Assalamu’alaikum wr.wb.,

Kenapa mesti renungan? Karena merenung itu perlu. Cobalah renungkan, lagi! Apa sebenarnya yang kita, manusia yang berbudi dan berakal ini, cari dalam hidup ini? Kayakah? Pangkatkah? Kedudukankah? Titelkah? Martabatkah? Pasti agak bingung kita menjawabnya. Kalaulah kaya yang jadi tumpuan, kaya yang serupa apa yang dicari? Kalau pangkat yang ingin diraih, pangkat setinggi apa yang ingin dicapai. Kalau kedudukan, kedudukan seempuk apa yang ingin diperoleh. Dan sesudah itu, bukankah kita sama melihat, bahwa kekayaan, pangkat, kedudukan itu hanya sebentar saja bisa dinikmati, kalaupun akan dikatakan nikmat? Apalagi kalau yang didapat  itu tidak pula dapat dinikmati. Banyak contoh kasus.

Lagi-lagi al Quran menunjukkan dengan sangat bijak, sebuah doa yang sering di juluki oleh ustad-ustad sebagai doa sapujagad. ‘Wahai Rabb kami, berilah kami kebahagiaan di dunia, dan kebahagiaan di akhirat. Dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka.’ (Al Baqarah 201). Lebih dari cukup, bahkan sudah sangat sempurnalah itu bagi setiap insan yang beriman. Bahagia di dunia, bahagia di akhirat serta terhindar dari azab api neraka.

Apa yang disebut bahagia? Macam-macam pula definisi bahagia itu dibuat orang. Berharta banyak kata yang satu, berpangkat tinggi sehingga dihormati orang kata yang kedua, beristri cantik kata yang lain, beranak jadi orang berpangkat semua kata yang lainnya pula. Seorang buya waktu memberikan wirid di Mesjid Raya mengatakan yang disebut bahagia itu cukuplah lima ‘uah’. Baibadah sungguah, makan batambuah, pai kajamban lasuah, bahubuangan laki binyi amuah, lalok bakaruah.  Mungkin agak vulgar penyampaian buya kita ini, tapi rasa-rasanya masuk juga diakal.

Diawalinya dengan beribadah sungguah. Artinya beribadahnya benar-benar. Bangunnya subuh, shalat berjamaah ke mesjid. Hidupnya diisi dengan amalan-amalan dan menghindar dari kedurhakaan, saking sungguh-sungguhnya dalam beribadah. Satu inilah yang akan jadi modal insya Allah untuk berharap mendapatkan akhirat yang hasanah, yang bahagia.

Seterusnya serba rutinitas dunia yang teratur. Makan enak, bisa batambuah. Terasa nikmatnya kurnia Allah pada yang dimakan itu. Tidak jadi masalah apakah yang dimakan itu ‘hanya maco tanak jo pucuak kapelo baabuih’. Bagalintin-pintin rasanya dilidah.

Dan makanan itu dicerna dengan baik oleh alat pencernaan. Pengeluaran dan pemasukannya seimbang. Coba bayangkan, bagaimana tersiksanya kalau ‘kebelakang’ bermasalah. Ada yang berhari-hari tidak kebelakang. Ada yang kebelakangnya selalu sulit sampai-sampai timbul pula penyakit ambeien. Tersiksa sekali rasanya kalau seperti itu.

Sesudah itu kehidupan suami istri serasi, sesuai, seirama, sama-sama nikmat. Cobalah perhatikan rumah tangga sepasang suami istri yang serupa itu.

Dan terakhir sekali pikiran tidak pernah kalut. Tidak ada yang menggangu pikiran. Tidak pernah mengalami stress. Tidur nyenyak, ngorok, bakaruah.

Rasa-rasanya setuju saja saya dengan uraian buya tersebut.

Tapi ada pula orang yang sibuk sangat dengan dunia. Sibuk dengan bisnis. Dari pagi sampai siang sampai malam. ‘Bisnis teu beurang, teu peuting,’ kata Doel Sumlang. Heran kita. Apa yang kau cari Palupi? Katanya kebahagiaan. Kebahagiaan serupa apa? Diapun bingung. Tempo-tempo sakit. Kecapekan. Stress. Stroke. Atau maagnya kumat. Atau rupa-rupa penyakit lain. Rumah mewah masya Allah, yang menikmati pembantu. Sekali-sekali semua anggota keluarga berkumpul dirumah, eh malahan ribut bertengkar. Mau kemana? Akhirnya tersua bak pantun; anak andung ketitiran, anak merbah empat-empat, yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. Dunia yang sudah dikumpulkan susah payah tidak bisa dinikmati. Yang ada hanya siksa, berupa ketidak tenangan jiwa, berupa penyakit, berupa perkelahian di rumah tangga. Hilanglah bahagia. Jangankan bahagia di akhirat, bahagia di duniapun tidak dapat.

Jadi yang mana yang mau dipilih?

Wallahu a’lam

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

 

Lembang Alam




St. Lembang Alam


Do you Yahoo!?
Yahoo! SiteBuilder - Free, easy-to-use web site design software

Kirim email ke