Kontroversi Larangan Tionghoa Miliki Tanah di Yogya
https://www.voaindonesia.com/a/kontroversi-larangan-tionghoa-miliki-tanah-di-yogya/4275663.html
Terakhir kali diperbarui 01/03/2018
Nurhadi Sucahyo
Warga menyaksikan tarian naga (dragon dance) pada festival "Cap Go Meh" yang
menandai berakhirnya perayaan Tahun Baru Imlek di Malioboro, Yogyakarta, 7
Februari 2009. (Foto: dok/ilustrasi).
Pengadilan Negeri Yogyakarta telah memutuskan bahwa larangan etnis Tionghoa
memiliki tanah di Yogya tidak dapat dihapus. Penggugat mengajukan banding hari
Rabu (28/2), dan menunggu proses di Pengadilan Tinggi.
YOGYAKARTA — Ditemui VOA di sebuah kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah
di Yogyakarta, ibu muda keturunan Tionghoa memilih tidak banyak bicara soal
transaksi tanah yang dia lakukan. Bersama suaminya, yang berbisnis toko makanan
hewan peliharaan, dia hendak membeli tanah tak jauh dari rumahnya. Uniknya,
status tanah yang sebelumnya hak milik itu, harus diubah menjadi Hak Guna
Bangunan (HGB) selama transaksi terjadi. “Ya, begitulah. Mau bagaimana lagi,
diikuti dulu saja,” ujarnya menjawab pertanyaan VOA.
Bagi warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta, masalah tanah memang sensitif.
Apalagi jika dikaitkan dengan Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor
898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Non-pribumi
di DIY.
Namun, tidak semua memilih diam atas aturan itu. Handoko, pengacara Tionghoa,
pada 7 September 2017 menggugat keputusan itu. Lima bulan bersidang di PN
Yogyakarta, Handoko kalah dalam Sidang Putusan pada 20 Februari 2018 lalu.
Seorang seniman mural menggambar di dinding Stadion Kridosono, Yogyakarta
berisi pesan damai dan kesetaraan. (Foto: VOA/Nurhadi-dok/ilustrasi)
“Setelah gugatan itu, sekarang malah muncul ujaran kebencian dan isu-isu
kerusuhan. Kemudian saya seolah malah disalahkan. Tapi juga banyak yang
mendukung. Saya katakan, saya tidak menggugat atas nama komunitas. Saya
menggugat atas nama pribadi,” kata Handoko yang dihubungi VOA dalam perjalanan
ke Jakarta.
Menurut Handoko, banyak warga Tionghoa yang mendukung langkahnya, namun tidak
berani mengungkapkan secara terbuka. Dukungan itu memang tidak mudah, karena
membawa risiko. Namun bagi Handoko, aturan itu harus tetap dilawan apapun
alasannya. Karena itulah, dia mengajukan banding atas keputusan PN Yogyakarta.
“Kemarin banding baru saja ajukan, karena menurut saya keputusan PN Yogya itu
keliru. Tidak sesuai asas pemerintahan yang baik. Di putusan itu dasarnya
katanya asas pemerintahan yang baik, saya katakan tidak, diskriminasi kok jadi
dasar asas pemerintahan yang baik. Kalau alasannya melindungi yang lemah kok
dikaitkan dengan ras, memangnya tidak ada yang miskin itu orang keturunan,”
jelasnya.
Anak-anak dari berbagai latar etnis mempersembahkan tarian untuk memeriahkan
perayaan Imlek di Yogyakarta, dalam kehidupan sehari-hari kerukunan relatif
baik di kota ini (Foto: VOA/Nurhadi - dok/ilustrasi)
Gugatan Handoko bukan yang pertama. Budi Setyagraha, pengusaha Tionghoa
Muslim, juga pernah menggugat kebijakan itu pada tahun 2001. Budi sempat menang
di Pengadilan Negeri, tetapi kemudian kalah di Mahkamah Agung.
Penggugat lain, Willie Sebastian dan Ong Ko Eng mencoba menggugat dalam dua
upaya hukum terpisah, tetapi kemudian juga kalah. Handoko sendiri tidak yakin
atas upayanya, tetapi dia menegaskan akan terus melakukan upaya hukum.
Baca juga: Etnis Tionghoa Masih Dilarang Miliki Tanah di Yogyakarta
https://www.voaindonesia.com/a/etnis-tionghoa-masih-dilarang-miliki-tanah-di-yogyakarta-/4272706.html
Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Prof Djoko Suryo
memaparkan, naik turun hubungan penguasa Kasultanan dengan komunitas Tionghoa
sudah muncul sejak lama.
Di jaman penjajahan Belanda, para pedagang Cina dianggap lebih dekat dengan
penguasa. Ketika terjadi perlawanan rakyat, kelompok Tionghoa yang mayoritas
saudagar turut dimusuhi. Di era itu, warga Tionghoa juga tidak diperbolehkan
memiliki tanah di kawasan pedesaan. Djoko Suryo menyatakan, banyak kajian
mendukung klaim tersebut.
“Itulah salah satu bagian sejarah yang membuat pembatasan kepemilikan itu
berkelanjutan,” kata Djoko Suryo.
Tugu Yogyakarta (dikenal juga sebagai "Tugu Pal Putih"), simbol kota Yogyakarta
yang legendaris (Foto: Wikipedia)
Sejarah memang mencatat, adanya Prasasti Ngejaman tidak jauh dari pintu masuk
Keraton Yogyakarta. Di masa revolusi, komunitas Tionghoa kurang menunjukkan
dukungan dalam perang melawan Belanda, bahkan ingin meninggalkan Yogyakarta.
Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memberi ultimatum kepada warga Tionghoa, jika
pergi di tengah rakyat yang berperang, maka selamanya mereka tidak boleh
kembali ke Yogya. Warga Tionghoa kemudian memilih tetap tinggal, dan mereka
menghadiahkan jam yang dipasang di dekat Keraton sebagai tanda terima kasih.
Hubungan kurang harmonis berlanjut di Era Orde Baru, ketika Soeharto
memberikan