Oleh : ISRAR ISKANDAR 
Pengajar Sejarah Politik Universitas Andalas Padang

SEJARAH tak hanya menampilkan kisah-kisah yang menyenangkan, tapi juga
kesedihan. Masa lalu bahkan tak jarang mewartakan ironi manusia yang
berperan sebagai aktor-aktor sejarah. Inilah perumpamaan terhadap panggung
sejarah Indonesia kontemporer yang diwarnai pelbagai dinamika dan dialektika
para aktornya, khususnya mereka yang dinisbatkan sebagai aktor sejarah
nasional. Salah satu aktor sejarah yang tak lepas dari ironi itu adalah
Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911-15 Februari1989).

Sejarah mencatat, Sjafruddin Prawiranegara berjasa menyelamatkan republik
dari ambang rekolonisasi Belanda di masa revolusi fisik dengan memimpin
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pemerintahan darurat yang
"berpusat" di Sumatera Tengah. Tak terbayangkan, jika tak ada PDRI, apa
jadinya Republik saat para pemimpin utamanya (khususnya Soekarno-Hatta) tak
berkutik akibat ditawan militer Belanda.

Jabatan Ketua PDRI yang diemban Sjafruddin Prawiranegara tentu setara dengan
jabatan Presiden. Masa pemerintahannya memang 209 hari saja, lebih pendek
dibandingkan masa kepresidenan Presiden BJ Habibie yang 518 hari atau
Abdurrahman Wahid (642 hari), tapi nilai kontribusi Sjafruddin Prawiranegara
tak kalah hebatnya, karena memimpin roda pemerintahan di saat keadaan amat
genting. Oleh karena itu, jika dibuat ensiklopedi presiden-presiden Republik
Indonesia, Sjafruddin   Prawiranegara mestinya berada di urutan kedua,
setelah Soekarno.

Peran kesejarahan Sjafruddin Prawiranegara tak hanya itu. Ia juga pernah
beberapa kali menjabat sebagai menteri, wakil perdana menteri, Presiden
Direktur Javasche Bank dan Gubernur Bank Indonesia pertama pada 1950-an.
Dalam kehidupan politik, Sjafruddin Prawiranegara juga dikenal sebagai
petinggi Masyumi, partai Islam terbesar pada Pemilu 1955, pemilu demokratis
pertama dalam sejarah Indonesia.

Namun citra positif Sjafruddin Prawiranegara tersebut agaknya perlu
disosialisasikan lagi termasuk ke lapisan pemimpin. Bagi sebagian generasi
muda, Sjafruddin Prawiranegara barangkali sudah menjadi sebuah gambaran yang
kabur di masa lalu. Dalam bacaan sejarah di sekolah-sekolah sampai saat ini,
nama Sjafruddin Prawiranegara masih terletak di lembaran hitam atau paling
tidak kelabu.

Sjafruddin Prawiranegara kira-kira diasosiasikan dengan tokoh fundamentalis,
separatis, dan sejenisnya - seandainya itupun masuk dalam bacaan mereka.
Sjafruddin juga tergambar sebagai tokoh sejarah yang "kritis" terhadap
idiologi Pancasila, karena ia adalah salah satu dedengkot Masyumi, partai
yang memperjuangkan dasar negara Islam pada sidang Konstituante 1950-an.

Sjafruddin Prawiranegara bahkan kemudian dicitrakan sebagai "pemberontak",
karena akhir 1950-an "bergabung" dengan gerakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Peristiwa itu menjadi titik balik kiprah politik
Sjafruddin Prawiranegara bersama beberapa dedengkot Masyumi dan PSI lainnya.
Ia dianggap "berkhianat" pada republik, karena memimpin gerakan yang ditinta
tebal pemerintah dan militer sebagai "pemberontakan". Padahal PRRI tak bisa
serta merta dituding sebagai makar tanpa memahami secara baik konteks
setting sosial politik dekade 1950-an yang sudah melenceng jauh dari
konstitusi masa itu.

Mungkin perlu disadari bahwa sebagai manusia banyak juga tokoh nasional masa
lalu memiliki "dosadosa politik". Sebutlah nama Sukarno, proklamator dan
Presiden RI pertama. Sukarno dianggap memiliki "dosa-dosa politik", antara
lain karena telah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang "melegalisasi"
pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955, memberi ruang hidup kepada PKI,
serta memaklumkan Demokrasi Terpimpin. Jenderal AH Nasution, mantan KSAD,
juga dianggap punya dosadosa politik, karena ia dinilai telah "mendorong"
dan mendukung keluarnya Dekrit Presiden 1959 itu.

Seiring perjalanan waktu, beberapa tokoh besar masa lalu kemudian menerima
perlakuan tak pantas dari rezim berkuasa. Sebagiannya telah mengalami nasib
tragis sejak masa Demokrasi Terpimpin, khususnya yang "terlibat"
PRRI/Permesta atau para penentang rezim otoriter itu. Di samping Sjafruddin
dan Natsir, perlakuan pahit misalnya juga dialami Sutan Sjahrir, bekas PM RI
pertama, Sumitro Djojohadikusumo, salah satu "arsitek" PRRI, serta beberapa
tokoh Masyumi dan PSI lainnya. Pola perlakuan semacam itu terus berlanjut ke
era rezim berikutnya. Bahkan di era Orde Baru, Sukarno sendiri juga
mengalami perlakuan tragis secara personal maupun terhadap peran
historisnya.

Begitulah, tidak adil jika melihat sejarah seorang tokoh atau pun rezim
tertentu secara parsial. Tak ada tokoh yang benar-benar sempurna.
Kesempurnaan adalah hak milik Allah SWT.

Lalu, apa relevansi membicarakan kembali sepenggal sejarah Sjafruddin
Prawiranegara ini? Sejarah jelas bukanlah untuk masa lalu itu sendiri.
Tujuannya pastilah untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Kepentingan
masa kini bukan untuk kepentingan politik semata, katakanlah membangun
justifikasi historis bagi keabsahan klan politik tertentu. Kepentingan masa
kini paling penting terkait dengan butir-butir hikmah di balik
penggalan-penggalan sejarah yang barangkali tak banyak diketahui publik
(umum) karena memang sengaja dilewatkan.

Kisah Pak Sjaf dan banyak pemimpin politik masa pergerakan dan awal
Indonesia merdeka adalah kisah idealis sejati. Idealisme tak hanya menjadi
landasan perjuangan hidup bagi mereka yang digelari pahlawan, tapi juga
aktor sejarah yang disebut sebagai "pembangkang" atau "pemberontak".

Kenyataan itu tentu terasa berbeda sekali dengan gejala laku politik
kebanyakan elit yang kini berada di panggung kekuasaan di pusat maupun
daerah. Mereka tak jarang menghalalkan segala cara untuk berebut tulang
kekuasaan yang pada umumnya tak berhubungan dengan kepentingan rakyat atau
negara.
Epaper Harian Haluan, Minggu  27 February 2011
Wassalam
Nofend/34+/M-CKRG

=> MARI KITA RAMaIKAN PALANTA SESUAI DENGAN VISI-NYA!!
Forum komunikasi, diskusi dan silaturahmi menggunakan email ini sangat
dianjurkan selalu dalam koridor topik: yang berhubungan dengan Ranah Minang,
Urang Awak di ranah dan rantau, Adat dan Budaya Minangkabau serta Provinsi
Sumatera Barat.

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

Kirim email ke