Fw: [GELORA45] Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin
- Pesan yang Diteruskan - Dari: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] Terkirim: Jumat, 16 Agustus 2019 13.48.04 GMT+2Judul: [GELORA45] Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin https://koransulindo.com/aliarcham-tokoh-pki-yang-belajar-dari-samin/ Aliarcham,Tokoh PKI yang Belajar dari Samin Meskimenjalani periode pergerakan yang sangat singkat, Aliarcham sempatmenjadi musuh utama pemerintah kolonial sekaligus masuk daftarorang-orang yang harus segera disingkirkan. 2Juli 2019 KoranSulindo – Batukyang semula dianggapnya hanya biasa bertambah hari ternyatakondisinya makin parah. Wajah makin pucat sementara matanya jugamakin cekung. Bujukan teman-temannya agar mau berobat dianggap anginlalu. Ia bahkan punya keyakinan, alih-alih mengobatinya pemerintahpasti bakal membunuhnya. Belakanganketika akhirnya mau berobat ke Tanah Merah, hal itu dilakukannyasemata untuk membuat kawan-kawannya senang. Nyatanya, toh tak lamakemudian ia kembali lagi. “Sayasangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian sayadi hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini,”jawabnya ketika dituntut penjelasan seperti ditulis Aliarcham,Sedikit tentang riwayat dan perjuangannya. Ya,Aliarcham memang kepala batu meski ia tahu tanpa pengobatan memadahipenyakit paru-paru cuma memastikan satu hal. Kematian!. Ketikakeadaannya makin payah, pada tanggal 1 Juli 1933 kawan-kawansepembuangan memaksanya melanjutkan pengobatan ke Tanah Merah. Iabahkan harus dipapah untuk naik kapal yang digunakan untuk menghilirmengikuti Sungai Digul. Ditengah deru motor kapal dan disaksikan teman-temannya itulah akhirnyaAliarcham menutup mata untuk selamanya. Ia masih sangat muda, baru 32tahun. Tanah Merah tempatnya mencari pengobatan akhirnya justrumenjadi kuburnya. Mengenangketeguhan hatinya selama itu, kawan-kawan Aliarcham menulis sebuahsajak Henriette Roland Holst di nisannya yang sederhana. Bagikami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangankami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan katamulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yangmeneruskan sebagai pelanjut Lahir1901 dari keluarga penghulu dan tokoh agama di Asemlegi, Juwana,Pati, Aliarcham sempat menikmati pendidikan pesantren. Tujuannyajelas, kelak ia mesti mengikuti jejak sang ayah. Namun,dari guru-guru agama itulah Aliarcham justru berkenalan dengan pahamSamin yang mengajarkan persamaan, persaudaraan manusia dangotong-royong tanpa penindasan yang dianggapnya sebagai sosialismemodel Jawa. Ketika Samin Surosentiko ditangkap Belanda dan dibuang keSawahlunto hingga akhirnya meninggal tahun 1914, di benak Aliarchamkecil tertanam kuat kebencian dan perlawanan terhadap penjajahBelanda yang tamak. Selainpendidikan tradisional, karena orang tuanya lahir dari keluargaterkemuka Aliarcham juga dibolehkan bersekolah di HollandsInlandse School (HIS).Di sekolah itu, ia segera tampil sebagai salah satu murid yang palingcerdas dan rajin. Ketikapara penerus gerakan Samin melanjutkan ‘perlawanan sipil’ yangberpuncak di tahun 1917, Aliarcham sudah duduk di sekolah calonguru bumiputera atau Kweekschoolvoor Inlands Onderwijsdi Ungaran. Disekolah guru Aliarcham mulai membaca koran-koran seperti SinarHindia, Suara Rakyat hingga deExpress yangmembawanya berkenalan dengan Sosialisme ilmiah. Ia juga kemudianmendaftar sebagai anggota Sarekat Islam di Salatiga yang berubahmenjadi Sarekat Islam Merah. Di SI Merah inilah Aliarcham secarapribadi berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan kiri kala ituseperti Semaun atau Sneevliet. Iajuga dengan cermat mengikuti semua peristiwa seperti RevolusiSosialis Oktober Besar tahun 1917 di Rusia, pemberontakan tani diGarut, pemberontakan Kelambit di Jambi, pemberontakan Sarekat Abangdi Palembang hingga pemberontakan tani di Pontianak dan Ternate. Benangmerah yang dipahami Aliarcham pada semua pemberontakan itu cuma satu,penindasan! Belajardari bacaan, ia mulai mendebat gurunya dan mulai mendidik kawan-kawandekatnya agar memusuhi sikap merendahkan diri atau membungkuk padaatasan atau orang Belanda. Tak hanya mendidik, Aliarchammenunjukkannya langsung dalam sikap sehari-hari. Belakangansikapnya itu memicu reaksi balasan para guru yang jelas-jelas propemerintah. Ia tak dizinkan ikut ujian akhir sebelum meninggalkanpropaganda politiknya. Menganggap ancaman hanya angin lalu, Aliarchamcuek dan akibatnya ia kembali dipanggil untuk dinasihati kepalasekolahnya. Meskisepanjang sesi nasihat itu tetap bungkam, kegeraman Aliarcham baruditunjukkan ketika keluar ruang kepala sekolah. Pintu ruang kepalasekolah dibantingnya keras-keras, jedeer! Merasadisepelekan sang kepala sekolah itu benar-benar muntab, Aliarchamdipanggilnya kembali dan berkata sejak hari itu ia resmi dikeluarkandari sekolah. Aliarchamyang cuek dengan dingin hanya berkata, “tuan takkan dapat mematikansemangat perjuangan saja. Saya akan ber
Fw: [GELORA45] Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin
- Pesan yang Diteruskan - Dari: 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45] Kepada: GELORA_In Terkirim: Kamis, 15 Februari 2018 01.41.32 GMT+1Judul: Fw: [GELORA45] Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin From: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] Sent: Thursday, February 15, 2018 1:11 AM http://koransulindo.com/aliarcham-tokoh-pki-yang-belajar-dari-samin/ Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin Meski menjalani periode pergerakan yang sangat singkat, Aliarcham sempat menjadi musuh utama pemerintah kolonial sekaligus masuk daftar orang-orang yang harus segera disingkirkan. 5 hari lalu Koran Sulindo – Batuk yang semula dianggapnya hanya biasa bertambah hari ternyata kondisinya makin parah. Wajah makin pucat sementara matanya juga makin cekung. Bujukan teman-temannya agar mau berobat dianggap angin lalu. Ia bahkan punya keyakinan, alih-alih mengobatinya pemerintah pasti bakal membunuhnya. Belakangan ketika akhirnya mau berobat ke Tanah Merah, hal itu dilakukannya semata untuk membuat kawan-kawannya senang. Nyatanya, toh tak lama kemudian ia kembali lagi. “Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini,” jawabnya ketika dituntut penjelasan seperti ditulis Aliarcham, Sedikit tentang riwayat dan perjuangannya. Ya, Aliarcham memang kepala batu meski ia tahu tanpa pengobatan memadahi penyakit paru-paru cuma memastikan satu hal. Kematian!. Ketika keadaannya makin payah, pada tanggal 1 Juli 1933 kawan-kawan sepembuangan memaksanya melanjutkan pengobatan ke Tanah Merah. Ia bahkan harus dipapah untuk naik kapal yang digunakan untuk menghilir mengikuti Sungai Digul.. Di tengah deru motor kapal dan disaksikan teman-temannya itulah akhirnya Aliarcham menutup mata untuk selamanya. Ia masih sangat muda, baru 32 tahun. Tanah Merah tempatnya mencari pengobatan akhirnya justru menjadi kuburnya. Mengenang keteguhan hatinya selama itu, kawan-kawan Aliarcham menulis sebuah sajak Henriette Roland Holst di nisannya yang sederhana. Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut Lahir 1901 dari keluarga penghulu dan tokoh agama di Asemlegi, Juwana, Pati, Aliarcham sempat menikmati pendidikan pesantren. Tujuannya jelas, kelak ia mesti mengikuti jejak sang ayah. Namun, dari guru-guru agama itulah Aliarcham justru berkenalan dengan paham Samin yang mengajarkan persamaan, persaudaraan manusia dan gotong-royong tanpa penindasan yang dianggapnya sebagai sosialisme model Jawa. Ketika Samin Surosentiko ditangkap Belanda dan dibuang ke Sawahlunto hingga akhirnya meninggal tahun 1914, di benak Aliarcham kecil tertanam kuat kebencian dan perlawanan terhadap penjajah Belanda yang tamak. Selain pendidikan tradisional, karena orang tuanya lahir dari keluarga terkemuka Aliarcham juga dibolehkan bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS). Di sekolah itu, ia segera tampil sebagai salah satu murid yang paling cerdas dan rajin. Ketika para penerus gerakan Samin melanjutkan ‘perlawanan sipil’ yang berpuncak di tahun 1917, Aliarcham sudah duduk di sekolah calon guru bumiputera atau Kweekschool voor Inlands Onderwijs di Ungaran. Di sekolah guru Aliarcham mulai membaca koran-koran seperti Sinar Hindia, Suara Rakyat hingga de Express yang membawanya berkenalan dengan Sosialisme ilmiah. Ia juga kemudian mendaftar sebagai anggota Sarekat Islam di Salatiga yang berubah menjadi Sarekat Islam Merah. Di SI Merah inilah Aliarcham secara pribadi berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan kiri kala itu seperti Semaun atau Sneevliet. Ia juga dengan cermat mengikuti semua peristiwa seperti Revolusi Sosialis Oktober Besar tahun 1917 di Rusia, pemberontakan tani di Garut, pemberontakan Kelambit di Jambi, pemberontakan Sarekat Abang di Palembang hingga pemberontakan tani di Pontianak dan Ternate. Benang merah yang dipahami Aliarcham pada semua pemberontakan itu cuma satu, penindasan! Belajar dari bacaan, ia mulai mendebat gurunya dan mulai mendidik kawan-kawan dekatnya agar memusuhi sikap merendahkan diri atau membungkuk pada atasan atau orang Belanda. Tak hanya mendidik, Aliarcham menunjukkannya langsung dalam sikap sehari-hari. Belakangan sikapnya itu memicu reaksi balasan para guru yang jelas-jelas pro pemerintah. Ia tak dizinkan ikut ujian akhir sebelum meninggalkan propaganda politiknya. Menganggap ancaman hanya angin lalu, Aliarcham cuek dan akibatnya ia kembali dipanggil untuk dinasihati kepala sekolahnya. Meski sepanjang sesi nasihat itu tetap bungkam, kegeraman Aliarcham baru ditunjukkan ketika keluar ruang kepala sekolah. Pintu ruang kepala sekolah dibantingnya keras-keras, jedeer! Merasa disepelekan sang kepala sekolah itu benar-benar muntab,
Fw: [GELORA45] Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin
From: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] Sent: Thursday, February 15, 2018 1:11 AM http://koransulindo.com/aliarcham-tokoh-pki-yang-belajar-dari-samin/ Aliarcham, Tokoh PKI yang Belajar dari Samin Meski menjalani periode pergerakan yang sangat singkat, Aliarcham sempat menjadi musuh utama pemerintah kolonial sekaligus masuk daftar orang-orang yang harus segera disingkirkan. 5 hari lalu Koran Sulindo – Batuk yang semula dianggapnya hanya biasa bertambah hari ternyata kondisinya makin parah. Wajah makin pucat sementara matanya juga makin cekung. Bujukan teman-temannya agar mau berobat dianggap angin lalu. Ia bahkan punya keyakinan, alih-alih mengobatinya pemerintah pasti bakal membunuhnya. Belakangan ketika akhirnya mau berobat ke Tanah Merah, hal itu dilakukannya semata untuk membuat kawan-kawannya senang. Nyatanya, toh tak lama kemudian ia kembali lagi. “Saya sangat merindukan kawan-kawan. Kalau saya mati biarlah kematian saya di hadapan kawan-kawan di sini yang sangat dibenci oleh Belanda ini,” jawabnya ketika dituntut penjelasan seperti ditulis Aliarcham, Sedikit tentang riwayat dan perjuangannya. Ya, Aliarcham memang kepala batu meski ia tahu tanpa pengobatan memadahi penyakit paru-paru cuma memastikan satu hal. Kematian!. Ketika keadaannya makin payah, pada tanggal 1 Juli 1933 kawan-kawan sepembuangan memaksanya melanjutkan pengobatan ke Tanah Merah. Ia bahkan harus dipapah untuk naik kapal yang digunakan untuk menghilir mengikuti Sungai Digul.. Di tengah deru motor kapal dan disaksikan teman-temannya itulah akhirnya Aliarcham menutup mata untuk selamanya. Ia masih sangat muda, baru 32 tahun. Tanah Merah tempatnya mencari pengobatan akhirnya justru menjadi kuburnya. Mengenang keteguhan hatinya selama itu, kawan-kawan Aliarcham menulis sebuah sajak Henriette Roland Holst di nisannya yang sederhana. Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/Hari ini tumbuh dari masamu/Tangan kami yang neneruskan/Kerja agung jauh hidupmu/Kami tancapkan kata mulia/Hidup penuh harapan/Suluh dinyalakan dalam malammu/Kami yang meneruskan sebagai pelanjut Lahir 1901 dari keluarga penghulu dan tokoh agama di Asemlegi, Juwana, Pati, Aliarcham sempat menikmati pendidikan pesantren. Tujuannya jelas, kelak ia mesti mengikuti jejak sang ayah. Namun, dari guru-guru agama itulah Aliarcham justru berkenalan dengan paham Samin yang mengajarkan persamaan, persaudaraan manusia dan gotong-royong tanpa penindasan yang dianggapnya sebagai sosialisme model Jawa. Ketika Samin Surosentiko ditangkap Belanda dan dibuang ke Sawahlunto hingga akhirnya meninggal tahun 1914, di benak Aliarcham kecil tertanam kuat kebencian dan perlawanan terhadap penjajah Belanda yang tamak. Selain pendidikan tradisional, karena orang tuanya lahir dari keluarga terkemuka Aliarcham juga dibolehkan bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS). Di sekolah itu, ia segera tampil sebagai salah satu murid yang paling cerdas dan rajin. Ketika para penerus gerakan Samin melanjutkan ‘perlawanan sipil’ yang berpuncak di tahun 1917, Aliarcham sudah duduk di sekolah calon guru bumiputera atau Kweekschool voor Inlands Onderwijs di Ungaran. Di sekolah guru Aliarcham mulai membaca koran-koran seperti Sinar Hindia, Suara Rakyat hingga de Express yang membawanya berkenalan dengan Sosialisme ilmiah. Ia juga kemudian mendaftar sebagai anggota Sarekat Islam di Salatiga yang berubah menjadi Sarekat Islam Merah. Di SI Merah inilah Aliarcham secara pribadi berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan kiri kala itu seperti Semaun atau Sneevliet. Ia juga dengan cermat mengikuti semua peristiwa seperti Revolusi Sosialis Oktober Besar tahun 1917 di Rusia, pemberontakan tani di Garut, pemberontakan Kelambit di Jambi, pemberontakan Sarekat Abang di Palembang hingga pemberontakan tani di Pontianak dan Ternate. Benang merah yang dipahami Aliarcham pada semua pemberontakan itu cuma satu, penindasan! Belajar dari bacaan, ia mulai mendebat gurunya dan mulai mendidik kawan-kawan dekatnya agar memusuhi sikap merendahkan diri atau membungkuk pada atasan atau orang Belanda. Tak hanya mendidik, Aliarcham menunjukkannya langsung dalam sikap sehari-hari. Belakangan sikapnya itu memicu reaksi balasan para guru yang jelas-jelas pro pemerintah. Ia tak dizinkan ikut ujian akhir sebelum meninggalkan propaganda politiknya. Menganggap ancaman hanya angin lalu, Aliarcham cuek dan akibatnya ia kembali dipanggil untuk dinasihati kepala sekolahnya. Meski sepanjang sesi nasihat itu tetap bungkam, kegeraman Aliarcham baru ditunjukkan ketika keluar ruang kepala sekolah. Pintu ruang kepala sekolah dibantingnya keras-keras, jedeer! Merasa disepelekan sang kepala sekolah itu benar-benar muntab, Aliarcham dipanggilnya kembali dan berkata sejak hari itu ia resmi dikeluarkan dari sekolah. Aliarcham yang cuek dengan dingin hanya berkata, “tuan takkan dapat mematikan semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawan penjajahan Belanda.” Dipeca