Assalamualaikum w.w. para sanak sa palanta,
 
Karangan di bawah ini penuh kata-kata asing yang tak lazim kita pakai dalam 
kehidupan sehari-hari, namun bisa kita tangkap intisarinya, yaitu mengajak kita 
bertanya tentang bermacam-macam hal, untuk mendorong kita berfikir menggunakan 
akal. Bukankah kita diajar bahwa agama mendorong kita berfikir , dan bahwa tak 
ada agama bagi orang yang tak berakal ? Hanya Rukun Iman yang tidak boleh -- 
dan tak perlu -- kita pertanyakan.
 
Secara pribadi saya senang dengan ajakan bertanya ini, karena memang ada 
'sagarobak' pertanyaan yang selama ini mengganggu fikiran saya, dan syukur 
Alhamdulillah sebagian sudah terjawab karena saya pertanyakan terus-menerus. 
Masalah 'punah' misalnya telah terjawab dengan Ranji ABS SBK. Asal muasal ABS 
SBK sudah terjawab dalam bukunya Christine Dobbin.
 
Beberapa pertanyaan yang sedang 'menggelantung' di kepala saya adalah sebagai 
berikut: mengapa susah sekali mengajak dinas pariwisata Sumbar, PHRI-ASITA, 
MPKAS-MAPPAS untuk duduk semeja membentuk WSTB?; apakah yang perlu kita perbuat 
setelah K.A wisata siap beroperasi?;  mengapa pak Gamawan tak mau maju lagi 
sebagai calon gubernur dalam periode kedua mendatang ?; mengapa 'tungku tigo 
sajarangan' hampir tak pernah berkomunikasi satu sama lain ?; mengapa dalam 
sistem kekerabatan matrilineal peranan perempuan hanya sebagai simbol, sedang 
kepemimpinan  yang memutus tetap di tangan laki-laki ?; mengapa tidak diajak 
perempuan untuk berunding di kerapatan adat?; apa perempuan tidak mampu 
menganalisa masalah dan mengambil keputusan?; mengapa dengan dianutnya doktrin 
ABS SBK masih sering kita baca terjadinya kasus-kasus permesuman di Sumatera 
Barat?; bagaimanakah ABS SBK itu dilaksanakans ecara kelembagaan?; mengapa tak 
ada bupati dan walikota perempuan di
 Sumatera Barat?; mengapa masyarakat Sumatera Barat masih sering diberitakan 
sebagai masyarakat yang sering dijangkiti kurang gizi ? ; mengapa kaum 
terpelajar muda Minang lebih cenderung ingin jadi pegawai daripada jadi 
wisaswasta ?; mengapa 'rumah gadang' banyak dibiarkan merana dan tak dibangun 
lagi?; mengapa tak banyak orang Minang menjadi ketua umum partai politik di 
tingkat nasional ?; apakah wawasan orang sudah menciut?; mengapa selama ini INS 
tak berkembang?; dan banyak lagi yang lain.
 
Karena itu, mari bertanya terus, dan mari kita cari jawabannya sampai tuntas.


Wassalam,
Saafroedin Bahar
(L, masuk 72 th, Jakarta; Tanjuang, Soetan Madjolelo)
Alternate e-mail address: saaf10...@gmail.com;
saafroedin.ba...@rantaunet.org


"Habitus" Bertanya
 

Kompas, Sabtu, 7 Februari 2009 | 00:34 WIB 

P ARI SUBAGYO
 
Bertanya dan teruslah bertanya, tentang apa pun di sekelilingmu, juga tentang 
dirimu!” Itulah petuah YB Mangunwijaya (Romo Mangun)—10 Februari 2009 nanti 
genap 10 tahun meninggal—kepada siswa-siswi SD Mangunan, Sleman, Yogyakarta. 
Pelajaran unik pun dijalankan di SD eksperimen itu selain seni musik, yakni 
pelajaran bertanya.
 
Para siswa boleh bertanya tentang apa pun. Mereka dilatih berpikir dengan 
menyusun pertanyaan yang cerdas-esensial dalam suasana nalar dan budi 
polos-merdeka. Melalui berbagai pertanyaan yang dirumuskan sendiri, mereka 
diajak berimajinasi, melintasi aneka pengalaman individual, lalu bersama-sama 
menemukan rahasia alam dan kehidupan.
 
Romo Mangun (1929-1999) meninggalkan karya-karya monumental di bidang sastra 
dan arsitektur. Namun, warisan lain yang tidak boleh dilupakan: habitus 
bertanya. Apakah daya kalimat tanya? Sedemikian pentingkah habitus bertanya?
 
Daya komunikasi
Secara sintaktis, kalimat tanya (interogatif) memiliki struktur dan intonasi 
yang membedakannya dari kalimat berita (deklaratif) dan kalimat perintah 
(imperatif). Namun, secara pragmatis—dalam komunikasi empiris—kalimat tanya 
memiliki daya komunikasi yang mengantar mengemban sejumlah fungsi.
 
Pertama, kalimat tanya memantik komunikasi. Bermula dari sebuah pertanyaan, 
terjadilah komunikasi verbal, panjang atau pendek, lisan maupun tulisan, serius 
atau santai, ringan maupun berbobot. Di atas fondasi komunikasi, dapat dibangun 
budaya dialog yang—syukur-syukur—terbuka dan tulus. Komunikasi dan dialog amat 
diperlukan mulai dari ranah antar-individu, keluarga, korporasi, negara, hingga 
”kampung” global-mondial.
 
Kedua, kalimat tanya memuat empati. Ada perhatian dan kepedulian penanya yang 
bermuara pada terciptanya relasi. Di dalamnya termasuk basa-basi yang oleh 
Malinowski dicakup konsep komunikasi fatis (phatic communion). Komunikasi fatis 
adalah penggunaan bahasa yang tidak berorientasi pada isi pembicaraan, tetapi 
demi mewujudkan relasi sosial. Jika diracik sesuai takaran, basa-basi merupakan 
bumbu harmoni sosial.
 
Ketiga, kalimat tanya etis dan estetis. Meski bermodus interogatif, kalimat 
tanya berkekuatan imperatif. Perintah dapat dikemukakan dengan kalimat tanya. 
Ucapan guru ”Siapa yang piket mengambil kapur?” adalah perintah, bukan 
pertanyaan. Dibandingkan kalimat perintah ”Ambilkan kapur!”, kalimat tanya 
terasa lebih etis dan estetis. Menurut Deborah Tannen (That’s Not What I 
Meant!, 1986), tuturan tidak langsung (indirect speech) semacam itu memang 
kurang lugas, tetapi sopan, solider, dan berselera seni ketimbang tuturan 
langsung (direct speech) yang terasa menonjolkan kekuasaan.
 
Daya nalar
Lebih dari sekadar berdaya komunikasi, kalimat tanya juga memiliki daya nalar. 
Naluri bertanya merupakan kekhasan manusia sebagai makhluk berpikir. Aktivitas 
berpikir secara inisial dan orisinal berwujud pertanyaan. Dengan bertanya, 
manusia berpikir. Pernyataan Rene Descartes ”Aku berpikir maka aku ada” (Cogito 
ergo sum) merupakan ungkapan senada dari ”Aku bertanya maka aku ada”. Dengan 
bertanya, manusia meng-ada.
 
Habitus bertanya sudah mentradisi jauh sebelum masa Descartes (1596-1650). 
Plato, Socrates, Aristoteles, dan para filsuf awal telah menggumuli berbagai 
pertanyaan ontologis, fenomenologis, epistemologis, hingga aksiologis sejak 
lebih dari 2.000 tahun lalu. Berkat pertanyaan-pertanyaan 
nakal-eksistensialnya, ilmu pengetahuan berkembang dan peradaban umat manusia 
tinggi menjulang.
 
Berbeda dengan daya komunikasi yang perlu diungkapkan, daya nalar kalimat tanya 
dapat hidup subur dalam ke-diam-an manusia. Diam bukan berarti tidak berpikir. 
Mulut terkunci, tetapi pikiran terus bergerak. Sekadar contoh, rakyat Indonesia 
semasa Orde Baru dikenal sebagai ”masyarakat diam” (silent community)—atau 
disebut Arief Budiman sebagai ”masyarakat ketakutan”. Demi menyelamatkan diri 
dari represi negara yang otoriter, rakyat memilih diam. Diam adalah emas. 
Prinsipnya: ABS ”asli” (asal bapak senang). Namun, sejatinya nalar tetap 
menjalar, hasrat berpikir terus bergulir, meski harus dibatin. Dalam keadaan 
”normal”, habitus membatin seyogianya dipupus, sebab menyuburkan kemunafikan 
kolektif dan otoritarianisme. Jadi, diam agaknya tidak selalu emas.
 
Daya refleksi
Menurut Montigue, La plus grande chose du monde c’est de scavoir être â say. 
Masalah paling sulit dalam hidup ialah mengenal diri sendiri. Karena itu, 
berani bertanya tentang diri menunjukkan kearifan manusia. Dalam olah 
spiritual, lazimnya kita dipandu pertanyaan sederhana ”Siapakah aku?”, ”Apa 
kekuatanku?”, ”Apa kelemahanku?”, ”Apa kesempatanku?”, ”Apa saja ancaman yang 
siap melumatku?”. Akhirnya, ”Aku di mana dan akan menuju ke mana (visi hidup)?”
 
Lagi-lagi, kalimat tanya memperlihatkan dayanya, yakni daya refleksi. Refleksi 
menyehatkan jiwa—lalu raga—manusia. Dalam ranah sosial-politik dan kehidupan 
bersama, refleksi diri secara kolektif pun perlu dilakukan demi menjaga 
kesehatan jiwa raga kolektif masyarakat.
 
Situasi Indonesia mutakhir seharusnya menginkubasi kalimat-kalimat tanya 
reflektif-kolektif mulai dari ”Apakah aku menaruh sampah di tempatnya?”, 
”Apakah aku membayar pajak sesuai aturan?”, ”Apakah aku menghemat listrik dan 
BBM?”, ”Apakah aku berlalu lintas dengan tertib?”, ”Apakah aku mencuri hak 
orang lain?”, ”Bersihkah aku dari korupsi?”, ”Layakkah aku menjadi wakil 
rakyat?”, Pantaskah aku menjadi presiden?”
John F Kennedy menyodorkan pemandu untuk refleksi diri kolektif sebagai bangsa, 
”Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa 
yang telah kau berikan untuk negaramu!”.
 
Hidup dan karya Romo Mangun boleh jadi digerakkan imperasi JFK. Yang pasti, 
habitus bertanya mengasah kemanusiaan manusia dan menjadi fondasi peradaban. 
Atau, kita masih mempertanyakan kebenaran simpulan ini?
 
P ARI SUBAGYO Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
 
 








#yiv1780160038 html .fb_share_link {padding:0px 0 0 
20px;margin-top:5px;height:16px;background:url(http://static.ak.fbcdn.net/images/share/facebook_share_icon.gif?2:26981)
 no-repeat top left;font:normal 11px arial;}
Share on Facebook
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi/dibanned:
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi di setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
- DILARANG: 1. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
2. Posting email besar dari 200KB; 3. One Liner
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Daftarkan email anda yg terdaftar disini pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke