Kamis, 13 Maret sesudah Subuh Setibanya di pemondokan saya langsung masuk ke kamar dan merebahkan diri ke dipan dengan memunggungi pintu, sembari berusaha menenangkan perasaan saya dari kegalauan saat-saat meninggalkan masjid tadi. Saya mencoba untuk tidur tetapi tidak bisa.
Saya berfikir paling cepat Kur baru akan kembali jam 11, eh ternyata jam 9 sudah pulang bersama Mas Yuliansyah dan Mbak Etty membawa roti kebab. Kur mengatakan bahwa mereka pulang saja karena walaupun sudah menunggu cukup lama di depan Hotel Bahaudin mereka tidak menenemukan Pak Ustadz dan anggota kafilah kami yang lain. Ketika saya tanyakan apa Pak Tukiman dan Bu Juminem ikut pulang, Kur mengatakan tidak. Mendengar itu jantung saya berdegup lebih cepat, lalu meminta Kur untuk menutup dan mengunci pintu kamar. “Mau ngapaian sih?”, jawab Kur yang khawatir kalau Pak Tukiman dan Bu Jumimen tiba-tiba pulang atau Mbak Etty mencarinya untuk mengatakan atau menanyakan sesuatu, tetapi akhirnya beranjak juga untuk menutup dan mengunci pintu kamar. Perjalanan haji adalah perjalanan ubudiyah, dan setiap jemaah harus mampu mengendalikan diri dan bersedia untuk mengurangi berbagai kesenangan duniawi, termasuk melakukan hubungan suami-isteri. Tetapi berhaji juga jelas bukan untuk penyangkalan diri. Melakukan hubungan suami-isteri dilarang syariat, tetapi hanya pada saat-saat berihram umrah haji dan berihram haji sebelum bertahallul qubra. Lagi pula andaipun diperbolehkan, manna sempat? Bagi jemaah haji yang memilih haji tamattu, larangan tersebut tidak lebih dari tujuh hari. Perjalanan haji ONH biasa memakan sekitar 40 hari. Tentu saja sangat sedikit pasangan suami isteri yang sanggup untuk “berpantangan” di luar hari-hari yang dilarang tersebut, dan juga dan tidak perlu. Malah kalau ditahan-tahan bisa gawat karena bisa uring-uringan dan ibadah menjadi tidak keruan. Lagi pula, sesuai dengan sabda Nabi SAW, bukankah melakukan hubungan suami-isteri itu mempunyai nilai ubudiyah juga, berpahala? Karena itu para jemaah yang behaji suami isteri harus pandai-pandai menggunakan kesempatan untuk itu, termasuk jika suami dan isteri tidur di kamar yang berbeda seperti yang dijalani kafilah kami ketika masih di Mekah. Semua itu bisa diatur 1]. Kur kemudian buru-buru keluar kamar untuk mandi janabah. Sedangkan saya sempat tertidur, walaupun tidak lama, tetapi cukup nyenyak. Begitu terbangun perasaan saya terasa agak nyaman, tetapi kenangan saat-saat meninggalkan masjid tadi pagi masih menggumpal dalam perasaan saya. Saya melihat Kur sudah mulai berbenah, memasukkan pakaian kami selama di Jedah dan pakaian yang akan kami pakai dalam perjalanan pulang ke tanah air ke dalam handbag. Saya memutuskan untuk tidak memakai seragam kafilah pantaloon dan baju koko hitam, tetapi celana dan baju koko putih. Saya segera mandi, makan roti kebab yang dibawa Kur dan membantu Kur memasukkan barang-barang ke koper. Tetapi akhirnya saya lebih banyak jadi penonton, karena pekerjaan mengikat koper sudah “diambil alih” oleh Mas Yuliansyah yang melakukkannya dengan cepat, sigap dan sangat rapih. Di luar handbag pemberian dari Garuda, kami hanya punya satu tambahan handbag untuk membawa air Zam-Zam, dan kantong plastik berisi mainan untuk keempat cucu kami Reza, Dian, Upik dan Reihan. Saya mencoba mengangkat handbag yang ada 1 jerigen air Zam-Zam di dalamnnya dan menggantungkan talinya di bahu saya tanpa kesukaran. Lalu terbayang oleh saya kembali rangkaian peristiwa sejak saya terbaring sakit menjelang wukuf di Arafah, lalu terbaring sakit lagi sesudah melaksanakan Tawaf Ifadhah, membaik menjalang Tawaf Wada, terpuruk lagi pada hari pertama Arbain di Madinah dan hari itu kondisi hampir tidak berbeda dengan kondisi ketika pertama kali menginjakkan kaki saya di Tanah Suci. Perbedaannya saya hanya jauh lebih kurus 2], dan sesekali masih menghirup inhaler untuk mengatasi serangan asma ringan, peristiwa-peristiwa yang mirip seperti mimpi. Menurut dokter Ifa yang mampir ketempat kami beriung beberapa hari yang lalu, udara kering, angin yang membawa pasir dan karpet hijau kumal tempat kami duduk-duduk di pemondokan yang pasti banyak mengandung tungau, penyebab utama penyakit saluran pernapasan yang banyak diderita jemaah haji. Kemudian Mas Yuliansyah mengabungkan koper-koper kami dan koper mereka ke tempat pengumpulan koper-koper jemaah di lantai kami untuk kemudian diturunkan kebawah dan dinaikkan ke atap mobil oleh portir yang disiapkan Maktab. Tidak lama Pak Tukiman dan Bu Juminem pulang. Pak Tukiman menyampaikan pesan Pak Ketua Kafilah agar jemaah tidak memasukkan air Zam-Zam ke dalam koper, agar peristiwa jemaah penumpang Saudia yang terlambat tiga hari gara-gara wadah air Zam-Zam yang ditaruh di koper pecah, tidak terlulang. Koper-koper kami besok akan ditimbang di Jedah dan yang kelebihan berat harus membayar biaya kelebihan bagasi yang cukup mahal. Ketika kami bersiap-siap tersebut kami mendapat pemberitahuan dari Pak Ketua Kloter, bahwa keberangkatan kami ke Jedah dimajukan dari jam 4 ke jam 2 siang. Hal itu memimbulkan optimisme bahwa keberangkatan kami pulang ke tanah air akan tepat waktu, karena kami mendengar beberapa kloter terakhir ini ada yang mengalami keterlambatan. Kemudian kami makan nasi boks yang dikirim Katering untuk sarapan pagi. Setelah Pak Tukiman selesai mengikat koper-kopernya dan menariknya ke tempat pengumpulan koper, terdengar azan dzuhur dari masjid yang tidak jauh dari pemondokan. Kami salat berjamaah di pemondokan diimami Pak Tukiman dengan menqasar dan menjamaknya dengan ashar. Sebelum jam setengah dua siang kami sudah siap di depan pemondokan. Pemuatan koper-koper dan handbag ke atas atap bus berlangsung agak agak lama, karena koper para jemaah banyak yang bertambah “gemuk” dan “beranak pinak”. Jemaah haji Indonesia terkenal suka “shopping”, suatu hal yang bisa dipahami karena adanya kebiasaan masyarakat Indonesia yang senang atau mengharapkan oleh-oleh dari kerabat atau tetangganya yang pulang dari haji. Namun kebiasaan suka “shopping” ini menimbulkan keheranan jemaah haji dari negara lain. “Kalian kaya-kaya ya” komentar seorang jemaah haji Malaysia sebagaimana diceritakan Mbak Etty beberapa hari yang lalu. Di Madinah sebenarnya ada sebuah Bandara Internasional. Tetapi jemaah haji dari negara yang mengunakan maskapai penerbangan selain Saudia Airlines seperti kloter kami 3], harus menggunakan Bandara King Abdul Azis, Jedah, untuk kedatangan dan keberangkatan, karena yang boleh mendarat untuk penerbangan haji di Bandara Internasional di Madinah hanya Saudia Airlines. Setelah kami semua naik ke dalam bus, kami menerima kembali paspor kami dan mendapat pembagian konsumsi. Tidak lama kemudian bus-bus kami bergerak dan melaju menuju Jedah. Selamat tinggal Madinah, Kota Nabi, kota yang disinari dan menyinari. Begitu keluar Kota Madinah, sejauh-jauh mata memandang hanya padang pasir dan gunung-gunung batu. Lalu terbayang oleh saya, betapa beratnya perjalanan Rasullulah sewaktu hijrah dari Mekah ke Madinah. Bus berhenti beberapa kali di terminal untuk memberi kesempatan kepada jemaah untuk meluruskan kaki dan buang air kecil ke toilet yang rata-rata kurang bersih dan terawat. Kami kemudian kembali berhenti untuk salat magrib, yang kemudian dijamak dengan Isya yang diqasar di sebuah masjid, yang tampaknya tidak begitu terawat baik. Angin bertiup kencang membawa hawa dingin yang menyebabkan saya menggigil sehingga Pak Radjikin menyarankan agar saya tidak usah berwudhuk dengan air tetapi bertayamun saja. Selama dalam perjalanan itu, Pak Masdoeki yang tidak tahan dinginnya AC mobil batuk-batuk terus. Dan tentu tidak mungkin bagi Pak Sopir untuk mematikan AC karena akan menyebabkan udara di dalam bus panas dan pengap. Saya selalu salut dan hormat kepada orang-orang yang menghajikan orang tua atau mertuanya, tetapi juga hiba kepada beliau-beliau yang sudah berusia lanjut itu yang yang terlihat lebih banyak tersiksa selama di Tanah Suci, dan jangankan untuk melakukan arbain di Masjid Nabawi, salat di pemondokankan pun ada yang sudah tidak mampu dilakukannya. Tidak adakah cara berbakti yang lain kepada orang tua? Kami tiba di Jedah sekitar jam sembilan malam. Kota yang gemerlapan ini adalah pintu gerbang dan pusat perdagangan di Arab Saudi. Jedah yang berpenduduk lebih dari 1,5 juta ini tidak termasuk tanah haram sehingga orang-orang non-muslim boleh masuk dan tinggal di sana. Setelah berbelok-belok beberapa kali, kami sampai di Madinatul Hujjaj atau Asrama Emabarkasi Jemaah Haji Indonesia. Sebelumnya kami sempat melihat Madinatul Hujjaj Jemaah Haji Malaysia. (bersambung) Salam, Darwin 1] Sebagian jemaah ada yang “melakukannya” bergiliran di kamar para isteri, yang waktunya diatur berdasarkan kesepakatan para isteri. Misalnya jika sekamar ada delapan orang, satu orang tidak ikut salat Dhuhur ke Masjidil Haram, lalu ia memberi tahu suaminya langsung atau melalui salah seorang temannya bahwa Pak ‘Anu’, ditunggu ibu di kamar. Si Bapak ‘Anu’ itu lalu segera cabut dari kamarnya dengan wajah berbinar-binar dan kembali ke kamar dengan sisa-sisa keringat masih berbekas di wajah. Tetapi “sistem” ini tidak selamanya bisa jalan, misalnya jika ada jemaah yang uzur atau sakit yang tidak bisa salat ke masjid sehingga selalu berada di kamar. Selain iru tidak semua jemaah nyaman dengan cara seperti ini, terutama orang-orang yang sudah berumur seperti kami. Ketika seorang rekan saya yang menjadi Ketua Rombongan waktu menunaikan ibadah haji dalam tahun 1998, dia meminta ke pada Maktab agar diberi satu kamar “khusus” yang bisa dipakai bergantian. Cuma saya tidak tahu bagaimana rasanya masuk berdua sama si doi ke kamar tersebut jika kebetulan dilihat oleh para “tetangga”. Atau harus celingak celinguk dulu, kalau kelihatan “sepi” buru-buru masuk atau keluar kamar “khusus” itu. Atau mungkin cuek saja, tokh semua dapat giliran. Tetapi kalau semua “usaha” buntu, di Mekah juga ada hotel yang bisa disewa jam-jaman. Yang ini jelas lebih “aman” dan “nyaman” walaupun agak membebani anggaran. Konon ustdaz-ustadz pembimbing banyak yang tahu letak hotel-hotel tersebut. Asal tidak malu bertanya saja. Malu bertanya, tersiksa badan. 2] Ketika menimbang badan sehari setelah tiba di tanah air, saya kehilangan berat badan lebih dari 10 kg. 3] Seluruh jemaah haji Indonesia embarkasi Jakarta menggunakan Garuda Indonesia. Jemaah haji dari embarkasi lain ada yang menggunakan Garuda dan ada pula yang menggunakan Saudia, misalnya jemaah haji embarkasi Bekasi, Jawa Barat. RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php ----------------------------------------------- Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php ===============================================