---------- Pesan terusan ----------
Dari: Satriadi Sat <satriadi....@sanmina-sci.com>
Tanggal: 29 Agustus 2012 13:33
Perihal: [Pojok Ngopi] Aku Curi Uang Milik Rakyat Negeri Ini
Ke: ngopi-yok-ng...@googlegroups.com


Aku Curi Uang Milik Rakyat Negeri Ini Arpan Rachman - Okezone Selasa, 28
Agustus 2012 21:08 wib
 Follow @okezonenews <https://twitter.com/okezonenews>
 [image: Ilustrasi] Ilustrasi

*AKU* dan Qazi - istriku yang cantik - baru saja menikah. Kami punya tempat
tinggal besar nan nyaman. Ya, tentu saja, di Menteng, di mana lagi? Di ibu
kota, siapa yang tidak tahu letak kawasan Menteng? Di situlah kini kami
berada.

Belum lama juga kami tinggal di sini. Rumah besar yang terletak di simpang
Jalan Pontianak dan Jalan Surabaya. Nomornya, 1945. Sebulan silam, rumah
ini baru kubeli dari Ibu Sari. Suatu malam aku bertamu ke sana seorang diri
saja. Pemiliknya menyebut angka Rp26 miliar. Aku tidak menawar harganya
lagi. Esoknya, cepat-cepat kuperintahkan sekretarisku, Nani, untuk mengecek
sertifikat rumah itu ke Badan Tanah Nasional. Sertifikatnya ternyata aman,
tak ada masalah.

“Padahal banyak sertifikat tanah yang bermasalah di negara kita. Sertifikat
dipalsukan, sehingga jadi berganda. Penggandaannya akan berbuntut sengketa
antara sertifikat milik rakyat miskin dan sertifikat yang dipunyai
pengusaha kaya. Hak milik atas tanah itu menjadi sengketa, lalu selanjutnya
membesar sebagai konflik. Sering malah menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Sertifikat bermasalah biasanya digandakan sendiri oleh orang dalam BPN,”
Nani berkomentar sambil mentransfer uang bayaran atas pembelian rumah itu
ke rekening Ibu Sari.

Sesaat, kupingku yang tipis terasa seperti berdenging-denging begitu
mendengar komentar Nani. Tapi tak mengapa, tak jadi soal. Aku bisa
menebalkannya kembali. Nani terbiasa berkomentar polos seperti itu, setiap
hari. Absahlah rumah di Menteng ini jadi milikku. Begitu mudah aku
memilikinya. Begitu mudahnya…

Aha, engkau pasti bertanya-tanya dari mana asal uang yang Rp 26 miliar buat
membeli rumah ini, bukan? Tenang saja, semua akan kuceritakan kepadamu,
semuanya. Tapi jangan kaget, jangan heran. Ceritanya panjang, namun baiklah
kupendekkan saja. Cuma ini rahasia di antara kita. Tak seorang pun boleh
tahu mengenai ini cerita.

Mengapa harus jadi rahasia? Soalnya mereka sampai sekarang belum juga
mengusik aku. Mereka tidak mengejar namaku sebagai tersangka.
Untunglah, syukurlah.

Misteri ini masih tetap terbuka sedikit belaka. Tanggung kelihatannya di
mata. Aku  bisa santai terus. Bersembunyi diam-diam. Sambil menyelinap
berfoya-foya dalam nikmatnya gelap ibu kota.

Hanya koran-koran, majalah-majalah, televisi-televisi, dan radio-radio saja
yang ternyata “gatal tangan” membeberkan kerugian besar hilangnya uang
milik rakyat di negeri ini. Siapa yang mencurinya? Tentu saja, boleh kau
terka.

Eh, memang mereka itu ya? Wartawan! Sejenis kumpulan orang sial dan kurang
pekerjaan. Mereka memberitakan perkara korupsi dengan kurang ajarnya justru
demi uang juga.

Sebagai anak bungsu dari orang yang paling berkuasa di Jakarta, posisiku
masih aman tenteram. Tak ada penyelidikan yang diarahkan oleh Komite
Pemberangus Korupsi kepadaku. Sebab, kendati begitu, para pengusut toh
merasa takut juga dengan bapakku. Hal-ihwal mengenai skandal besar ini
masih tertutup rapat di balik meja.

Setahun lalu, ketika orang-orang mulai ribut, aku telah mengelak begitu
lihainya dari pandangan publik. Seorang wartawan kecil yang usil, secara
sembarangan bertanya, “Apa Anda menerima dana dari proyek Graha
Olahragawan?”

Kubantah keras dia. Ini sebenarnya bukan tabiatku yang biasa. Semula aku
selalu gagap menjawab wartawan. “Tidak ada itu dan tidak benar semua yang
diisukan bahwa saya menerima dana dari kasus yang disebut-sebut selama
ini,” ucapku dengan tegasnya membeberkan panjang-lebar di kantor Partai.

Sehari sebelumnya, dalam sidang kasus korupsi proyek itu, terdakwanya bekas
bendahara Partai, mengaku pernah dipanggil bapakku ke rumah kami. Panggilan
itu ditujukan buat membahas pembagian peranan dan uang yang melibatkan aku,
si bendahara, dan seorang kepala departemen.

“Apa yang dikatakan terdakwa dalam sidang kemarin itu tidak benar sama
sekali. Sejauh ini pula belum ditemukan bukti-bukti yang bisa menunjukkan
keterlibatan diri saya atau pun Partai,” kataku lantang, awalnya. Lalu,
kemudian suaraku tergagap lagi. “Ter…terutama orang-orang yang…yang selama
ini dituduhkan atau disebut-sebut dalam persidangan, itu tuduhan yang tidak
ada buktinya.

“Saya persilakan saja a…agar kasus ini diproses dan saya minta agar
diberikan kesempatan kepada pihak pengadilan untuk membuka persidangan yang
adil. Soal pemeriksaan rek… rekening petinggi-petinggi Partai gu…guna
memperjelas kasus ini, saya katakan kasus ini tidak berkaitan dengan Partai.

“Semua sudah diaudit secara formal dan Badan Pengaudit Keuangan tidak
pernah mengatakan bahwa di dalam Partai mengalir dana ter…tertentu dari
kasus-kasus ataupun isu-isu yang selama ini berkembang khususnya di media
massa. Jadi kami tidak takut karena selama ini kami clear kami tidak ada
hubungan dengan dana-dana yang beredar di luar.”

Aku berhasil membuat publik kagum. Tapi banyak juga kalangan yang akhirnya
membuang muka. Mungkin mereka jijik melihat perilaku kami sekeluarga yang
mencaplok harta kekayaan rakyat seperti gurita raksasa bergentayangan di
bawah permukaan laut, memburaikan cairan tinta hitamnya untuk membutakan
mata ikan-ikan kecil, setelah itu menyedot habis mereka sebagai mangsa ke
dalam nganga mulut kami.

Hanya kakak sulungku saja, satu-satunya yang jauh dari sorotan publik.
Atau apa karena profesinya tentara? Dan aku tak habis pikir: apa hubungan
gosip dengan profesi? Istri kakakku, mantan artis berambut panjang, bintang
iklan shampoo. Publik sudah bosan menggosipkannya sejak ayahnya – mertua
kakakku – yang bekas bankir itu lolos dari jerat hukuman dalam perkara
skandal korupsi Bank Sentral Negara dengan jatuhnya vonis yang amat ringan.

Mereka – kakak dan istri artisnya – kini sudah beranak satu. Keponakanku
yang lucu. Ketika orang mulai ribut-ribut, beberapa bulan lalu. Pandangan
publik kuelakkan lewat kelicinan seekor belut yang berkelit dari genggaman
tangan seorang pemburu tua kemudian mencelat kembali ke selokan.

Satu saja cara mudah mengelak gosip: aku menikah. Pesta pernikahanku dengan
Qazi, yang – sssttt… ini rahasia ya – sejak awal sesungguhnya tak mau
kusunting jadi istri. Dia merajuk, bahkan, sampai melarikan diri ke London
sebelum acara lamaran diadakan.

Tapi hari baik itu tiba juga. Kalender dibalik dari bulan tua ke tanggal
muda. Pada suatu akhir pekan yang paling indah dalam hidupku, akhirnya aku
menikah.

Kuingat persis hingga pada kejadian-kejadian kecilnya. Aku yang gagah
mengenakan pakaian adat Palembang duduk berhadapan dengan mertuaku. Kami
dipisahkan sebuah meja persegi panjang. Di sebelah meja lainnya, tepat di
samping kiri, duduklah saksi dari mempelai perempuan, yaitu Pak Amin. Di
seberangnya, saksi dari mempelai laki-laki, entah siapa namanya aku lupa.

Sebelum akad nikah, dibacakan lantunan ayat suci merdu Al Quran.
Berikutnya, khutbah pernikahan. “Ananda saya nikahkan dan kawinkan Ananda
dengan anak kandungku Qazi binti Hajata dengan mas kawin keping emas 1.000
gram dan seperangkat alat shalat dengan dibayar tunai!” ujar mertuaku
sambil menjabat tanganku.

Nyaris tanpa jeda, sedetik saja, kemudian, kujawab: “Saya terima nikahnya
dan kawinnya dengan Qazi dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Lafazku tumben tidak gagap, disambut cepat oleh saksi dari kedua belah
pihak yang secara berbarengan sama-sama mengucapkan, “Sah!” Ucapan serempak
itu mirip koor lagu – suara satu ditingkahi suara dua – telah dilatih
sebelum acara.

Setelah bulan madu keliling Eropa, kami pindah ke rumah ini. Sebelum
kubeli, kondisi rumah seperti tidak diurus. Rumah yang modelnya bagus nian.
Bangunan bercat putih buatan tahun 1930-an. Luasnya 363 meter persegi,
sedang lahannya 850 meter persegi. Arsitekturnya bergaya sebuah vila Hindia.

Namun, kami sering tidak saling bicara di rumah. Berdiam-diaman saja,
walaupun tinggal berdua. Dia – istriku Qazi – tahu. Akulah biang keladi
semua kericuhan ini. Aku bermain kartu dalam proyek yang dibangun di tempat
kelahiran mertuaku.

Nama besar mertuaku disegani orang di sana. Padahal, dia hanya orang dusun
bukan asli asal kota itu. Mulanya, menurut sebuah cerita, dia merantau dari
dusunnya dan mengontrak rumah dekat stasiun kereta. Sejak remaja pula
rambutnya sudah putih beruban-uban semua.

Setiap sore, dulu, hobinya mengumpulkan sisa es balok dari pabrik es dekat
rumah kontrakannya buat dijual lagi kepada tukang es keliling. Anak-anak
kecil di dekat situ biasanya selalu mengolok-oloknya dengan menjerit
histeris “Wak Uban!” setiap memergoki kebiasaannya memungut es sisa.

Masalah besarnya baru terjadi tatkala aku terperangkap dalam jaring
spionase intel Australia dan berakhir dengan kejadian nahas: ditangkap
polisi di Singapura. Gara-gara apalagi, kalau bukan ketahuan mengisap
narkotika? Barang laknat itu sudah sejak masa bersekolah jadi teman
setiaku. Mengisapnya membuatku menyingkir sejenak dari kenyataan yang
riuh-rendahnya tak mampu kutanggungkan.

Aku begitu muak mendengar rumor tentang asal-usul bapakku yang katanya anak
haram jadah penguasa terdahulu dari istri seorang Gerwani. Atau tentang
bapakku yang pernah menikah dengan istri lain – bukan ibuku – saat
menjalani dinas pendidikan tentara.

Dan begitu mengetahui aku ditangkap polisi di Negeri Singa, ibuku langsung
jatuh pingsan. Beliau terpaksa dibawa masuk rumah sakit. Sebab kepikiran
terus dengan keselamatanku.

Untung saja pengacara kondang yang suka memakai kalung rantai emas berkilau
itu berhasil mengeluarkan aku dari kantor polisi. Setelah menjalani
pemeriksaan yang amat bertele-tele dibubuhi sebuah negosiasi yang alot!
Kebebasanku kelak akan dibayar lunas dengan pengampunan narapidana
perempuan asal Australia yang dipenjarakan di Bali.

Beruntung aku tertangkap di Singapura bukan di sebelahnya. Kalau di Negeri
Jiran, alamak, entah apa jadinya. Di sana diberlakukan hukuman berat buat
para pemakai madat, sampai hukum mati.

Buat menutup isu penangkapanku, kasus korupsi proyek Graha Olahragawan
diangkat secara besar-besaran oleh berbagai media massa. Ah, memang, selalu
saja ada pengusaha media yang begitu tolol (atau pura-pura bodoh) menangkap
umpan di ujung kail bernama “berita panas”, kendati sejatinya hanya sebuah
trik sederhana mengalihkan perhatian dari urusan lain.

Para pengusut pun unjuk gigi. Penangkapan demi penangkapan mulai dilakukan.
Semua pelakunya orang Partai. Bendahara dan sekretaris sudah dikurung dalam
penjara. Kini, mata tajam publik terus mengawasi lekat-lekat sosok ketua
Partai yang terkenal alim itu sedang diperiksa.

Kunikmati proses pemeriksaan kasus itu dari koran, majalah, televisi, dan
radio yang “gatal mulut-gatal tangan-gatal mata-gatal telinga” untuk
ramai-ramai menyingkapkan misteri hilangnya uang milik rakyat negeri ini.
Mereka – para wartawan yang kurang ajar itu – bahkan, mengambil berita
langsung dari dalam ruang sidang pengadilan!

Setiap pagi aku membaca koran di serambi. Bila mataku letih, kupandang
bunga warna-warni yang tumbuh dalam pot-pot di sudut pekarangan. Matahari
memancar,  tapi sinarnya terhalang atap model limas yang menaungi serambi.
Tak lama membaca, karena aku tidak suka dengan kegiatan yang hanya membuang
waktu – aku melangkah masuk melewati kusen beserta daun pintu terbuka yang
terbuat dari kayu jati yang tak pernah diganti sejak pertama rumah ini
berdiri.

Pemiliknya semula mulai menghuni rumah ini pada tahun 1950-an, saat
beberapa bulan menikah dengan seorang pengusaha. Pengusaha itu mendapat
rumah ini dari orang Belanda setelah mengantongi vestigingbewijs atau surat
izin perumahan. Tapi Si Belanda itu bukan pemilik pertama. Pemilik aslinya
orang Belanda lain. Sebelumnya, oleh Si Belanda pertama, rumah ini sempat
dijual kepada orang Swiss.

Rumah beserta isinya itu kini sudah jadi milikku. Di ruang tamu banyak
perabot antik. Nuansa suasana tempo dulu kental sekali. Ada lampu teplok
kuno yang masih dapat menyala. Ada pula sofa dengan ukiran indah dari zaman
Daendels. Bangunan rumah hampir tidak berubah dari aslinya. Model jendela
luar di sekeliling kusennya dihiasi ornamen.

Sementara itu, dari ruang tengah, di televisi terdengar suara penyiar
membaca berita, menyebutkan bahwa namaku semakin melambung, membubung jauh
sampai ke langit tinggi percaturan politik. Seorang tokoh muda yang
cemerlang di antara tokoh-tokoh politik tua renta.

Sudah bukan saatnya lagi aku bermain di belakang layar. Siapa yang bisa
melawan si bungsu putra mahkota penguasa?

Bermiliar-miliar rupiah dana sudah kukantongi. Akulah pencuri uang milik
rakyat negeri ini buat modal mencalonkan diri sebagai penguasa nanti. Dua
tahun lagi aku akan tambah hebat beraksi. Tentu saja, yakinlah…

Kuraih kunci mobil di atas meja dekat layar kaca. Bergegas aku berjalan ke
garasi. Dengan anak kunci itu, kubuka pintu sedan Porsche kesayanganku. Aku
duduk menghenyakkan pantatku ke bangku sopir. Hari Minggu begini paling
enak menyetir sendiri daripada disopiri karena arus lalu lintas lebih
lengang dari hari biasa. Kugulirkan roda menuju kantor Partai.

Sesampai di sana aku bilang kepada Nani agar dia mengatur jumpa pers, siang
nanti. Tapi acara belum dimulai, lagi-lagi muncul wartawan usil itu!

Sambil cengar-cengir, dia menyapa “Selamat pagi!” sebagai basa-basi.
Lalu langsung menodongkan alat perekam, menembakku dengan pertanyaan klise.
Ia minta pendapatku soal pengampunan Dascy, narapidana perempuan asal
Australia yang dipenjarakan dalam kasus kepemilikan narkoba di Bali.

Dascy sebelumnya dihukum 30 tahun penjara setelah tertangkap tangan membawa
2 kg daun kering cannabis sativa. Hukuman penjara telah dijalaninya selama
7 tahun. Kini, langit kebebasan terbentang di atas kepala berambut pirang
si mata biru asal Australia.

“Bagaimana komentar Bapak?” wartawan kecilku mendesak.

Dalam sebuah bayangan yang tulus, komentarku akan berbunyi lancar:
“Yang sedang berada dalam masalah besar sebenarnya saya sendiri. Enam bulan
lalu, karena mengisap narkoba, saya tertangkap polisi di Singapura. Saya
berhasil dibebaskan dari sana bukan berdasarkan hak kekebalan diplomatik,
melainkan dengan balasan pengampunan si Dascy ini.”

Tapi dia bukan wartawan yang pintar, kukira. Kupikir, lelaki muda mirip
anak kecil di hadapanku ini takkan mampu menyimpan jawaban
*off-the-record*semacam itu sebagai sebuah rahasia besar sampai mati.

“Pengampunan ini, ter…terlepas dari diberikan kepada siapa – sekali lagi
saya tekankan: ‘ter…terlepas dari diberikan ke…kepada siapa pun’, merupakan
perbuatan yang baik. Menunjukkan pada orang lain bah…bahwa kita berbuat
baik kepada warga negara lain akan berpengaruh ba…baik pula bagi warga
negara kita sendiri yang…yang sedang mengalami kasus hukum di negara lain.”

Terakhir, sebelum pergi, aku berusaha serius. Kupintarkan nalar si wartawan
itu dengan data statistik. “Saat ini,” kataku, “ada 2…200 lebih WNI yang
sudah diselamatkan da…dari dakwaan pembunuhan, narkoba, dan kejahatan berat
lainnya yang kasusnya ter…terjadi di negara lain.”

Kuberi dia senyum kecil. Wartawan itu tak bisa menghentikan langkahku lagi.

Masuk kantor Partai, kuayunkan kakiku ke ruangan kerja pribadiku.
Kukunci pintu, setelah kukatakan kepada Nani, jangan mengganggu dulu:
“Aku mau belajar.”

Ya, biasa, di kantor, aku belajar terus supaya makin cerdas. Hari ini
pelajaran sejarah tampaknya menarik. Kurogoh saku, kugenggam sekepal
sejarah itu: di Jepang pada 1893 Nagai Nagayoshi pertama kali membuat
metamfetamin. Barang ini sekarang terkenal dengan singkatan “meth”.
Obat praktis bagi kasus parah gangguan hiperaktivitas kekurangan perhatian.
Crystal Meth atau metamfetamin berbentuk kristal dapat diisap lewat pipa.

Aku tak pernah henti-henti belajar. Kuisap asap sejarah Nagayoshi. Aku tak
mau berhenti!

Padahal kalau mau menyetop semua kekacauan ini, maka harus kuhentikan
sendiri, sekarang juga. Sebab kalau nanti sampai publik tahu siapa
sebenarnya aku, mungkin semuanya sudah basi. Sudah basi...***
* *
*Penulis Arpan Rachman*
Makassar, 30 Juni

-- 
*    THANK/REGARD
      SATRIADI

*
**
**
**
*
*
*

**

*
* *


 CONFIDENTIALITY
This e-mail message and any attachments thereto, is intended only for
use by the addressee(s) named herein and may contain legally
privileged and/or confidential information. If you are not the
intended recipient of this e-mail message, you are hereby notified
that any dissemination, distribution or copying of this e-mail
message, and any attachments thereto, is strictly prohibited.  If you
have received this e-mail message in error, please immediately notify
the sender and permanently delete the original and any copies of this
email and any prints thereof.
ABSENT AN EXPRESS STATEMENT TO THE CONTRARY HEREINABOVE, THIS E-MAIL
IS NOT INTENDED AS A SUBSTITUTE FOR A WRITING.  Notwithstanding the
Uniform Electronic Transactions Act or the applicability of any other
law of similar substance and effect, absent an express statement to
the contrary hereinabove, this e-mail message its contents, and any
attachments hereto are not intended to represent an offer or
acceptance to enter into a contract and are not otherwise intended to
bind the sender, Sanmina-SCI Corporation (or any of its subsidiaries),
or any other person or entity.




-- 

----- SUMPAH ANGGOTA MILIS  :-----

SAYA BERGABUNG DGN MILIS INI KARENA SAYA MENDUKUNG PENUH KEGIATAN
SERIKAT PEKERJA SPMI PT SANMINA-SCI BATAM



Anda menerima pesan ini karena berlangganan Grup "Pojok Ngopi" dari

Grup Google.

Untuk bergabung dengan grup ini, kirim email ke
ngopi-yok-ngopi+subscr...@googlegroups.com

Harap sertakan nama, department dan no badge anda dalam email

----HANYA untuk KARYAWAN / ALUMNI PT Sanmina-SCI Batam yang pro
Serikat Pekerja----

---tak boleh PORNO, tak boleh SARA, tak boleh JUDI, wajib SOPAN, dan
wajib DUKUNG SERIKAT....!!!---








-- 
wasalam
 satria

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke