Apa yang sebenarnya diinginkan makhluk-makhluk yang dipertokohkan bangsa ini 
atas kekuasaan?
Tidak puaskah mereka masing-masing menjadi kholifah dimuka bumi?
Mengapa kekuasaan yang sifatnya substansial, yang dibangun atas dasar 
popularitas lebih menarik daripada kekuasaan yang berdasarkan amanat Ilahi?

Pertanyaan-pertanyaan diatas yang kemudian muncul dibenak ini dan kemudian 
membuat aku merenung jauh menyelami fenomena-fenomena yang warna-warni dalam 
atmosfer kehidupan zaman ini.

Kalau kemudian disini aku tuliskan apa yang terlintas dalam pikiranku, bukan 
berarti aku telah mendapatkan jawaban yang final atas pertanyaan-pertanyaan 
unik yang menghiasi otakku. justru aku ingin mengajak sesamaku mengupas apa 
yang harus jelas dalam hidup ini sehingga kita tidak terjebak dan silau oleh 
gemerlapnya dunia.

Apa yang sebenarnya diinginkan makhluk-makhluk yang dipertokohkan bangsa ini 
atas kekuasaan?
Kalau seandainya mereka ingin menjadi 'Dewa'nya manusia, tentu hal itu sangat 
berlebihan. karena Allah telah lama memploklamirkan diri untuk itu, dan 
proklamasiNya tidak terbantahkan, apalagi hanya oleh seorang fira'un.
Maka jelas yang berhak membuat keadilan dan kemakmuran sebuah bangsa bukanlah 
penguasa, akan tetapi Tuhan melalui kemauan-kemauan para makhluk itu sendiri.
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya kalau ada yang berambisi memimpin dengan 
janji-janji menegakkan keadilan, memakmurkan rakyat, dan lain sebagainya adalah 
sebuah ambisi yang salah kaprah yang ditolelir, karena semua itu diluar 
jangkauan manusia. Nabi Musa pernah mendapatkan teguran keras dari Allah 
tentang hal ini kemudian ia disuruh berguru kepada Khidzir. Tujuan Tuhan 
menjadikan penguasa di muka bumi adalah untuk menyadarkan meraka tentang sebuah 
misi-visi yang suci mulia, yaitu: menjalankan totalitas aktivitas kehidupan 
dalam koridor pengabdian kepada Allah. perkara keadilan, kemakmuran, dan lain 
sebagainya adalah hak Tuhan, karena semua itu pada dasarnya diluar batas 
kemampuan kita sebagai makhluk. bangsa ini akan terjamin kesejahteraan dalam 
artian yang sangat luas jika kita telah benar-benar dekat dengan Tuhan. dan 
bukan karena hidup dibawah harapan-harapan semu.
Yakinlah bahwa janji-janji manusia hanya mengandung setetes kadar ketepatan dan 
kejujuran, jika janji-janji itu sudah melampaui kehendak Tuhan.
Lalu dengan modal popularitas yang sangat rapuh itu, apa yang sebenarnya mereka 
inginkan dengan kekuasaan yang telah mereka dapatkan dalam hidup yang hanya 
sesaat ini kalau bukan kenikmatan dunia.

Tidak puaskah mereka masing-masing menjadi kholifah dimuka bumi?
Terlahirnya kita ke dunia ini telah menggenggam amanat suci sebagai makhluk 
yang diharapkan bisa menjaga kelestarian alam semesta dan memperbaikinya jika 
terjadi bencana, baik dalam skala kecil maupun besar. kita bebas mengelolanya 
dengan cara sesuka kita, asal dengan kebaikan dan untuk kebaikan. 
Maka banyak sekali makhluk-makhluk mulia di dunia ini yang harum namanya tanpa 
harus menjadi penguasa sebuah bangsa, dan kalaupun mereka menjadi pemimpin 
suatu bangsa, maka hidupnya merupakan tauladan, sebagai makhluk yang cerdas 
dalam menjalankan perintah Tuhan serta pandai menjadikan segala sesuatunya 
menjadi lebih teratur.
Dalam keadaan semacam ini tentunya para makhluk akan hidup bahagia, tanpa 
tekanan dari pihak manapun. Alangkah indahnya kehidupan semacam ini.

Mengapa kekuasaan yang sifatnya substansial, yang dibangun atas dasar
popularitas lebih menarik daripada kekuasaan yang berdasarkan amanat
Ilahi?
Karena kekuasaan yang diperoleh dari popularitas akan mengahasilkan kekayaan 
dan kemegahan yang tampak secara langsung di dunia ini. dan dengan kekuasaan 
itu ia dapat memadukan minimal tiga hal -kekuasaan, kekayaan, kehormatan- untuk 
menutupi kelemahannya dihadapan sesama. 
Padahal hal yang demikian amatlah hina jika dibandingkan dengan apa-apa yang 
akan mereka dapatkan apabila mendasarkan kekuasaannya diatas amanat Ilahi.



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke