Barangkali benar bahwa orang
Minangkabau adalah kaum Muslim yang antusias, namun "they retain many of
their former matrilineal practices in the reckoning of genealogies, marriage and
inheritance, in flat contradiction to the Shari'ah."a Tetapi,
seperti diisyaratkan oleh Hildred Geertz tersebut, watak dasar orang Minangkabau
sebagai masyarakat berbudaya Pesisir justru sangat banyak diperkuat oleh Islam,
yang pada urutannya membuat mereka berkemampuan lebih besar untuk mengembangkan
dan meneguhkan wawasan demokratis menurut pengertian modern. Namun sesungguhnya dalam hal
ini masyarakat Minangkabau tidak sepenuhnya unik. Kelebihan masyarakat
Minangkabau adalah sifatnya sebagai masyarakat dengan budaya Pesisir par
excellence, sementara budaya Pesisir itu sendiri terdapat di mana-mana,
lemah dan kuat, di seluruh kepulauan Nusantara, khususnya, tentu saja,
daerah-daerah pantai atau pesisir. Maka di kalangan masyarakat Jawa, yang secara
keseluruhan mungkin merupakan antipoda masyarakat Minangkabau, terdapat
masyarakat Santri dengan ciri-ciri budaya Pesisir. Seperti dikatakan oleh John
W. Henderson, masyarakat Santri berciri sama dengan "coastal culture with its
rootagoing back to the petty kingdoms that grew up and prospered on the trade
with Muslims from Gujarat. "5 Pada dasarnya kaum Santri itu
berpola kehidupan urban, berorientasi dagang, berpandangan keluar (outward
looking), taat agama dan bermobilitas tinggi. Pola budaya Santri/Pesisir ini
merupakan pola umum budaya "orang Melayu pesisir" di Sumatera dan Kalimantan
serta kepulauan antara keduanya, juga mayoritas masyarakat Jawa Barat, Jawa
Pantai Utara, Aceh, Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Utara, sebagian Maluku,
kemudian Madura, Sumbawa, sebagian Lombok dan kelompok-kelompok tertentu
kepulauan lain di Nusa Tenggara.6 Karena itu ciri kesantrian yang cenderung
banyak menggunakan nama pribadi Arab juga merupakan gejala umum masyarakat
berbudaya Santri/Pesisir. Henderson juga menjadikan gejala itu bagian dari
pengamatannya, dan mengatakan bahwa masyarakat
Santri/Pesisir . . .. is associated with
certain arts forms of a Middle East flavor, the prevalence of Arabic personal
names, a predilection for trade, including peripatetic peddling, and a
willingness to exploit whatever economic opportunities present themselves
...7 Dukungan bagi pola budaya
Pesisir itu disediakan oleh Bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang paling
banyak mengalami Islamisasi dan Arabisasi. Atau sebaliknya, budaya Pesisir
menyediakan dukungan kepada Bahasa Melalyu. Sebagai bahasa yang protipenya
kembali jauh ke masa Sriwijaya, Bahasa Melayu telah berkembang menjadi
lingua
franca Nusantara, sebagai
perlengkapan kebahasaan pola kekuasaan maritim Sriwijaya. Kesultanan Aceh
kemudian mengkonsolidasi bahasa itu sehingga meningkat dari sebuah
lingua
franca menjadi bahasa literer,
khususnya untuk karya-karya bidang keagamaan, dengan menggunakan huruf Arab
setelah mengalami beberapa penyesuaian mengikuti contoh negeri-negeri Muslim
bukan-Arab. Bahasa itu disebut Bahasa Jawi, mengikuti kebiasaan penduduk Tanah
Suci yang secara salah kaprah memandang semua orang dari Asia Tenggara sebagai
orang Jawa (Jawa). Maka huruf Arab untuk bahasa itupun disebut huruf Jawi,
sebagaimana mereka di Malaysia, Singapura, Patani dan Brunai sampai sekarang
menyebutnya. Hampir semua daerah Santri/Pesisir juga menggunakan huruf Arab
untuk bahasa-bahasa mereka, yang di Jawa disebut huruf Pego. Tetapi huruf Jawi
memiliki tingkat pembakuan yang paling tinggi, dan umum dipakai di semua kawasan
berbahasa Melayu, paling umum di Aceh sendiri dan Sumatera
Barat. Keakraban masyarakat
Minangkabau dengan Bahasa Melayu baku dalam huruf Jawi, kemudian kelak dalam
huruf Latin, meratakan jalan bagi peranannya yang besar dalam pertumbuhan dan
perkembangan negara modern Indonesia. Jika kita boleh banggakan bahwa di antara
bangsa-bangsa baru di dunia, bangsa Indonesia tergolong paling sukses dalam
pembentukan jati diri dan pengembangannya, maka kesuksesan itu adalah berkat
kesuksesan pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia, yang dari Bahasa Melayu
baku
Riau dibina dan dikembangkan sebagian besar oleh para cendekiawan Minangkabau
menjadi Bahasa Indonesia modern sekarang ini. Sebagai
komunitas budaya Pesisir yang secara keseluruhan paling terpelajar menurut
pengertian modern saat-saat itu, orang Minangkabau memiliki perlengkapan
intelektual yang diperlukan untuk menjalankan peranan tersebut. Lebih jauh lagi,
karena sifat dasar budaya Minangkabau sendiri yang diperkuat oleh Islam dan
dikembangkan oleh pengalaman pendidikan modern, mereka juga memberi sumbangan
paling besar --jauh lebih besar daripada jumlah warganya dalam proporsinya
terhadap keseluruhan Warga Indonesia-- dalam pengembangan nilai-nilai
keindonesiaan yang lebih hakiki, berkenaan dengan nilai-nilai demokrasi,
keadilan, kebebasan, keterbukaan dan persamaan. Kosmopolitanisme
dan mobilitas tinggi pola budaya Pesisir menuntut adanya dasar kebebasan dan
persamaan yang kuat. Jika masyarakat Jawa secara garis besar sering dipandang
sebagai antipoda masyarakat Minangkabau, juga secara garis besar, keterangannya
ialah bahwa masyarakat Jawa tumbuh dalam lingkungan topografi vulkanik paling
besar dan paling aktif di muka bumi, dan lebih besar daripada Ranah Minang.
Kondisi topografis serupa itu menjadikan Tanah Jawa kawasan paling subur di muka
bumi, suatu kesuburan ekstra produktif yang divalidasikan oleh sebutan
Sanskertanya sebagai Java Dwipa (Pulau Padi). Implikasinya ialah
tumbuhnya masyarakat agraris produktif yang memerlukan pembagian kerja hirarkis
dalam masyarakat yang mengenal stratifikasi sosial yang cukup ketat. Dalam
gabungannya dengan kemampuan mobilisasi kekuatan untuk tujuan-tujuan politik dan
militer, Tanah Jawa menjadi home base yang
sangat handal bagi kerajaan besar Majapahit untuk melancarkan ekspansi wilayah
kekuasaannya sehingga meliputi seluruh Nusantara, kurang atau
lebih. Tetapi
untuk kebesarannya itu, Majapahit harus menerima kenyataan perdagangan global
yang sudah sejak sekitar empat abad sebelumnya dikuasai oleh masyarakat dagang
Muslim, yang untuk lingkungan Nusantara berpusat di kota-kota pesisir sepanjang
kedua sisi Selat Malaka. Oleh karena itu, untuk keperluan internasionalnya,
Majapahit tidak mungkin bersandar kepada penggunaan Bahasa Jawa semata,
betapapun canggih dan kayanya bahasa itu, dan harus mengikuti kecenderungan umum
Nusantara untuk menggunakan Bahasa Melayu. Ditambah lagi bahwa bagi
tujuan-tujuan ekspansi teritorialnya, Majapahit juga harus bersandar kepada
lembaga dan prasarana bahari (maritim), dengan Bahasa Melayu sebagai bahasa
kelautan Nusantara. Dengan pengalaman kerajaan
Majapahit yang berbasiskan pola budaya Pedalaman masyarakat agraris ekstra
produktif dalam tatanan sosial berlapis dan hirarkis, kemudian diperkuat dengan
wawasan bahari kota-kota pantai perdagangan Nusantara, masyarakat Jawa tumbuh
sebagai yang paling terlatih untuk menangani kekuasaan kenegaraan dalam skala
besar, dalam hal ini skala Nusantara. Dominasi masyarakat Jawa di bidang
kekuasaan kenegaraan semakin sulit ditandingi oleh masyarakat-masyarakat
Nusantara lain yang cenderung mengalami fragmentasi sosial-politik, mendekati
hakikat metafor pesisir atau pantai dengan hamparan pasirnya yang berserakan.
Tetapi tumpuannya yang amat berat kepada masyarakat berpola budaya Pedalaman
dengan stratifikasi hirarkisnya, masyarakat Jawa mengalami hambatan yang relatif
lebih besar daripada masyarakat-masyarakat berpola dasar budaya Pesisir seperti
Minangkabau dalam memahami dan menerima pandangan negara kebangsaan modern
(modern
nation state) yang berciri asasi keadilan,
faham persamaan manusia, keterbukaan, mobilitas tinggi, dan
kosmopolitanisme. Kenyataan di atas itu
agaknya disadari oleh sebagian besar para anggota masyarakat Jawa yang
terpelajar dalam arti modern, berkat kesertaannya dalam pendidikan Belanda.
Karena itu dalam Kongres Pemuda 1928, mereka yang pada hakikatnya merupakan
peserta terbesar, hampir tanpa masalah dapat menyetujui dan menerima Bahasa
Melayu sebagai bahasa persatuan untuk bangsa dan negara modern yang mereka
dambakan. Dengan peristiwa amat bersejarah itu, masyarakat Jawa berpola dasar
budaya Pedalaman untuk pertama-kalinya secara institusional resmi dipersatukan
dengan masyarakat-masyarakat berpola dasar budaya Pesisir, paling terkemuka
di antaranya ialah masyarakat Minangkabau, guna mendukung perwujudan "proyek"
raksasa, yaitu pembentukan negara kebangsaan modern Indonesia yang kokoh,
bersatu dan berdaulat, dan yang adil, terbuka dan
demokratis. Sebenarnya gabungan
kerjasama konstruktif antara lapisan terpelajar masyarakat Jawa dengan imbangan
mereka dari masyarakat Minangkabau telah terwujud beberapa tahun sebelum 1928.
Sarekat Dagang Islam, yang kemudian menjadi Sarekat Islam (dan kelak berkembang
lagi menjadi Partai Sarekat Islam), pada hakikatnya adalah wujud simbiose
mutualistis antara Jawa dan Minang,
dengan tokoh-tokoh representatifnya, Haji Samanhudi sebagai salah seorang
pemrakarsa pertama, kemudian Haji Omar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Karena proses pertumbuhannya itu, Sarekat Islam merupakan gerakan sosial-politik
pertama yang sungguh-sungguh berdimensi nasional, dalam arti bahwa wilayah
pengaruhnya meliputi hampir seluruh kawasan Hindia Belanda.
Sifat keislamannya yang mengatasi batas-batas kesukuan dan kedaerahan, dengan
dukungan nyata kerjasama lintas daerah dan suku antara Jawa dan Minangkabau,
Sarekat Islam adalah wujud paling dini jiwa keindonesiaan. Politik Etis Belanda
dan pendidikan modernnya telah membuahkan hasil sampingan positif berupa
tumbuhnya kesadaran nasionalisme modern. Tetapi sampai dengan tampilnya Sarekat
Islam, kesadaran itu baru menghasilkan gerakan-gerakan kepemudaan berdimensi
terbatas kepada kesukuan atau kedaerahan, seperti Jong Java, Jong
Sumatra, Jong Celebes dan Jong Ambon. Gerakan kepemudaan pertama yang
berdimensi lintas suku dan daerah adalah buah pikiran seorang tokoh Sarekat
Islam asal Minangkabau, Haji Agus Salim, dengan sarannya kepada seorang tokoh
pemuda mahasiswa priyayi tinggi Jawa yang santri, Raden Syamsurijal, untuk
membentuk Jong Islamieten Bond (J.I.B.) sebagai alternatif Jong Java yang mengecewakan
Syamsurijal. JIB. tumbuh sebagai tempat persemaian para pemimpin Islam
berpendidikan modern Belanda, yang kelak memegang tampuk pimpinan inti Partai
Politik Islam Masyumi. Lagi-lagi, merupakan salah
satu wujud nyata aliansi konstruktif Jawa-Minang, Masyumi berkembang menjadi
partai politik yang benar-benar berdimensi nasional. Dari empat partai besar
yang muncul sebagai hasil pemilihan umum 1955, Masyumi adalah satu-satunya
partai politik yang masyarakat pemilihnya menyebar hampir merata seluruh
Indonesia, sementara tiga yang lain, yaitu PNI, NU dan PKI, pada dasarnya adalah
partai Jawa. Dan ke dalam Masyumi tergabung gerakan sosial-keagamaan
Muhammadiyah, yang sejak tahap-tahap awal pertumbuhannya sudah merupakan hasil
pertalian kerjasama Jawa-Minang yang sukses. Setelah prakarsa-prakarsa
pertamanya di Yogya, Muhammadiyah tumbuh kuat karena dukungan dan partisipasi
tokoh-tokoh Muslim modernis
Minangkabau. |