Kamis 13 Maret, malam

Bangunan Asrama Emabarkasi Haji Indonesia di Jedah yang terletak di
lokasi yang tidak sestrategis Asrama Emabarkasi Haji Malaysia, merupakan
bangunan berlantai tiga. Kamar-kamarnya cukup luas dengan tempat tidur
bertingkat berendeng dua-dua dan hanya berpendingin kipas angin.
Toilet/kamar mandi dan tempat berwudhuk terbuat dari material kelas dua
dan tidak begitu terawat dan bersih. Kloset jongkoknya sudah berwarna
kehitam-hitaman.

Kami hanya membawa handbag dan barang-barang tentengan lainnya, karena
koper-koper langsung dibawa ke counter Garuda di Bandara  King Abdul
Azis untuk ditimbang dan dimuat ke pesawat.

Kafilah kami mendapat dua kamar yang diisi per kelompok sehingga suami
isteri tidak perlu menempati kamar terpisah. Pengaturannya, isteri di
dipan bawah dan suami di dipan atas. Karena kasihan melihat saya harus
turun naik, Mbak Etty yang dipannya berseberangan dengan kami bilang
biar dia yang di atas di samping Mas Yuliansyah, karena dipan yang di
atas Bu Aisyah yang berendengan dengan Kur kosong. Tetapi dengan
menempati bekas dipan Mbak Etty, saya jadinya tidur berendengan dengan
Bu Paijan. Wah, gawat  nich. Akhirnya saya tukaran dengan Bu Aisyah,
sementara Mbak Etty dan Mas Yuliansyah pindah ke sebuah tempat tidur
yang masih kosong, sehingga Mbak Etty bisa tetap menempati dipan yang di
bawah.

Selama di Jedah, termasuk di Bandara  King Abdul Azis, kami memperoleh
jatah makanan yang disiapkan oleh Panitia Haji Indonesia. Tetapi di
sepanjang alur pintu masuk Asrama banyak kios-kios yang menjual masakan
Indonesia seperti gado-gado, bakso, lotek dan sate, dan tentu saja teh
susu. Sebelum tidur kami mendapat jatah makan: nasi boks, buah dan air
mineral. Karena selera makan saya mulai pulih---walaupun ikan dan sayur
di nasi boks tersebut tidak pedas dan tidak ada sambalnya, saya tidak
mengalami kesukaran untuk memakannya sampai habis.

Jumat, 14 Maret

Tidak lama setelah terbangun saya mendengar azan subuh dari masjid yang
ada di kompleks, yang tadinya saya pikir baru azan pertama, sehingga
ketika Kur membangunkan saya untuk salat saya masih tidur-tidur ayam
saja. Saya buru-buru bangun untuk berwudhuk dan bergabung ketika saya
dengar Pak Ustadz mengimami jemaah yang salat di luar. Tetapi saya tidak
bisa keluar karena Pak Ustadz salat tepat di dekat pintu keluar.
Ternyata saya harus menunggu cukup lama karena doa Pak Ustadz yang
dijaharkannya dan diamin-aminkan oleh para jemaah ternyata panjang
banget.

Ketika hendak keluar saya bertemu dengan Pak Radjikin yang baru kembali
salat subuh di masjid  yang memberitahukan, kalau saya mau mandi
sebaiknya di toilet yang terletak di depan masjid yang lebih bersih.

Di Jedah ada beberapa obyek ziarah yaitu kuburan Siti Hawa yang
panjangnya 8 meter, Sepeda “Bani Adam” 1], masjid Qisas (masjid tempat
diberlakukannya qisas atau hukuman mati bagi para pembunuh yang tidak
dimaafkan oleh keluarga korban) dan pantai Laut Merah, yang bisa
dikunjungi dengan bus “shuttle” yang juga lewat di depan Asrama
Embarkasi. Penumpang setelah membayar bisa turun di salah satu obyek
ziarah dan setelah selesai naik bus lain ke obyek ziarah yang lain
dengan kembali membayar.

Kur mula-mula mengatakan ingin pergi ziarah bersama-sama robongan Bu
Juminem tetapi kemudian bilang ingin istirahat, yang saya amini saja,
karena juga lebih ingin beristirahat. Berbeda dengan ketika masih berada
di Mekah dan Madinah, hatta ketika masih sakit, saat itu capek badan
mulai terasa, sehingga terbersit dalam pikiran saya  saya bahwa
mengingat usia dan kesehatan, ibadah haji ini adalah yang pertama dan
sekaligus terakhir buat saya. Saat itu kerinduan kepada rumah mulai
terasa. Padahal sejak pertama kali menginjakkan kaki di Terminal A
Bandara Sukarno-Hatta waktu hendak berangkat, pekerjaan, rumah dan juga
anak-anak jarang sekali teringat, kecuali ketika berdoa untuk mereka.

Selesai mandi dan sarapan saya keluar dan berjalan-jalan di sekitar
Asrama. Namun ketika hendak keluar dari gerbang, askar yang menjaga di
sana tidak memperbolehkannya. Rupanya yang diperbolehkan jika
berombongan.

Ketika Azan salat Jumat yang pertama terdengar, saya masih
bermalas-malasan di dipan saya dan baru akan berangkat menjelang azan
yang kedua karena masjidnya toh masih di dalam kompleks. “Nanti tidak
dapat tempat”, kata Pak Erman yang sudah siap-siap untuk pergi. Saya
pikir benar juga, dan ikut rombongan teman-teman, sehingga ketika sampai
di masjid saya sempat membaca dan menyelesaikan Surrah Yasin dengan
tartil sampai Azan kedua dikumandangkan (saya tidak bisa dan terbiasa
membaca Yasin dengan “ngebut” seperti yang biasa dilakukan sebagian
orang).

Ketika hendak makan siang Kur keluar untuk membeli bakso pakai sambal
yang pedas yang sudah lama dipengeninya dan sate ayam buat saya di depot
makanan terbesar di kompleks tersebut. Pulangnya Kur hanya membawa bakso
yang harganya di sana 10 real karena sate ayam baru dijual setelah jam 5
petang.

Kur yang tadinya tidak berminat untuk berziarah, sekarang malah ingin
setelah mendengar cerita Bu Juminem yang pergi ke tempat-tempat tersebut
dengan dipandu Ustadz Azis. Mas Yuliansyah dan Mbak Etty, dan kemudian
Pak Andi dan Mbak Dewi juga mau. Setelah makan siang kami berenam turun
dan keluar. Ketika masih di dalam kompleks Asrama kami bertemu dengan
seorang jemaah yang baru kembali dari sana.

“Mau lihat apa sih?” tanyanya. “Laut di Ancol lebih bagus”, lanjutnya.
Akhirnya kami batal berangkat dan balik kanan. Saya dengan Kur mampir ke
kios kaset dan VCD yang ada dikompleks tersebut untuk membeli VCD
Manasik Haji dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pemerintah
Kerajaan Saudi Arabia yang saya lihat di sana pagi tadi. Ternyata sudah
habis. Akhirnya kami hanya membeli dua buah kaset bacaan Al Qur’an Imam
Masjidil Haram, yakni Surah Al-Baqarah dan Juz ‘Amma 2].

Ketika kami kembali ke dalam Asrama, beberapa jemaah mendiskusikan
kemungkinan penundaan keberangkat kloter kami kembali ke Indonesia
akibat tertundanya keberangkat kloter 58 karena kerusakan pesawat. “Aah
tidak mungkin”, kata saya kepada Mas Yuliansyah, Mbak Etty dan beberapa
jemaah yang ada dekat saya. “Garuda kan tidak hanya punya satu pesawat”,
lanjut saya dan kemudian mengatakan bahwa saya kan sering terbang pakai
Garuda, entah apa hubungannya. Karena itu sewaktu Pak Ketua Kafilah
mengatakan bahwa kloter kami akan berangkat malam jam 10 ke Bandara
King Abdul Azis dan sesuai dengan jadwal kloter akan diberangkatkan ke
tanah air jam 4 pagi waktu setempat (jam 8 pagi WIB) dan akan tiba di
Jakarta jam 6 petang, saya agak bangga juga sedikit, walaupun untuk
sementara. Juga diberitahukan bahwa setelah ditimbang oleh Garuda
koper-koper kafilah kami tidak ada yang kelebihan berat. Kepada kami
kemudian dibagikan boarding pass dengan nomer tempat duduk sama dengan
waktu berangkat dari Indonesia, yang untuk penerbangan haji diberi nomor
urut dari kursi paling depan.

Kur kemudian turun untuk menilpon ke rumah memberitahukan kepastian
kepulangi kami melalui pesawat telepon yang penagihannya dilakukan di
Indonesia.

Menjelang Magrib kami turun kembali ke bawah untuk membeli bakso, sate
ayam dan teh susu panas, dan ketika kami mampir lagi ke toko kaset
ternyata VCD yang saya inginkan sudah ada lagi, yang langsung kami beli.
Melihat saya makan sate dengan lancar Pak Hadi yang mungkin tidak tahu
bahwa saya “urang awak”  bertanya, “Pak Darwin koq enak saja makannya,
apa nggak pedas?”. Kur tertawa sambil mengatakan, bahwa di meja makan
kami di rumah selalu ada warna merah, dan cucu-cucu kami, termasuk Upik
yang masih kelas nol besar yang sering makan di rumah kami, sangat suka
dendeng belado atau asam padeh daging masakan neneknya.

Jam 9 malam kami turun ke bawah untuk bersiap-siap. Sewakatu kami tiba
di bawah kloter Surabaya sedang menaiki bus-bus yang akan membawa ke
Bandara  King Abdul Azis, yang tadinya kami kira bus-bus kami.

Sekitar jam 10 kurang 10 menit  seorang pengusaha katering di Jedah yang
kenal dengan Mbak Etty, mendekati kami memberitahukan bahwa penerbangan
kami ditunda karena ada kerusakan pada mesin pesawat, dan kami baru
berangkat besok petang dengan pesawat yang sedang dikirim dari Jakarta.
“Ah, masak sih?”, kata saya yang sudah terlanjur bangga karena
penerbangan kami ke Jakarta benar sesuai dengan jadwal. Dan ketika
seorang Panitia Haji Indonesia di Jedah memberi tahu bahwa kepulangan
kami ke Indonesia ditunda ke jam 4 siang besok, hampir serempak kami
bergumam: “Yaaaaaa…..!”. “Ini pasti ada hikmahnya”, ujar bapak itu
mencoba menghibur kami. Juga dikatakan bahwa besok pagi kami masih akan
dapat pembagian konsumsi.

Jelas dong Pak, masak kami disuruh puasa sampai besok siang!

Setelah itu dengan kuncun kami semua membawa handbag dan barang
tetntengan kami kembali ke kamar kami di atas. Beberapa anggota kafilah
kami diajak menginap di rumah pengusaha katering tersebut.

Sabtu 15 Maret, pagi

Saya salat subuh di masjid. Rupanya masjid ini di bawah pengelolalan
Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia, karena imamnya, dan khatib yang
memberi khutbah Jumat kemarin adalah penduduk setempat. Tetapi seperti
kemarin juga ada orang Indonesia yang rupanya juga pengurus masjid
ikutan ngomomg, yang subuh itu dengan agak overackting dan
mengutip-ngutip dalil, meminta jemaah untuk tetap tinggal di masjid
sampai matahari terbit untuk mendengar kuliah subuh dari penceramah
orang Indonesia  dan membaca wirid. Melihat caranya mengajak itu begitu
selesai salat, saya langsung angkat kaki. Waktu saya mencari penjual teh
susu di sekitar kompleks, saya mendengar dari luar kuliah subuh yang
dibawakan oleh seorang pembicara yang berasal dari Sulsel, ternyata
asyik juga.

Setelah itu saya mengantar Kur untuk menilpon ke rumah memberitahukan
penundaan kepulangan kami, yang rupanya juga telah diberi tahu oleh Bu
Silvi, isteri Pak Ketua Kafilah yang begitu mengetahui ada penundaan
langsung menilpon  ke rumah kami. Kur memberitahu bahwa hari Minggu jam
6 pagi kami sudah tiba di Bandara Sukarno-Hatta.

Jam sembilan pagi kloter kami kembali sudah bersiap-siap di bawah, dan
jam setengah sepuluh bus yang akan mengangkut kloter kami sudah masuk
satu-persatu. Ketika itu anggota kafilah kami yang menginap di luar
belum kembali. Hal itu menyebabkan Pak Ketua kafilah yang penyabar itu
menjadi gusar. Karena mereka itu sahabat-sahabat dekat kami, kami
bermaksud membawa handbag mereka dan kemudian mereka bisa menyusul pakai
taksi, tetapi dilarang oleh Pak Ketua, sekalipun salah seorang anggota
kafilah itu adalah keponakannya sendiri. “Di bandara itu nanti repot,
jadi biarkan saja”, kata beliau. “Kalau sampai saat kita berangkat
mereka tidak datang, mereka ikut penerbangan berikutnya”, tegasnya.

Ketika portir hendak menaikkan handbag kami ke atap bus, Kur dan
beberapa ibu-ibu mengasih uang kepadanya. “Biar dia hati-hati
memperlakukan barang-barang kita”, jelas Kur kepada saya. Saya hanya
bisa geleng-geleng kepala.

Berbeda dengan jemaah lain, Pak Khaidir tidak mau menaikkan handbagnya
ke atas atap bus, walaupun disuruh-suruh petugas. Saya tahu alasannya.
Handbagnya itu penuh dengan botol 300 cc berisi air Zam-Zam oleh-oleh
buat tetangganya, sehingga kalau ditaruh di atas atap bus dan tertindih
tas-tas lain, botol-botol itu bisa pecah dan membasahi tas-tas lain.
Saya bisa membayangkan betapa gembiranya tetangga Pak Khaidir menerima
oleh-oleh istimewa tersebut.

Tidak lama kemudian anggota kafilah yang tidur di luar asrama itu datang
yang langsung ditegur oleh Pak Ketua Kafilah.

Jam sepuluh lewat sedkit, bus-bus yang membawa kloter kami bergerak
menuju Bandara  King Abdul Azis.

(bersambung)

Salam, Darwin

1] Menurut Halim (1995) riwayat yang mengatakan Siti Hawa dimakamkan di
sana lemah dan banyak ditentang ahli sejarah.

2] Setelah kami putar di rumah ternyata kaset itu rekaman dari
potongan-potongan bacaan Imam Masjidil Haram mengimami Salat Tarawih
dalam bulan Ramadhan. Lalu kami ingat cerita Ustadz Iskan waktu di Mina
bahwa ulama-ulama hafidz Al Qur’an di Saudi yang kehidupannya zuhud itu
tidak mau merekam suaranya untuk tujuan komersial. Tapi ada saja akal
orang untuk memperolehnya. Seperti diketahui pada Salat Tarawih 23
rakaat yang dilaksanakan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, imam
Masjid membaca ayat-ayat setelah Suratul Fatihah satu juz setiap malam,
sehingga selama bulan Ramadan itu selesai Al Qur’an  dibaca sampai
tamat. Saya ingat dalam diskusi di Milis Proletar ada beberapa netters
yang meragukan kalau ada orang yang bisa hafal keseluruhan isi Al
Qur’an. Sekitar dua juta orang yang melaksanakan Salat Tarawih di
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi setiap tahunnya menjadi saksi bahwa
keraguan tersebut tidak berdasar, walaupun sebenarnya tidak perlu
jauh-jauh, karena di Indonesia sendiripun tidak sedikit orang yang
bahasa ibunya bukan Bahasa Arab hafal Al Qur’an 30 juz.



RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke