~~ Via iPhone, Sjamsir Sjarif, Santa Cruz, CA, USA
Begin forwarded message: > From: Sjamsir Sjarif <sjamsirsja...@gmail.com> > Date: August 20, 2015 at 11:23:14 PM PDT > To: "[pengajian-sf]" <pengajian...@yahoogroups.com> > Subject: BELAJAR MEMAAFKAN DARI BUYA HAMKA. > > BELAJAR MEMAAFKAN DARI BUYA HAMKA. > Janganlah pandang hina musuhmu, > karena jika ia menghinamu, > itu ujian tersendiri bagimu..”(Syair Imam Syafi’i) > > HAJI Abdul Malik Karim Amrullah atau bisa dikenal dengan Buya Hamka adalah > ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini. Semasa > hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini > dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam > akidah. “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa > dijual lagi kepada pihak manapun,”demikian tegasnya ketika dilantik sebagai > Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). > > Hamka salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari > Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia > dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yang mengeluarkan > fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”. Ia juga > yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katholik dunia, ketika > datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Dengan tegas, > Buya Hamka mengatakan perihal penolakannya bertemu Paus tersebut, “Bagaimana > saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai > cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?” > > Demikian ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia > santun dan lembut, sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak > pernah menaruh dendam… > > Baru-baru ini, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah > buku yang menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku > berjudul “Ayah” itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang > ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai tokoh > agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga. Sebelumnya, putra kedua > Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan tentang > sosok sang ayah, yang berjudul “Pribadi dan Martabat Buya Hamka.” > > Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku “Ayah” tersebut. Terutama tentang > bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah > memfitnah, membenci, dan memusuhinya. Sebagai ulama yang teguh pendirian, > tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya. Irfan Hamka menceritakan > bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu pernah > berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan memfitnahnya. > Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin > (tokoh perumus lambang dan dasar negara), dan Pramoedya Ananta Toer > (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan budaya yang > berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia). > > Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari > kesudahan hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi > dan martabat Buya Hamka. > > Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom > (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat bulan > dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan > Presiden Soekarno. Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat > dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11. Hamka > ditahan tanpa proses persidangan dan tanpa diberikan hak sedikitpun untuk > melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang > untuk diedarkan. Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang > mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama tersebut. > > Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah > mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, > peristiwa mengharukan terjadi. Soekarno yang mulai hidup terasing dan > sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang yang > dulu pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat > ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970. Isi pesan > tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi > imam shalat jenazahku..” > > Hamka terkejut, pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian > Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat > jenazah Bung Karno disemayamkan. Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun > memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. > Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu. Lalu, > apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia > mengatakan, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti > saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, > saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah > kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. > Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan > pekerjaan itu…” > > Peristiwa mengharukan tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan > orang-orang yang pernah membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad > Yamin, salah seorang founding father negeri ini, tokoh kebangsaan yang juga > termasuk perumus dasar dan lambang negara. Meski berasal dari Sumatera Barat, > namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong Sumatranen > Bond (Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuaan dan sekular. Ia juga > menjadi anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang juga > mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan. > > Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia aktif > di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di Partai > Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai > Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar > negara. Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, > dengan lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, “Bila negara kita ini > mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke > neraka!” > > Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad > Yamin. Ia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, > baik ketika dalam ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan > seminar. “Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada > saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya,” begitu kata Buya Hamka. > > Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat > Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media > massa cetak. Hingga tiba pada suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet > Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan Mohammad > Yamin. Chaerul Saleh kemudian menagatakan kepada Hamka, “Buya, saya membawa > pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. > Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin > merupakan pesan terakhir beliau,” ujarnya. > > Hamka yang tertegun kemudian bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu > kemudian mengatakan,”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah > sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, > pak Yamin dalam keadaan sekarat,”terangnya. Selain itu, kata sang menteri, > “Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang > lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh itu juga mengatakan, > Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak > berkenan menerima jenazahnya. > > Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta > diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, > Yamin yang tergolek lemah kemudian melamabaikan tangan. Hamka mendekatinya, > kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu > pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikan ke telinga Yamin > surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah.” Dengan suara > lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin, > kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka. > > Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya disamping sosok yang dulu > menjadi seterunya. Di akhir hayat, tangan keduanya berpegangan erat, seolah > ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada. Orang yang hadir ketika > itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka > pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu sampai > ke pembaringan terakhirnya. > > Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya > berseberangan secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan itu, menyuarakan > aspirasi kaum kiri dan aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat > dengan PKI. Lewat rubrik Lentera di Surat Kabar Bintang Timoer, Pram dan > kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka. Karya-karya novel Hamka > dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan > penghinaan itu tak lain adalah karena Buya Hamka adalah seorang sastrawan > yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi. > > Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh > mengharukan. Suatu ketika, Astuti, putri Pramoedya mengutarakan keinginannya > untuk menikah. Ia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan. > Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut. Namun ada satu > ganjalan di hatinya, sang calon menantu yang berasal dari peranakan etnis > Tionghoa, ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya. “Saya tidak rela anak > saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda,” demikian ujar > Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, dokter yang > mengobatinya dan dekat dengan keluarganya. > > Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk > datang menemui Buya Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta > calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka. “Saya lebih mantap > mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, > meski kami berbeda paham politik,” demikian Pram menjelaskan. > > Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman Buya > Hamka. Ia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajarkan > kekasihnya itu ajaran-ajaran Islam. Setelah itu, ia memperkenalkan diri > sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka tertegun sejenak, raut > wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia kemudian dengan ikhlas > membimbing sejoli itu untuk belajar Islam. Tak lupa pula, ia menitipkan salam > untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu haru. > > Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci > oleh ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia > sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama. > Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam. > > Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak > pernah memelihara dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya > sudah tak berdaya. Ia berjiwa besar, berlapang dada, dan menganggap segala > kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan cinta. > Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara…🇮🇩👍👍 > > ~~ Via iPhone, Sjamsir Sjarif, Santa Cruz, CA, USA -- . * Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ * Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email. =========================================================== UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi: * DILARANG: 1. Email besar dari 200KB; 2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 3. Email One Liner. * Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta mengirimkan biodata! * Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting * Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply * Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti subjeknya. =========================================================== Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/ --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google Grup. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com. Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.