Assalamu'alaikum wr. wb.
Pemikiran sanak Elfanzo bahwa Adaik Basandi
Syara, Syarak Basandi Kitabullah ( ABS ABK) taraso saroman retorika sajo.
Sebuah pandangan yang tajam dan jitu, apalagi dalam kondisi masyarakat yang
terlena oleh hedonisme dan terimpit kapitalisme feodal sekarang ini. Karena
faktor inilah PT SP mau dirampok secara MMSB, yang secara emosional
kelihatan benar.
[Efanzo]
Apalagi dalam prakteknya ternyata urang Minang
tidak saja menyandarkan akidah mereka kepada Kitabullah semata, tapi juga
kitab-kitab buatan manusia. Jadi idealnya kalau melihat kepada praktek
keseharian, maka cocoklah sbb: "Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah jo
Hadits jo Kitab-kitab umaik nan lain."
(SBN)
Yang sangat menarik dari adat minang ialah ialah
secara sosiologis adat minang itu hukum positif yang tak
tertulis, dia mempunyai pokok-pokok yang baku, namun tidak
terbakukan oleh lembaga apapun. Setiap urang minang boleh menuliskan sampai
detail tentang adat minang, lalu mana yang baku? yang baku ialah pemikiran yang
diimplementasikan secara teruji baik oleh waktu maupun oleh kondisi. Kenyataan
memang sekarang banyak urang minang bicara atas nama adat, tapi tidak
menjalankan adat itu sendiri, contoh konkrit ialah MMSB dari DPRD
Sumbar.
Elfanzo mengutip ABS-SBK, melihatnya dengan sesuatu
yang kurang, mungkin lupa bahwa SBS-SBK tidak bisa lepas dari "syarak mangato
adat mamakai" berikutnya
"adat bajalan ateh alue jo patuik"
diteruskan
"alue jo patuik ateh nan bana"
"nan bana badiri sandirinyo"
Tidak mudah memang mengaitkan keempat alinea
aplikasi adat diatas, setidaknya untuk "nan bana badiri sandirinyo" ini
membutuhkan intellectual exercises diatas rata-rata indonesia sekarang, sulit?
mungkin, tapi disitulah letaknya the execellence. Orang yang telah mengaji
syariat, hakikat dan filsafat tidak akan menemui kesukaran dalam
mengimplentasikannya. Kalau sekarang banyak orang subarang melecehkan kaji
hakekat dan filsafat, tidak lepas dari pengaruh kapitalisme feodal-hedonis
tadi.
Contoh aktual sekarang ialah mengaitkan Islam dengan demokrasi. Berikut ini tulisan Sdr.
Bachtiar Effendi.
Salam
St. Bagindo Nagari
Tidak sedikit Muslim yang berpandangan bahwa Islam
sejalan dengan demokrasi. Dalam kaitannya dengan ini, biasanya sejumlah
prinsip Islam dikemukakan, ditafsirkan, untuk kemudian disimpulkan bahwa
nilai-nilai itu suatu semangat dengan pandangan profetik Francis
Fukuyama—demokrasi. Prinsip-prinsip umum yang ditawarkan adalah keadilan (‘adl),
persamaan (musawah), musyawarah (syura), volustarisme, dan
sebagaianya.
Sering dilupakan bahwa tak sekedar mendakwahkan
prinsip-prinsip tersebut, tetapi juga yang lain—dan tidak semuanya mudah
diakurkan dengan elemen-elemen dasar kehidupan yang demokratis. Bahkan,
tergantung bagaiamana orang menafsirkan, prinsip- prinsip umum di atas
–yang secara taken for granted dianggap memiliki “kemiripan
kekeluargaan” (family resemblances) dengan demokrasi. Di sana-sini misalnya, ada
Muslim yang berpandangan bahwa syura itu beda dengan demokrasi.
Dalam perspektif ini, yang menjadi acuan adalah bahwa Muslim tidak
dibolehkan untuk menciptakan kesepakatan- kesepakatan yang dinegosiasikan
terhadap segala sesuatu yang dipercaya bertentangan dengan hukum Allah.
Karena itulah, Mohammad Natsir tidak bisa sepenuhnya menerima pandangan
Barat tentang demokrasi. Sebagai pembanding, ia mencetuskan apa yang
disebutnya teo-demokrasi—demokrasi yang berketuhanan.
Merujuk pada apa yang telah dikemukakan, diperlukan kehatian-hatian yang
secukupnya untuk membangun pandangan yang bersahabat antara Islam dan
demokrasi. Ini antara lain juga disebabkan oleh kenyataan sejarah
yang tak terbantahkan bahwa apa yang dikenal dewasa ini sebagai demokrasi
lahir bukan di dunia Timur, di mana Islam dilahirkan dan dibesarkan.
Menurut George Kennan “ demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang
berkembang pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas di Eropa Barat
(Laut).” Yang demikian itu, menurut ilmuwan politik konservatif lainnya,
Samuel P. Huntington, hanya bisa tumbuh karena dukungan “sikap, nilai,
kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku yang berkaitan yang kondusif bagi
perkembangan demokrasi.” Kalau pemikiran seperti ini diikuti, maka memang ada
persyaratan-persyaratan budaya tertentu yang diperlukan guna mendukung tumbuhnya
demokrasi. Beberapa karya besar mengenai hal ini, yang dikemas dalam civic
culture hanya meneguhkan pandangan tertentu.
Dapatkah Islam, sebagaimana agama mayoritas di
Republik ini memberikan topangan budaya bagi berkembangnya demokrasi?
Sebagaimana telah dikemukakan, jawabannya bisa afirmarif atau negatif
artinya memang tidak ada jawaban yang bersifat kata putus (clear cut) dalam hal
ini. Bergantung kepada Muslim dalam memahami ajaran agamanya –apakah
doktrin-doktrin teologis yang ada akan dicarikan kesejajaran atau dengan
demokrasi atau tidak.
Tapi,
yang lebih penting dari itu adalah bagaimana demokrasi dipahami oleh komunitas
Islam, dan seperti apa pula para pendukung demokrasi pada tingkat global melihat
praktik-praktik demokrasi di dunia Islam. Posisi seperti ini diperlukan, karena
tak jarang apa yang dipraktekkan sebagai demokrasi oleh satu komunitas dipandang
lain oleh komunitas yang lain. Misalnya demikian gigihnya Robert N. Bellah
mendeskripsikan dinamika politik masa Muhammad sebagai suatu fenomena
demokratis, tapi justru dipandangan sebaliknya oleh banayak pihak—hatta di
lingkungan Muslim sendiri.
Ketika
gelombang demokratisasi mulai pasang pada akhir dasawarsa 1970-an dan
sepanjang 1980-an tak ada satu karya yang bersedia melihat potensi dunia Islam
di dalam mempraktekkan demokrasi. Alasan utamanya adalah bahwa dunia Islam tidak
memiliki pengalaman yang memadai dalam mengembangakan demokrasi dan
menurut kacamata waktu itu tidak ada isyarat sedikit pun bahwa kawasan ini mampu
menerima gagasan-gagasan.
demokratik. Apa yang pernah di praktekkan oleh
Libanon dengan demokrasi bagi-bagi kekuasaanya berdasarkan kelompok
etnis-religius yang ada (consociational democracy) tidak dianggap sebagai
demokrasi yang sebenarnya (genuine) demikian pula yang terjadi dengan
Indonesia. Apa yang pernah berlangsung di negeri ini pada 1950 sampai 1957/1959
bukan merupakan pengalaman demokratik yang cukup. Mungkin karena semuanya
berakhir dengan kegagalan, maka pengalaman-pengalaman demokratik yang memang
sulit itu tidak masuk dalam hitungan!
Jika
pola pandangan seperti ini yang dipakai, maka memang tidak ada di dunia Islam
yang berhasil bersentuhan dengan kehidupan demokratis secar cukup memadai.
Kenyataan seperti ini setidaknya mempunyai implikasi besar. Pertama, apa
manfaatnya mencari dukungan teologis dari Islam bagi demokrasi? Islam sudah ada
sejak empat belas abad lebih dan tidak menghasilkan tatanan
sosial-kemasyarakatan demokratis. Kedua, realitas seperti ini hanya membenarkan
posisi argumen kulturalis, bahwa dunia Islam memang tidak memiliki struktur
budaya yang kondusif bagi demokrasi.
TJ.
Pimple memberi harapan ketika menggulirkan gagasan mengenai gagasan demokrasi
yang tidak lazim (uncommon democracy). Praktik demokrasi di negara-negara
Skandinavia, Israel, dan Jepang berbeda secara cukup berarti dengan Eropa Barat
dan Amerika Utara. Menjadi demikian, karena demokrasi mengalami proses “
pribumisasi” atau kontekstualisasi yang secukupnya. Dengan cara itu,
demokrasi disesuaikan dengan struktur budaya masyarakat setempat, sehingga
memungkinkan proses akomodasi atau adaptasi timbal balik.
Bukankah berbicara mengenai sesuatu yang “lain”, termasuk Islam, kita
sering menekankan perlunya pribumisasi dan kontekstualisasi? Abdurrahman
Wahid, Munawir Syadzali, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, atau Nurcholish
Madjid fasih berbicara mengenai hal ini. Untuk itu, bukankah sudah
waktunya kita berbicara mengenai demokrasi dalam konteks (budaya) Indonesia?
Tanpa itu, tak mungkin demokrasi yang kita dakwahkan memperoleh dukungan budaya
yang berarti. Tanpa itu, tak mungkin demokrasi akan mendapat dukungan Islam
sebagian besar umatnya masih menganut faham feodalistis dan paternalistik,
bersikap mau menang sendiri dan tidak berjiwa kesatria. ***
----- Original Message -----
From: "Elfanzo Remis" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Cc: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Thursday, August 22, 2002 1:18
PM
Subject: Re: [RantauNet] Anak Buah Kapal ada yg
kurang
>
> Ambo raso ado nan kurang antaro teori jo praktek. Adaik Basandi Syara,
> Syarak Basandi Kitabullah ( ABS ABK) taraso saroman retorika sajo. Apalagi
> dalam prakteknya ternyata urang Minang tidak saja menyandarkan akidah mereka
> kepada Kitabullah semata, tapi juga kitab-kitab buatan manusia. Jadi
> idealnya kalau melihat kepada praktek keseharian, maka cocoklah sbb:
>
> "Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah jo Hadits jo Kitab-kitab umaik
> nan lain."
>
> We should be aware of our fair level of consistency here.
>
> -el-
>
>
>
> >From: "Basri Hasan" <[EMAIL PROTECTED]>
> >Reply-To: [EMAIL PROTECTED]
> >To: <[EMAIL PROTECTED]>
> >Subject: Re: [RantauNet] PT SP - Indaruang Block & CPP Block
> >Date: Thu, 22 Aug 2002 12:50:51 +0700
> >
> >>
> >[DM]
> >Apo urang kencong harus dilawan kencong?
> >Urang kencong apo awak harus kencong?
> >Karam lah awak sakampuang kalau baitu.
> >
> >Harusnyo urang subarang amburadul.
> >Tunjuakkan ABSSBK iyo sabana boneh
> >Kami pantai Samudra India bisa jo elegan
> >Kamiko tau aturan.
> >
> >Hukum bisnis harus disalasaikan jo hokum bisnis.
> >Hukum adapt harus disalasaikan jo hokum adapt.
> >Hulkum parang harus disalasaikan jo hokum perperangan
> >
> >Kalau indak bacampua cipuik jo rabuang
> >Talenggang minyak tanah ka nasi.
> >Raso nan kalimincuangan dikecekkan lamak
> >Disorakan lamak jo emosi masa
> >
> >Kama ka dibao nogari awakko
> >Kama ABSSBK ko kaditogakkan
> >Apo ka ditogakakkan "banang basah" awak tu
> >
> >Alah bakalimincuangan hokum dikampuang ambo
> >Apo bisa trust dibangun kalau cando iko
> >
> >Ya allah yarabbi
> >Bukakan pintu kejalanMu
> >Tunjuki kami jalan yang benar.
> >Ammiiiiiiiiin
> >
> >Salam
> >
> >St. Bagindo Nagari
> >
> >
> >
> >
> >
>
>
> _________________________________________________________________
> Join the world's largest e-mail service with MSN Hotmail.
> http://www.hotmail.com
>
>
> RantauNet http://www.rantaunet.com
> Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
> ===============================================
> Tanpa mengembalikan KETERANGAN PENDAFTAR ketika subscribe,
> anda tidak dapat posting ke Palanta RantauNet ini.
>
> Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: http://www.rantaunet.com/subscribe.php3
> ===============================================
>