Kompas, Rabu, 28 Mei 2003



Korupsi di Negeri Busung Lapar


Oleh Saldi Isra

TRAGEDI kemanusiaan busung lapar (honger oedem) yang melanda ribuan bayi di
Sumatera Barat (Sumbar) tahun 1999 sampai 2000 sempat menghebohkan
masyarakat Indonesia. Berdasarkan kliping kesehatan yang dikeluarkan Pusat
Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, korban
busung lapar di seluruh Sumbar mencapai 8.598 balita (Indra J Piliang,
2002). Jika dilakukan pendataan lebih cermat, kemungkinan angka itu akan
menjadi lebih besar.

Berbarengan dengan tragedi kemanusiaan itu, berlangsung dua agenda politik
penting, Pemilu 1999 dan pemilihan Gubernur Sumbar (2000). Tak ayal lagi,
busung lapar menjadi salah satu isu sentral yang dikemukakan partai politik
(parpol) selama masa kampanye. Janji yang sama juga dikemukakan sebagian
besar calon gubernur. Intinya, parpol dan calon gubernur akan menyediakan
anggaran lebih besar guna menanggulangi busung lapar. Menurut mereka,
anggaran yang memadai amat diperlukan guna meningkatkan sumber daya manusia
(SDM) agar Sumbar tidak mengalami the lost generation.

Sayang, setelah pemilu usai dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) berhasil memilih Gubernur Sumbar periode 2000-2005, janji menyediakan
anggaran yang lebih besar untuk peningkatan SDM lenyap ditelan bumi. Di
tengah kesulitan ekonomi dan krisis kemanusiaan yang memprihatinkan, hampir
semua kekuatan politik di DPRD Sumbar-baik yang menyebut diri reformis,
apalagi yang mengidap virus Orde Baru-mulai menerapkan postulat, "kalau mau
kaya jadilah politisi". Korupsi adalah salah satu cara memperkaya diri.

Meluasnya praktik itu di DPRD dapat diamati dari perubahan cara hidupnya.
Sulit dibantah, dalam waktu singkat hampir semua anggota DPRD menjadi orang
kaya baru (OKB). Kompas (28/10/2001) secara sederhana menggambarkan seorang
wakil rakyat yang sebelum Pemilu 1999 ke mana-mana naik sepeda motor bebek
bekas di daerah pemilihannya, setelah menjadi wakil rakyat, dalam dua tahun,
sudah punya mobil mewah.

PP No 110/2000

Dengan dalih, UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah memberi hak untuk
menentukan anggaran sendiri, sebagian besar anggota DPRD mulai menyiasati
penyusunan anggaran daerah (APBD) guna memperkaya diri. Bahkan untuk
menyusun anggaran DPRD, anggota Dewan merasa tidak perlu tunduk terhadap
peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat. Bagi mereka, pos dan besaran
anggaran cukup ditentukan dengan peraturan tata tertib (Tatib) DPRD.

Landasan yuridis yang dikedepankan DPRD, pertama, Pasal 34 Ayat (3) huruf g,
Ayat (4) huruf c dan Ayat (5) UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan
Anggota MPR, DPR, dan DPRD bahwa anggota DPRD mempunyai hak menentukan
anggaran, keuangan/administrasi yang pelaksanaannya diatur dalam Tatib.

Kedua, Pasal 19 Ayat (1) huruf g dan Pasal 21 Ayat (1) huruf c UU No 22/1999
bahwa anggota DPRD berhak menentukan anggaran belanja, keuangan/administrasi
yang pelaksanaannya diatur dengan Tatib.

Padahal, bila anggota DPRD mau memedomani aturan yang ada secara
komprehensif, tidak akan terjadi pendewaan Tatib dalam menyusun anggaran
DPRD. Anggota DPRD harus terikat pada peraturan perundang-undangan yang ada.

Pertama, dalam Pasal 86 Ayat (4) UU No 22/1999 ditegaskan, pedoman
penyusunan, perubahan, dan penghitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah (PP). Tidak hanya itu, kehadiran PP merupakan perintah Pasal 5
Ayat (1) UUD 1945 bahwa presiden menetapkan PP untuk menjalankan
undang-undang.

Kedua, dalam Pasal 4 PP No 105/2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dinyatakan, pengelolaan keuangan daerah
dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.

Ketiga, dalam Pasal 20 PP No 01/2001 tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD
dinyatakan, DPRD bersama pemerintah daerah menyusun anggaran belanja DPRD.
Selanjutnya, dalam Pasal 21 dinyatakan, DPRD menetapkan Tatib sesuai
ketentuan yang berlaku. Kedua pasal itu dikunci dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 52 Ayat (3) bahwa jenis dan biaya kegiatan DPRD
ditetapkan sesuai PP tentang Kedudukan dan Keuangan DPRD.

Ketiga poin itu mengisyaratkan, kehadiran PP untuk mengatur keuangan
penyelenggara pemerintahan daerah, baik keuangan kepala daerah maupun DPRD
adalah sebuah keniscayaan. Untuk ini, pemerintah pusat telah mengesahkan PP
No 109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dan PP No 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD.

Khusus untuk keuangan DPRD, Pasal 2 PP No 110/2000 secara eksplisit
menentukan penghasilan tetap pimpinan dan anggota DPRD terdiri dari (a) uang
representasi, (b) uang paket, (c) tunjangan jabatan, (d) tunjangan komisi,
(e) tunjangan khusus, dan (f) tunjangan perbaikan penghasilan. Kemudian,
ditambah a) tunjangan kesejahteraan, (b) uang duka, dan (c) tunjangan
pakaian dinas.

Bila diikuti secara benar, melihat rincian penghasilan yang ditentukan dalam
PP No 110/2000, sulit bagi anggota DPRD untuk ramai-ramai menjarah uang
rakyat. Apalagi, PP No 110/2000 menentukan secara eksplisit persentase
setiap mata anggaran DPRD. Misalnya, besar uang representasi bagi Ketua DPRD
paling tinggi 60 persen dari gaji pokok gubernur. Atau, tunjangan perbaikan
penghasilan sama besarnya dengan ketentuan yang berlaku bagi pegawai negeri
sipil (PNS).

DPRD Sumbar

Berdasarkan pengamatan dan kajian intensif di daerah, anggota DPRD Sumbar
adalah salah satu DPRD yang tidak mau tunduk kepada aturan dalam PP No
110/2000. Ada beberapa kiat yang dilakukan dalam menjarah uang rakyat guna
mempertebal kantong pribadi.

Pertama, di daerah ini Tatib dijadikan panduan paling utama dalam menyusun
keuangan DPRD. Jenis penghasilan anggota DPRD jauh lebih banyak dibanding
apa yang ditentukan PP No 110/2000. Kemudian, jenis itu mereka tambah dengan
jenis penghasilan yang ada dalam PP No 110/2000. Penghasilan yang mereka
terima adalah akumulasi dari jenis penghasilan yang ada dalam Tatib dan yang
ada dalam PP No 110/2000.

Berdasar perhitungan Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB), dalam APBD 2002,
anggota DPRD mempunyai 27 jenis penghasilan. Bahkan untuk jenis mata
anggaran tertentu, anggota DPRD memecahnya menjadi beberapa sub-anggaran.
Misalnya, tunjangan kesehatan dipecah ke dalam tiga sub-anggaran, yaitu (1)
tunjangan pemeliharaan kesehatan, (2) premi Askes, dan (3) biaya check-up.

Kedua, melakukan duplikasi mata anggaran. Misalnya, berdasarkan ketentuan
Pasal 10 PP No 110/2000 dinyatakan, untuk pemeliharaan kesehatan dan
pengobatan diberikan tunjangan kesehatan. Tunjangan itu diberikan dalam
bentuk jaminan asuransi. Yang terjadi, meski APBD 2002 telah menyediakan
biaya pemeliharaan kesehatan Rp 367.014.000, tetapi kemudian muncul lagi
anggaran untuk premi asuransi Rp 1.562.672.000.

Ketiga, membuat jenis penghasilan lain. Misalnya, dana tunjangan kehormatan
(Rp 600.000.000), tunjangan beras (Rp 62.832.000), biaya penunjang kegiatan
dalam rangka pembinaan daerah asal pemilihan (Rp 137.500.000), biaya
penunjang kegiatan untuk pimpinan dan anggota (Rp 330.000.000), bantuan
kegiatan fraksi (Rp 660.000.000), paket studi banding luar daerah (Rp
797.500.000), dan lain-lain.

Sebenarnya, bila ada pemahaman komprehensif yang diiringi itikad baik,
anggota DPRD tidak akan semena-mena menentukan anggarannya. Ini hanya
mungkin timbul bila ada pemahaman bahwa sebagian besar APBD Sumbar berasal
dari dana pemerintah pusat (APBN). Karena itu, pemerintah pusat berwenang
menentukan koridor penggunaan keuangan daerah. Bila tidak, otonomi akan
dimaknai dengan kebebasan menggunakan keuangan daerah tanpa terikat
ketentuan yang lebih tinggi.

Kejahatan kemanusiaan

Banyak pendapat di kalangan pemerhati hukum, keengganan anggota DPRD
menerima PP No 110/2000 bukan karena produk hukum ini bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi lebih kepada
hilangnya kebebasan mereka untuk menjarah uang rakyat. Karena itu, amat
masuk akal bila kemudian muncul protes berkelanjutan di berbagai daerah.
Bahkan, di Sumbar berujung pada dilaporkannya anggota DPRD ke kejaksaan oleh
FPSB karena kuat indikasi terjadi tindak pidana korupsi.

Seperti sudah banyak diberitakan, Mendagri melalui surat No X.161.23/30/sj
tanggal 7 November 2002, memberikan izin kepada kejaksaan untuk melakukan
pemeriksaan, baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi perkara tindak
pidana korupsi dalam APBD Sumbar tahun 2002. Izin ini dikeluarkan Mendagri
terkait indikasi penyimpangan terhadap PP No 110/2000 dalam penyusunan
keuangan DPRD pada tahun anggaran 2002. Setelah bekerja sekitar lima bulan,
Kejaksaan Tinggi Sumbar telah melimpahkan kasus itu ke pengadilan. Sejak 1
Mei lalu, kasus dugaan korupsi yang terjadi di DPRD Sumbar telah disidangkan
di Pengadilan Negeri (PN) Padang.

Kini, setelah kasus itu dilimpahkan ke pengadilan, ada dua pertanyaan
mendasar yang mungkin hadir di kepala sebagian besar masyarakat Sumbar.

Pertama, mampukah pengadilan menyelesaikan kasus ini sesuai rasa keadilan
masyarakat, terutama dalam konteks semangat pemberantasan pidana korupsi?
Belajar dari beberapa kasus korupsi yang sudah sampai ke pengadilan,
pertanyaan ini menjadi amat penting karena hakim berpotensi mereduksi
hakikat korupsi ke dalam pemahaman yang amat legalistik. Apalagi, indikasi
korupsi yang dilakukan anggota DPRD mempunyai komplikasi hukum amat rumit.

Kedua, apakah kasus ini akan berhenti sampai keterlibatan legislatif saja?
Ini pertanyaan penting karena dalam proses lahirnya APBD pihak legislatif
tidak sendiri, tetapi ada kemungkinan bersekongkol dengan eksekutif. Karena
itu, seharusnya kejaksaan juga menyidik kepala daerah. Dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak mungkin ada perda tanpa
persetujuan kepala daerah. Kepala daerah hanya mungkin dianggap tidak turut
serta (deelneming) bila dalam proses pembahasan APBD memberi keberatan
(minderheidsnota) terhadap anggaran DPRD.

Bagi sebagian masyarakat Sumbar, mungkin juga Indonesia, perilaku menyimpang
anggota DPRD dalam penyusunan anggaran tidak hanya merupakan extra ordinary
crime, tetapi dapat juga merupakan kejahatan kemanusiaan (crime against
humanity). Alasannya amat sederhana, dengan penyimpangan penyusunan anggaran
itu, dana yang semestinya digunakan untuk menanggulangi tragedi kemanusiaan
(busung lapar) "diambil alih" anggota DPRD.

Silakan membayangkan, kasus korupsi meruyak di negeri busung lapar!

Saldi Isra Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB), dosen Hukum Tata
Negara FH Universitas Andalas, Padang




RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
===============================================

Kirim email ke