereka melakukan tata cara peribadatan hampir mirip dengan cara beribadah 
orang Islam.

"Agama Nasrani itu makin klasik makin banyak kemiripan dengan Islam," kata Cak Nur 
-sapaan akrab Dr. Nurcholis Madjid- kepada Mauluddin Anwar dari  Gatra. "Kalau 
sekarang ada yang mirip, ya tidak aneh," ujar Cak Nur. Menurut Cak Nur, aliran Kristen 
Ortodoks Syiria itu justru lebih murni ketimbang Kristen yang berkembang di Barat. 
"Kalau kita gunakan literatur yang lebih awal, sebetulnya Kristen yang paling asli ya 
aliran mereka itu," kata Cak Nur kepada Gatra.

Agaknya kita memang perlu arif sesuai dengan semangat toleransi antarumat beragama.

Herry Mohammad, Sapto Waluyo, dan J. Eko Setyo Utomo



KHASANAH ORTODOKS SYRIA 

Ada Jilbab, Khitan, dan Jenggot 

SEJARAH menunjukkan bahwa paham Ortodoks lahir dari perselisihan antara Gereja 
Alexandria dan Gereja Roma serta Kaisar Konstantin. Dan mencapai puncaknya pada masa 
Kaisar Bizantium Marqilanus (450-458 Masehi), yaitu ketika diadakan Majma 
Khalkaduniyah dalam hal ketuhanan tahun 451 Masehi. Inilah yang kemudian menjadikan 
umat Kristen menjadi dua.

Satu pihak berpusat di Roma dan Bizantium yang mengakui bahwa Al-Masih memiliki dua 
sifat: Tuhan dan manusia. Aliran ini dipimpin oleh Baba Laon (440-461 Masehi). 
Sedangkan yang lain berpusat di Alexandria dan Antakia di bawah kepemimpinan Bapa 
Disqures I (444-454 Masehi) yang berpegang pada prinsip sifat tunggal bagi Al-Masih.

Aliran pertama, yang setuju bahwa Al-Masih punya sifat Tuhan sekaligus manusia, 
kemudian dikenal dengan nama Kristen Katolik. Sedangkan yang tidak setuju masuk dalam 
kelompok Ortodoks. Dari segi bahasa, ortodoks berarti "menganut ajaran agama yang 
dianggap benar, yang asli". Karena itu, penganut Ortodoks mencoba untuk hidup secara 
lurus, sesuai dengan tuntutan awal dari kelahiran agamanya.

Penganut Ortodoks itu sendiri dari beberapa toifah. Toifah adalah komunitas  
berdasarkan kesamaan kultus, tradisi, bahasa, dan bangsa. Ada toifah Koptik, Syrian, 
Armenian, dan Habasyah. Sedangkan "akidahnya" sama.

Menurut Abuna Robula Iskanda Soma, pemimpin Syirian Ortodoks di Mesir dan sekaligus 
pengasuh Kaniset Al-Adzro Maryam, "Antara Koptik dan Syrian adalah saudara kandung. 
Kami memiliki akidah yang sama, meski cara hidup kami berbeda," katanya. "Saya sendiri 
sekarang mendalami teologi kepada seorang guru Koptik biarpun saya Syrian."

Ortodoks Syria mengklaim punya bukti sejarah bahwa Injil yang pertama berbahasa Syria, 
dan Al-Masih berbicara dengan bahasa Syria. Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Arab 
tahun 643 Masehi. Waktu itu jabatan Gubernur Syria dipegang Umar bin Abi Waqos yang 
beragama Islam. Sampai saat ini, Injil yang digunakan penganut paham Ortodoks Syria, 
Irak, Lebanon, dan Mesir, adalah Injil berbahasa Arab. Antara bahasa Syria dan bahasa 
Arab memang banyak persamaannya.

Para penganut Ortodoks Syria melaksanakan ibadah tujuh kali per hari. Tapi, bila ada 
kesibukan, salatnya boleh dilakukan dua kali per hari: waktu fajar dan ketika matahari 
terbenam. Kalau yang ini masih juga tak mampu, bisa dilakukan satu kali dalam 
seminggu, yakni pada hari Minggu. 

Mereka juga mengenal puasa. Yaitu menghindari semua makanan yang mengandung unsur 
hewani. Minyak dan susu, misalnya, termasuk pantangan untuk diminum. Puasa bisa 
dilaksanakan pada setiap hari Rabu dan Jumat, kecuali antara hari kebangkitan Al-Masih 
hingga hari Pantekosta. Di dua hari besar itu ada larangan untuk menjalankan ibadah 
puasa. 

Suami-istri juga tak boleh sembarangan melakukan talak, kecuali salah satu di antara 
suami-istri itu melakukan sesuatu yang dilarang agama. Zina misalnya. Si suami tak 
berhak menceraikan istri. Hanya gereja yang berhak memutuskan cerai pasangan 
suami-istri. Itulah sebabnya Gereja Ortodoks tak mengakui cerai yang dikeluarkan 
catatan sipil. Poligami juga dilarang.

Pada awalnya, perempuan penganut Ortodoks Syria diwajibkan memakai jilbab hitam. Tapi 
karena perkembangan zaman, tak sedikit dari mereka yang melepaskannya. Meskipun 
demikian, bila ke gereja, mereka tetap diwajibkan menggunakan jilbab berwarna hitam.

Gereja, menurut paham ini, adalah suci. Siapa pun yang masuk ke rumah Tuhan harus 
dengan hati yang bersih. Juga fisik. Karena itu, sepatu tak boleh dipakai di dalam 
gereja. Lalu, pria dewasa, meski tak diwajibkan, dianjurkan untuk khitan. Para 
pendetanya juga memanjangkan jenggot. Ini mengingatkan pada para pendeta di masa awal 
berkembangnya ajaran Kristen.

 HMO, Mauluddin Anwar, dan A. Murtafie Haris (Kairo)

  

___________________________________________________________________________
Visit http://www.visto.com/info, your free web-based communications center.
Visto.com. Life on the Dot.


RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
==============================================Mendaftar atau berhenti menerima 
RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
==============================================

Kirim email ke