DOSA-DOSA IMF

Oleh Revrisond Baswir


Daya hipnotis Dana Moneter Internasional (IMF) terhadap akal sehat rakyat
Indonesia tampaknya mulai memudar. Menyusul terbongkarnya rancangan letter of
intent (LOI) yang dibuatkan IMF untuk ditanda tangani oleh para pejabat
Indonesia, berbagai kritik pedas terhadap IMF serta merta muncul kepermukaan.
Akibatnya, mencuatnya pro-kontra mengenai keberadaan IMF di Indonesia, tidak dapat
dihindarkan.

Sejauh dapat dipantau dari silang pendapat yang berkembang belakangan ini,
kritik terhadap IMF di Indonesia memang masih terbatas pada soal kepiawaian
lembaga tersebut. Kritik yang lebih jauh mengenai siapa IMF, untuk kepentingan
siapa ia bekerja, dan apa implikasi pelaksanaan agenda-agenda IMF terhadap
masa depan perekonomian Indonesia, belum banyak mendapat perhatian. 

Padahal, jauh sebelum pro-kontra mengenai IMF muncul di Indonesia, kritik
pedas terhadap IMF telah mencuat di berbagai penjuru dunia. Bahkan, di Amerika
Serikat (AS), di negeri yang menjadi pemegang saham utama IMF, kritik pedas
terhadap IMF hampir mengalir setiap hari. Kritik tidak hanya muncul dari
serikat-serikat buruh atau organisasi-organisasi non pemerintah, tetapi juga dari
kalangan universitas, anggota kongres, dan bahkan dari seorang penerima
hadiah nobel ekonomi.

Yang dipersoalkan oleh para pengritik IMF di luar Indonesia memang tidak
sebatas kepiawaian IMF, tetapi terutama soal siapa IMF, untuk kepentingan siapa
ia bekerja, dan soal implikasi pelaksanaan agenda-agendanya terhadap masa
depan perekonomian sebuah negara. Demonstarsi besar-besaran menentang IMF,
hampir terjadi secara teratur sejak sepuluh tahun belakangan ini.

Apa sajakah dosa-dosa IMF, sehingga ia tiada henti-hentinya dihujat?
Jawabannya sangat sederhana. Pertama, berkaitan dengan siapa IMF, lembaga keuangan
internasional yang didirikan tahun 1944 tersebut pada dasarnya adalah sebuah
lembaga yang tidak demokratis. Walau pun IMF adalah sebuah lembaga dunia yang
beranggotakan 182 negara merdeka, tetapi proses pengambilan keputusan yang
diselenggarakan IMF tidak ada ubahnya dengan proses pengambilan keputusan dalam
sebuah perusahaan.  

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, proses pengambilan keputusan di IMF
dilakukan berdasarkan jumlah kepemilikan saham, yaitu dengan ketentuan 85
persen suara setuju. Padahal, sesuai dengan jumlah kepemilikan sahamnya,
negara-negara G-7 yang terdiri dari AS, Inggris, Jepang, Canada, Jerman, Prancis, dan
Italia, menguasai 45 persen suara. Dengan demikian, negara-negara kaya ini
praktis mendominasi seluruh proses pengambilan keputusan yang dilakukan IMF.
Yang lebih celaka, sebagai pemegang saham utama, AS ternyata menguasai 18
persen suara. Akibatnya, praktis tidak ada keputusan yang dapat diambil tanpa
persetujuan AS.

Kedua, dengan sangat dominannya peranan negara-negara G-7, khususnya AS,
dalam proses pengambilan keputusan di IMF, lembaga tersebut menjadi sulit
menghindar untuk tidak bekerja bagi kepentingan negara-negara kaya itu. Sesuai
dengan sifat demokrasi liberal yang terkooptasi oleh kepentingan para pemodal
besar, dominasi negara-negara G-7 dalam tubuh IMF, praktis sama artinya dengan
dominasi kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).

Sebagaimana terjadi pada berbagai pertemuan lembaga-lembaga keuangan atau
perdagangan internasional lainnya, seperti WTO, Bank Dunia, CGI, dan bahkan
Paris Club, delegasi negara-negara G-7 hampir selalu berangkat dengan membawa
seabreg titipan dari TNC mereka masing-masing. Dengan demikian, agenda-agenda
ekonomi IMF, sesungguhnya tidak lebih dari agenda terselubung para TNC
tersebut.

Ketiga, dengan latar belakang seperti itu, implikasi pelaksanaan
agenda-agenda IMF terhadap perekonomian negara-negara sedang berkembang menjadi mudah
diterka. Terlepas dari keberhasilan atau kegagalannya dalam "memulihkan"
perekonomian sebuah negara, pelaksanaan agenda-agenda IMF dapat dipastikan akan
berakibat pada menguatnya dominasi TNC terhadap perekonomian negara-negara yang
bersangkutan.

Sebab itu, tidak aneh jika agenda-agenda IMF cenderung terpusat pada empat
hal. Pertama, pengetatan anggaran negara, yaitu untuk menjamin kelancaran 
pembayaran utang. Kedua, liberalisasi sektor keuangan, yaitu untuk memberi
keleluasan kepada para pemodal internasional untuk datang dan pergi sesuka hati
mereka. Ketiga, liberalisasi sektor perdagangan, yaitu untuk mempermudah
penetrasi produk negara-negara industri maju. Dan keempat, privatisasi BUMN, yaitu
untuk memperlemah interfensi negara dan memperkuat dominasi TNC di
negara-negara yang bersangkutan, dengan harga murah.

Mencermati implikasi pelaksanaan agenda-agenda IMF tersebut, dapat
disaksikan bahwa dosa utama IMF sesungguhnya tidak terletak pada kinerja "pemulihan"
ekonominya, melainkan pada jati dirinya sebagai agen kepentingan TNC. Dengan
menguatnya dominasi TNC di negara-negara pasien IMF, beban yang sangat
biasanya akan jatuh ke pundak rakyat. Sebab, sesuai dengan sifat modal yang lebih
mementingkan keuntungan daripada kondisi kehidupan rakyat, dominasi TNC dapat
dipastikan akan diikuti oleh terjadinya proses pemingggiran sistematis rakyat
banyak dari perputaran roda perekonomian.

Secara terinci, dosa-dosa IMF yang menyebabkan semakin terpuruknya kondisi
kehidupan rakyat itu adalah sebagai berikut: (a) IMF menyebabkan terjadinya
pelembagaan suatu sistem kolonialisme baru; (b) IMF menyebabkan semakin
dominannya peranan TNC; (c) IMF mendorong dikorbankannya kepentingan rakyat untuk
menyelamatkan para bankir; (d) IMF menyebabkan meningkatnya komersialisasi
pelayanan publik; (e) IMF menyebabkan meluasnya pengangguran; (f) IMF menyebabkan
merosotnya upah buruh; (g) IMF menyebabkan terpinggirkannya kaum perempuan;
(h) IMF menyebabkan rusaknya lingkungan; (i) IMF menyebabkan melebarnya
kesenjangan kaya-miskin, dan (j) IMF menyebabkan semakin parahnya krisis ekonomi. 
    

Mencermati daftar dosa-dosa IMF tersebut, mudah dimengerti bila sejumlah
organisasi buruh internasional cenderung memelesetkan kepanjangan IMF menjadi
I'M Fired. Juga mudah dimengerti jika penerima hadiah nobel ekonomi 2001,
Joseph Stiglitz, pernah menyebut program privatisasi yang dipaksakan IMF sebagai
briberization (rampokisasi). Saya sendiri sedang mempertimbangkan untuk
memelesetkan IMF menjadi International Massacre Fund (Dana Pembantaian
Internasional). Bagaimana menurut pendapat anda?   

-- 
GMX - Die Kommunikationsplattform im Internet.
http://www.gmx.net


RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe,
anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini.

Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: 
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3
===============================================

Kirim email ke