Pak Ekadj, berikut ini saya kutipkan dua kalimat yang saya anggap penting dalam 
alur berpikir fenomenologi yang saya hayati, semoga bermanfaat. Satunya dari 
Van Peursen dan yang lain rumusan saya sendiri. Kalimat ini saya cantumkan 
menjadi bagian penting dalam salah satu lembar naskah yang sedang saya susun.

(1) Kebenaran tak dapat dipetik demikian saja bagaikan buah-buah jambu, sebab 
jumlah relasi yang terkandung di dalam suatu obyek tak ada batasnya …….. 

(C.A Van Peursen, 1988)

(2) Berfenomenologi adalah bersatu dengan fenomena dalam sikap murni dan 
terbuka, tekun dan cermat menelusuri profil-profil fenomena dan 
relasi-relasinya yang amat kaya, lapis demi lapis, bagian demi bagian, 
menghubung-hubungkan dan mendialogkan, kemudian berusaha menembus kabut setahap 
demi setahap untuk berjumpa dengan realitas hakiki yang tersembunyi 
di baliknya….

(Djarot Purbadi, 2008)

Salam,



Djarot Purbadi



http://realmwk.wordpress.com [Blog Resmi MWK]

http://arsitekturnusantara.wordpress.com

http://fenomenologiarsitektur.wordpress.com

--- On Sun, 8/9/09, ffekadj <4ek...@gmail.com> wrote:

From: ffekadj <4ek...@gmail.com>
Subject: [referensi] Re: critical planning ?
To: referensi@yahoogroups.com
Date: Sunday, August 9, 2009, 11:30 AM






 




    
                  Pak Risfan ysh, memang sebenarnya sangat menarik membahas 
thread ini. Secara tidak sadar dan 'sepakat' kita memang telah bergeser dari 
semula membicarakan 'benda mati' (: ruang) kepada membicarakan 'makhluk hidup'. 
'Transformasi' ini memang tidak bisa kita hindarkan dalam profesi, karena 
selama ini memang ada secara laten. 
Saya mendapatkan banyak pencerahan ketika dulu pernah menelusuri sedikit babad 
Jawa, dan mendapatkan suatu kesan: 'pewarisan' itu dilakukan dengan 3 cara: 1 
pertalian darah, dan yang 2 adalah sangat kental budaya Jawa yaitu melalui yang 
diistilahkan Pak ATA dengan 'wahyu cakraningrat' , serta 3 adalah persekutuan. 
Kesan terkuat dari aspek pertalian darah adalah ketika pendirian Demak Bintoro: 
sewaktu Wali Songo mengamanatkan tahta kepada pemuda mentah Raden Patah. Dan 
untuk cara 2 adalah seperti yang ditunjukkan Ki Ageng Giring; dan cara 3 adalah 
ditunjukkan oleh Panembahan Senopati yang mengedepankan aspek fenomenologi. 
Mungkin itu penafsiran awal saya yang cetek ini. 
Di era sekarang mungkin mengemuka cara ke-4 yaitu demokrasi, namun secara 'usia 
penerapan' tentunya masih perlu mencari acuan dan pijakan, terlebih masyarakat 
sudah steady dengan sistem-sistem lama. Di beberapa daerah perseteruan ini 
telah nyata walau dalam varian yang berbeda, seperti Perang Tjumbok di Aceh dan 
Perang Paderi di Minangkabau. Untuk Jawa, saya kira Geertz menggambarkan secara 
skeptis proses transformasi ini ke dalam 3 kelompok, dan sebenarnya tidak ada 
'konflik yang mengemuka'. 
Permasalahannya memang demikian, kita menghadapi masyarakat yang gayut dengan 
berbagai alam pemikiran. Seperti drama yang kita saksikan dalam beberapa hari 
ini: pemaknaan terorisme bisa berbeda dalam sudut pandang budaya dan aliran 
keagamaan, karena banyak tabir. Namun kita bisa sepakat dengan satu hal: bila 
kekerasan tidak kita sukai. Berdiri dan berpijak di berbagai perbedaan ini 
kelihatannya membutuhkan keahlian ala pemain sirkus, apalagi kemampuan kita 
dapat mempengaruhi peri kehidupan masyarakat tersebut. 
Sementara demikian dulu pak. Masih membutuhkan pencerahan. Salam. 
-ekadj
--- In refere...@yahoogrou ps.com, "risfano" <risf...@...> wrote:
>
> Pak Djarot,
> Terima kasih atas penyegaran flsafat ilmunya. 
> Katakanlah kita menggunakan fenomenologi. Kita jadi memahami kejadian dan 
> apa-apa dibaliknya. Pertanyaan yang muncul, kalau temuan nya diproyeksikan ke 
> depan apakah bisa dan masih berlaku? Mengingat masyarakat setempat juga 
> berkembang terus.
> 
> Kedua, sebagai planner/arsitek mestinya kita juga memperkenalkan ide/faham 
> baru juga kan. Misal kalau kita tahu dalam komunitas tersebut ada 
> eksploitasi, penindasan atas kasta bawahan (atas nama feodalisme, klenik). 
> Kan kita harus mengintervensi juga toh. Gurauannya: Banyak alasan kramat yang 
> membuat anak kecil cuma kebagian "ceker" terus, karena alasan keramat bahwa 
> "brutu, dada" untuk ortu. "Bunga desa" untuk 'sesajen' bagi pangeran, dst. 
> Artinya karena soal kekeramatan ini tidak bisa terbuka reason nya, ada 
> peluang untuk di-abuse juga.
> 
> Seperti kata pak Onnos, diera yang kian demokratis/ partisipatif, sejauh mana 
> otoritas planner untuk menentukan desain berdasar kajian tim nya, kan 
> pemangku kepentingan saat ini belum tentu percaya kekeramatannya.
> 
> Sekali lagi, yang keramat, yang asli daerah (etnik?) itu sangat spesifik 
> dalam artian "ruang dan waktu" (term Pak ATA), seberapa jauh bisa dibawa ke 
> ruang-waktu atau khasanah "Indonesia masa kini dan ke depan". Kita mesti 
> sadar bahwa musuh kita bukan cuma neo-liberalism, tapi juga neo-feodalism 
> lokal yang cenderung eksplotatif terhadap rakyat. Apakah karena "anti 
> ekonomi" (rasio) membuat kita tutup mata: dari mana tokoh itu dapat uang shg 
> bisa pesta adat besar besar-besaran untuk pernikahan putrinya (misalnya). 
> Jangan bicara ekonomi, itu barat, beliau mulia karena mengangkat adat budaya 
> sukunya (?). 
> Kesimpulan saya Pak Djarot, sekali menyangkut publik aspeknya selalu 
> multi-dimensi, selain lokal ada nasional, ada budaya, ada struktur sosial, 
> ada aspek ekonomi.
> Budaya Indonesia itu apa? kumpulan etnik? semuanya atau selektif? sesuatu 
> yang baru? Kalau saya ikuti dialog budayawan (alm Umar Kayam, Rendra, dll) 
> kesan saya mereka cenderung melihat proses perubahan (kedepan, bukan 
> kebelakang) menuju Indonesia, dalam transisi rural ke urban. Dan, mereka 
> cenderung membela budaya rakyat, daripada klenik dan simbol-simbol kuasa 
> rekaan raja-raja. 
> Kalau gerhana, katakan gerhana Pak, jangan bilang "buta hejo" marah. Kalau 
> ngitung struktur pakai kalkulator, PC, jangan blackberry dipakai untuk ngirim 
> "ketik REG spasi KRAMAT..."
> 
> Salam,
> Risfan Munir
> 
> 
> Salam,
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> --- In refere...@yahoogrou ps.com, Djarot Purbadi dpurbadi@ wrote:
> >
> > Pak BSP, saya belum terlalu lama menikmati nikmatnya fenomenologi. Salah 
> > satunya adalah bahwa realitas yang ditangkapnya tidak lagi bersifat 
> > "fotomic" melainkan "holografic" . Jika kita mewawancara mendalam seorang 
> > tukang becak, misalnya, kita sebenarnya tahu lebih jauh yaitu tentang 
> > "dunia tukang becak". Jadi tahu sedikit bisa melongok ngicipi yang lebih 
> > jauh ! 
> > 
> > Rahasianya, untuk berfenomenologi yang berkualitas memang harus latihan. 
> > Latihan pertama, memurnikan diri, yaitu membiasakan tidak terpengaruh oleh 
> > teori-teori yang pernah kita ketahui....ini nggak murtad dari dunia ilmuwan 
> > lho, hanya melakukan skipping sebentar supaya proses memahami subyek/obyek 
> > yang kita cermati tidak dicemari teori-teori atau opini pihak lain terhadap 
> > obyek.subyek kajian kita. Latihan kedua adalah menuliskan atau 
> > mendongengkan pengalaman itu dengan runtut dan detil. Dua jurus dulu ya Pak.
> > 
> > Salam,
> > 
> > 
> > 
> > Djarot Purbadi
> > 
> > 
> > 
> > http://realmwk. wordpress. com [Blog Resmi MWK]
> > 
> > http://arsitekturnu santara.wordpres s.com
> > 
> > http://fenomenologi arsitektur. wordpress. com
> > 
> > --- On Thu, 8/6/09, bspriyo@ bspriyo@ wrote:
> > 
> > From: bspriyo@ bspriyo@
> > Subject: RE: [referensi] Re: tempat keramat--- critical planning ?
> > To: refere...@yahoogrou ps.com
> > Date: Thursday, August 6, 2009, 12:16 PM
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> >  
> > 
> > 
> > 
> > 
> > 
> > Luar biasa mas Djarot ... 
> > saya mendapatkan pencerahan.
> > Matur nuwun
> > salam
> > bambang sp
> >
>


 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke