[GELORA45] MUI: Pelaku Teror Salah dalam Memahami Paham Syariat Islam

2018-05-18 Terurut Topik 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]
Salah dalam pemahan Syariat Islam ataupun SALAH dalam menafsirkan bait-biat 
Alquran tentu boleh-boleh saja, ... KESALAHAN yang bisa dikatakan BIADAB adalah 
merenggut nyawa manusia lain yang dituduh KAFIR! Satu KESALAHAN terkutuk yang 
TIDAK BISA ditoleransi oleh siapapun, ... khususnya umat Islam sendiri!

Salam-damai,
ChanCT

MUI: Pelaku Teror Salah dalam Memahami Paham Syariat Islam
FAR, CNN Indonesia | Rabu, 16/05/2018 00:34 WIB
Wakil Sekretaris KAUB MUI menyatakan pelaku teror yang mengatasnamakan agama 
sesungguhnya salah dalam memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW. 
(CNN Indonesia/Andry Novelino)Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Sekretaris Komisi 
Kerukunan Antarumat Beragama (KAUB) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Abdul Moqsith 
Ghazali menilai pelaku teror yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam, salah 
dalam memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW.

Moqsith menyoroti soal pemahaman para pelaku yang menganggap saat ini dalam 
situasi berperang, kemudian melibatkan istri dan anak-anak untuk terlibat dalam 
aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi di Surabaya, Minggu (14/5) dan Senin 
(15/5).

"Mereka (para pelaku) keliru membaca (memahami) Al-Quran dan sejarah nabi," 
kata Moqsith dalam diskusi di Rumah Pergerakan Griya Gusdur, Menteng, Jakarta 
Pusat, Selasa (15/5).



  Lihat juga: Anak Pelaku Teror Surabaya Alami Gangguan Psikologi Berat 

Moqsith mengatakan sepanjang sejarahnya Nabi Muhammad tidak pernah sekalipun 
mengajak ibu atau istrinya ikut berperang, meskipun dalam kondisi terdesak.

"Pada kasus Dita Oepriarto, Nabi tidak melibatkan orang tua dalam perang. Ini 
tidak ada syariatnya. Istri nabi juga tidak dilibatkan dalam perang. Makanya 
kalau melibatkan istri, itu tidak syar'i," kata Moqsith.

Selain itu, Nabi juga tidak pernah mengajarkan untuk melibatkan anak-anak dalam 
peperangan. Moqsith mencontohkan sejarah hidup anak angkat Rasulullah, Usamah 
bin Zaid.

Dalam perang Uhud, jumlah prajurit Nabi Muhammad tidak sebanding dengan 
musuhnya. Saat itu, Usamah menawarkan diri menjadi prajurit dan ikut berperang..

"Usama bin Zaid menawarkan diri 'bagaimana kalau saya ikut berperang?'. Nabi 
tidak membolehkan karena usama masih berusia 13 tahun," kata Moqsith.

Singkat cerita ketika usia Zaid menginjak dewasa atau sekitar 18 tahun, saat 
itulah Nabi Muhammad mengangkatnya sebagai panglima perang. Dari cerita ini, 
menurut Moqsith, perlu dipahami Nabi Muhammad sebagai junjungan Umat Muslim 
tidak pernah mengizinkan anak-anak ikut terlibat dalam peperangan.

Oleh karena itu, menurut Moqsith, para pelaku Bom di Surabaya kemarin salah 
memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad yang merupakan junjungan dalam 
agama Islam.

"Kasus Surabaya, kalau ini adalah (diartikan) perang dan melibatkan permepuan 
dan anak-anak ini tidak syar'i," kata Moqsith.

  Lihat juga: 'Ghirah' Sel Teroris Bidik Jawa Timur Sasaran Dendam 

Dakwah Nilai Kebangsaan dan Toleransi

Moqsith pun mengimbau seluruh alim ulama menyampaikan dakwah yang mengandung 
nilai-nilai kebangsaan dan toleransi. Hal ini sebagai langkah pencegahan atas 
tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit terorisme di Indonesia.

"(Mengantisipasi) salah satunya itu menyediakan dakwaah moderat dan yang 
toleran bahwa keragaman bukan ancaman, bahwa keragaman adalah sunatullah," 
ujarnya.

Seseorang, katanya, tidak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga dengan 
latar belakang tertentu. Begitu pun dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Ia menambahkan, bagi alim ulama yang terkait dengan jaringan teroris sedianya 
bukan diberikan sanksi. Namun, diajak untuk kembali memahami nilai-nilai 
pancasila. Ulama tersebut perlu diberikan pemahaman bahwa Indonesia merupakan 
nengara yang plural di mana hidup berbagai macam suku dan agama hidup di 
dalamnya.

"Ustad terafiliasi kelompok radikal tentu tidak harus disanksi, secara langsung 
diajak serta tergabung kembali dalam Pancasila dan UUD 1945. Bahwa Indonesia 
bukan jawa mayoritas Islam, tapi Indonesia ini ada Bali juga Papua dan 
lainnya," kata dia.

Sebelumnya, serangkaian teror bom terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Pada Minggu 
(13/5) pelaku yang merupakan satu keluarga dari Dita Oepriarto melakukan 
pengeboman di tiga gereja, yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel 
utara, GKI Diponegoro, dan GPPS Sawahan di Jalan Arjuno.

Bom juga meledak di salah satu tempat tinggal pelaku teror di Rumah Susun 
Wonocolo, Kabupaten Sidoarjo. Dua anak-anak terluka dan tiga orang tewas atas 
kejadian itu. Diduga kuat ledakan itu tidak sengaja terjadi saat pelaku sedang 
merakit bom.

Kemudian pada Senin (14/5), Tri Murtiono bersama Istri dan tiga anaknya 
melakukan serangan bom bunuh diri ke Mapolrestabes Surabaya. Satu anak Tri 
selamat dari kejadian tersebut. (kid)

[GELORA45] MUI: Pelaku Teror Salah dalam Memahami Paham Syariat Islam

2018-05-17 Terurut Topik Jonathan Goeij jonathango...@yahoo.com [GELORA45]
Terhadap para jihadis bom bunuh diri MUI bilangnya cuman salah dalam membaca 
Al-Quran dan sejarah nabi itu saja, tetapi TIDAK ADA FATWA SESAT juga TIDAK ADA 
FATWA PENODAAN AGAMA sama sekali. 
---"Mereka (para pelaku) keliru membaca (memahami) Al-Quran dan sejarah nabi," 
kata Moqsith dalam diskusi di Rumah Pergerakan Griya Gusdur, Menteng, Jakarta 
Pusat, Selasa (15/5).

MUI: Pelaku Teror Salah dalam Memahami Paham Syariat Islam
FAR, CNN Indonesia | Rabu, 16/05/2018 00:34 WIB
Wakil Sekretaris KAUB MUI menyatakan pelaku teror yang mengatasnamakan agama 
sesungguhnya salah dalam memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW. 
(CNN Indonesia/Andry Novelino)

Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Antarumat Beragama 
(KAUB) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Abdul Moqsith Ghazali menilai pelaku teror 
yang mengatasnamakan agama, khususnya Islam, salah dalam memahami syariat Islam 
dan sejarah Nabi Muhammad SAW.

Moqsith menyoroti soal pemahaman para pelaku yang menganggap saat ini dalam 
situasi berperang, kemudian melibatkan istri dan anak-anak untuk terlibat dalam 
aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi di Surabaya, Minggu (14/5) dan Senin 
(15/5).

"Mereka (para pelaku) keliru membaca (memahami) Al-Quran dan sejarah nabi," 
kata Moqsith dalam diskusi di Rumah Pergerakan Griya Gusdur, Menteng, Jakarta 
Pusat, Selasa (15/5).


| 
Lihat juga:
 Anak Pelaku Teror Surabaya Alami Gangguan Psikologi Berat |


Moqsith mengatakan sepanjang sejarahnya Nabi Muhammad tidak pernah sekalipun 
mengajak ibu atau istrinya ikut berperang, meskipun dalam kondisi terdesak.

"Pada kasus Dita Oepriarto, Nabi tidak melibatkan orang tua dalam perang. Ini 
tidak ada syariatnya. Istri nabi juga tidak dilibatkan dalam perang. Makanya 
kalau melibatkan istri, itu tidak syar'i," kata Moqsith.

Selain itu, Nabi juga tidak pernah mengajarkan untuk melibatkan anak-anak dalam 
peperangan. Moqsith mencontohkan sejarah hidup anak angkat Rasulullah, Usamah 
bin Zaid.

Dalam perang Uhud, jumlah prajurit Nabi Muhammad tidak sebanding dengan 
musuhnya. Saat itu, Usamah menawarkan diri menjadi prajurit dan ikut berperang..

"Usama bin Zaid menawarkan diri 'bagaimana kalau saya ikut berperang?'. Nabi 
tidak membolehkan karena usama masih berusia 13 tahun," kata Moqsith.

Singkat cerita ketika usia Zaid menginjak dewasa atau sekitar 18 tahun, saat 
itulah Nabi Muhammad mengangkatnya sebagai panglima perang. Dari cerita ini, 
menurut Moqsith, perlu dipahami Nabi Muhammad sebagai junjungan Umat Muslim 
tidak pernah mengizinkan anak-anak ikut terlibat dalam peperangan.

Oleh karena itu, menurut Moqsith, para pelaku Bom di Surabaya kemarin salah 
memahami syariat Islam dan sejarah Nabi Muhammad yang merupakan junjungan dalam 
agama Islam.

"Kasus Surabaya, kalau ini adalah (diartikan) perang dan melibatkan permepuan 
dan anak-anak ini tidak syar'i," kata Moqsith.


| 
Lihat juga:
 'Ghirah' Sel Teroris Bidik Jawa Timur Sasaran Dendam |


Dakwah Nilai Kebangsaan dan Toleransi

Moqsith pun mengimbau seluruh alim ulama menyampaikan dakwah yang mengandung 
nilai-nilai kebangsaan dan toleransi. Hal ini sebagai langkah pencegahan atas 
tumbuh dan berkembangnya bibit-bibit terorisme di Indonesia.

"(Mengantisipasi) salah satunya itu menyediakan dakwaah moderat dan yang 
toleran bahwa keragaman bukan ancaman, bahwa keragaman adalah sunatullah," 
ujarnya.

Seseorang, katanya, tidak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga dengan 
latar belakang tertentu. Begitu pun dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Ia menambahkan, bagi alim ulama yang terkait dengan jaringan teroris sedianya 
bukan diberikan sanksi. Namun, diajak untuk kembali memahami nilai-nilai 
pancasila. Ulama tersebut perlu diberikan pemahaman bahwa Indonesia merupakan 
nengara yang plural di mana hidup berbagai macam suku dan agama hidup di 
dalamnya.

"Ustad terafiliasi kelompok radikal tentu tidak harus disanksi, secara langsung 
diajak serta tergabung kembali dalam Pancasila dan UUD 1945. Bahwa Indonesia 
bukan jawa mayoritas Islam, tapi Indonesia ini ada Bali juga Papua dan 
lainnya," kata dia.

Sebelumnya, serangkaian teror bom terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Pada Minggu 
(13/5) pelaku yang merupakan satu keluarga dari Dita Oepriarto melakukan 
pengeboman di tiga gereja, yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela, Jalan Ngagel 
utara, GKI Diponegoro, dan GPPS Sawahan di Jalan Arjuno.

Bom juga meledak di salah satu tempat tinggal pelaku teror di Rumah Susun 
Wonocolo, Kabupaten Sidoarjo. Dua anak-anak terluka dan tiga orang tewas atas 
kejadian itu. Diduga kuat ledakan itu tidak sengaja terjadi saat pelaku sedang 
merakit bom.

Kemudian pada Senin (14/5), Tri Murtiono bersama Istri dan tiga anaknya 
melakukan serangan bom bunuh diri ke Mapolrestabes Surabaya. Satu anak Tri 
selamat dari kejadian tersebut. (kid)