Re: [iagi-net-l] Uneg-uneg..LUSI

2010-03-14 Terurut Topik MINARWAN
Saat sedang memikirkan rel kereta api yang bengkok (salah satu bukti
reaktivasi Sesar Watukosek), secara iseng-iseng, saya mencari berita
mengenai kejadian ini dan mendapatkan tautan berikut:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0609/28/nas01.htm

Foto yang terpampang di situs di atas menurut hemat saya adalah foto
yang hampir sama dengan foto yang dipasang di Mazzini et al (2007) -
EPSL 261, 375-388. Saya lihat tanggalnya, tanggal 27. Gempa Jogja yang
konon telah mereaktivasi sesar Watukosek juga terjadi pada tanggal
yang sama. Tapi lho, beritanya itu dimuat pada bulan September,
sedangkan gempanya kan bulan Mei?

Jadi, ada selang waktu 4 bulan, di mana tidak ada yang sadar bahwa rel
kereta itu telah bengkok, tidak ada laporan gangguan dan kereta api
jurusan Surabaya-Malang-Blitar lewat seperti biasa setiap hari mungkin
beberapa kali, sampai akhirnya lengkungan rel menjadi parah karena
pergerakan tanah yang membuat rel bengkok. Bagaimana ini Pak Masinis
selama 4 bulan kok tidak melihat posisi relnya sudah berubah?

Berlanjut ke komposisi magma Merapi dan Semeru, yang membuat kedua
gunung api ini merespon gempa Jogja secara bersamaan walaupun jaraknya
berbeda dari pusat gempa, saya sudah memberikan 3 referensi, di mana
mereka menggunakan XRF untuk menganalisis kandungan SiO2, yang
menyimpulkan Semeru dan Merapi adalah sama-sama gunung api andesit
basaltik. Komentar saya mengenai topik ini saya rasa sudah cukup,
selebihnya saya serahkan kepada para volcanologist yang lebih tahu
daripada saya untuk berkomentar.

Sampai sejauh ini, saat kita mendiskusikan kaitan gempa dan aktivitas
gunung api, kita selalu tidak mengikutsertakan faktor tambahan magma
baru ke dapur magma (Sparks et al, 1977 di dalam Manga dan Brodsky,
2006). Padahal, Merapi dan Semeru telah aktif sebelum gempa Jogja
terjadi, dengan kata lain, tekanan di dapur magma sudah meningkat
sehingga ada yang harus dikeluarkan lewat lubang kepundan. Dengan
menggunakan analogi proses yang sama antara gunung api dan gunung
lumpur (walaupun yang satu adalah magma sedangkan yang lain adalah
lumpur), kita bisa mempertanyakan, ada tambahan tekanan apa dan dari
mana di sekitar sumur BPJ/BJP-1 yang membuat LULA/LUSI meledak? Hanya
passing seismic wave sajakah?

Mori dan Kano (2009) menunjukkan bahwa passing seismic wave dari gempa
Jogja yang sampai ke Sidoarjo paling-paling cuma sekitar 7 kPa, lebih
kecil daripada critical threshold 10 kPA yang digunakan oleh Walter et
al (2007) - mengikuti Stein (1999) - untuk menunjukkan transient
pressure minimum yang dapat mentrigger letusan gunung berapi. Semua
fakta mengenai naik turunnya muka air tanah, rekaman passing seismic
wave di Ujung Pangkah dan seterusnya adalah fakta yang baik. Bahwa
kondisi fluida lokal di Sidoarjo terpengaruh oleh passing seismic wave
menurut Mori dan Kano (2009) adalah fakta yang sahih. Yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana goncangan gempa ini sampai membuat ledakan
yang begitu hebat?

Mari kita analogikan dengan menggoyang air dalam panci yang sedang
mendidih di atas kompor. Dalam kondisi tidak ada tambahan panas dari
kompor, goyangan yang pelan tentu tidak akan membuat air menggelegak
dan tumpah, tapi jika kemudian panas dari kompor kita tambahkan secara
signifikan, gelembung air yang mendidih menjadi lebih besar, air
panasnya akan tumpah dari panci.

Jika memang ada faktor kondisi kritis yang bermain, sebenarnya apa
sebenarnya faktor kondisi kritis ini? Untuk kasus Merapi dan Semeru,
mungkin faktor kondisi kritisnya sudah jelas, mereka sedang aktif pada
saat gempa terjadi, kemudian setelah gempa aktivitasnya meningkat
(walaupun responnya masih terlihat aneh padahal jaraknya berbeda dari
pusat gempa, biarlah kita lupakan saja). Saya bisa mengajukan faktor
kondisi kritis ini berupa tambahan magma baru yang menekan dapur magma
kedua gunung api itu. Tapi untuk LULA/LUSI? Apakah mereka?

Saya sudah membaca makalah tentang 4 tahapan pembentukan gunung lumpur
yang dipublikasikan di IPA 2008 (Satyana dan Asnidar, 2008). Awalnya,
saya berharap dapat menjawab pertanyaan yang saya ajukan di atas
(tentang observasi untuk mengenali sebuah gunung lumpur siap
meledak/berada dalam kondisi kritis) setelah membaca makalah Pak
Awang. Namun rasanya saya tidak menemukan jawaban itu (mohon Pak Awang
berkenan menunjukkan kepada saya pembahasan mengenai topik ini di
makalah tersebut, siapa tahu saya membaca terlalu cepat dan justru
melewatkan bagian ini). Atau mungkin pembahasan ini ada di makalah Pak
Awang di PIT IAGI 2007 yah (saya tidak punya akses ke prosiding PIT
IAGI, ada yang berkenan membantu?).

Kembali ke Satyana dan Asnidar (2008) yang mengutip Waluyo (2007),
saya lihat tidak ada perbedaan antara Stage 2 dan Stage 3 evolusi mud
diapir menjadi mud volcano, selain di Stage 3, erupsi telah terjadi
(erupting mud volcano phase). Kalau saya tidak salah menangkap tulisan
Pak Awang, justru yang ingin kita observasi adalah sesaat sebelum
syn-eruption, apa tanda mud diapir yang siap meledak dan menjadi mud

Re: [iagi-net-l] Uneg-uneg..LUSI

2010-03-14 Terurut Topik Awang Satyana
Minarwan : 
1.   Bengkoknya rel KA tersebut pernah kita diskusikan di milis ini hampir 
empat tahun lalu pada tahun kejadian LUSI (2006). Saat itu ada dua pendapat 
bahwa pembengkokan itu disebabkan reaktivasi Sesar Watukosek atau collapse 
struktur tanah (amblesan) di sekitar Lusi. Untuk ini harus ada uji kronologi 
kapan foto dibuat dan kapan berita diturunkan. Bisa saja ada kemungkinan bahwa 
berita terlambat diturunkan di koran, meskipun kejadiannya sudah lama.  Satu 
kemungkinan yang lain lagi adalah bisa saja rel KA tersebut baru terbengkokan 
pada September 2006 oleh reaktivasi kemudian Sesar Watukosek. Apa yang dimaksud 
dengan reaktivasi kemudian adalah sesar ini beberapa kali direaktivasi. Apa 
dasar dugaan ini, yaitu flow rate semburan Lusi mengalami pulsasi mengikuti 
regional earthquakes dengan epicentrums yang terjadi dalam radius 300 km dari 
Lusi. Untuk mengeceknya, silakan plot semua episentrum gempa M 3.7 dari 
tangga; 27 Mei 2006-21 Nov 2006 dan
 kontraskan dengan flow rate Lusi dalam m3/hari, maka akan terjadi linearity di 
antara mereka. Besar flow rate Lusi mengikuti earthquakes swarm yang terjadi di 
sekeliling Jawa Timur dengan episentrum dalam jarak 300 km dari titik lokasi 
Lusi. Flow rate yang pusating itu juga mencerminkan dynamic fluid stress change 
di bawahnya yang lalu terhubung ke reaktivasi Sesar Watukosek; jadi 
pembengkokan rel KA itu tak mesti terjadi pada 27 Mei 2006 atau September, bisa 
saja di antara Mei dan September; sebab sesar yang sudah sekali tereaktivasi 
pada awalnya dan mengalami dynamic fluid stress change dengan manifestasi 
semburan fluida Lusi, akan mudah tereaktivasi lagi. Sekarang pun arah amblesan 
Lusi membuat bentuk lonjong dengan arah sumbu panjang BD-TL, mengindikasikan 
bahwa Sesar Watukosek di bawahnya masih rentan tereaktivasi oleh perubahan 
fluida yang melaluinya. Fluida ini mempunyai tekanan yang bisa menggerakkan 
bidang yang lemah seperti sesar.
2.   Bagaimana kita mengetahui bahwa saat itu sudah ada penambahan magma di 
Semeru ? Kalau di Merapi  ya, sebab gempa-gempa volkanik pada badan gunungapi 
telah dirasakan sebelum gempa Yogya yang mengindikasi bahwa terjadi penambahan 
tekanan dari dapur magmanya. Referensi Sparks et al. (1977) saya pikir tak 
valid dalam kasus ini, terlalu lama untuk kasus reaktivasi Semeru, apakah 
publikasi tahun 1977 bisa menafsirkan pengisian magma Semeru pada 2006 ? 
Komposisi magma Merapi dan Semeru yang saya kutip dari Kusumadinata (1979) 
menunjukkan magma Semeru relatif sedikit lebih basa dibandingkan Merapi. 
Komposisi ini, harus diingat, berdasarkan pengukuran continous selama 30 tahun, 
juga berdasarkan pemetaan geologi permukaan di lereng dan kaki Semeru yang juga 
menemukan komposisi lebih basa.
3.   Mori dan Kano (2009) telah menghitung (berdasarkan data analogi dengan 
gempa di Jepang, lihat lebih detail di bawah)  bahwa dynamic stress change di 
Lusi 0.005-0.010 MPa, dan itu sudah di atas threshold yang ditetapkan Fisher 
(2008) sebesar 0.001 MPa, mengapa kita menggunakan threshold dari  Walter et al 
(2007) dan Stein (1999), threshold tersebut untuk magmatic volcano eruption; 
sedangkan yang dari Fisher (2008) khusus untuk mud volcano eruption. Lagipula, 
menurut hemat saya hitungan dari Mori dan Kano (2009) itu lebih kecil dari yang 
sebenarnya karena tak memasukkan kesamaan focal mechanism gempa dan 
directivity-nya. Yang namanya pemicu tak perlu besar dari awal sebab efeknya 
bisa seperti snowball effect.
4.   Paper saya baik di IAGI (2007) maupun di IPA (Satyana and Asnidar, 
2008) tak membahas secara spesifik kondisi kritis Lusi sebagai elisional 
critical venting system sebab paper di IAGI menggunakan pendekatan sejarah yang 
menunjukkan bahwa kasus seperti Lusi dulu pun pernah terjadi saat periode 
Jenggala-Majapahit di situ. Paper di IPA menunjukkan semua diapir dan mud 
volcano di Jawa, jadi tak khusus ke Lusi. Critical atau tidaknya sebuah calon 
mud volcano, tentu akan butuh penelitian yang seksama. Saya saat ini tengah 
mengevaluasi untuk memodifikasi stages diapir/mud volcano dari empat menjadi 
lima (lihat penjelasan tambahan di bawah). Dengan kasus Lusi ini, justru kita 
belajar –mencari semua bentuk diapir di bawah permukaan, memetakan semua sesar 
yang di dekatnya atau melaluinya, dan mengevaluasi critical point-nya. Critical 
condition yang Minarwan daftarkan itu adalah ideal, tetapi apa kita bisa 
mengukurnya ? Bukan sesuatu yang gampang
 sebab memerlukan suatu high resolution seismic data, pengukuran tiltmeter dan 
GPS di atas tanah tempat diapir terkubur, gas detector untuk menangkap methan, 
dsb. Untuk info saja, kualitas data seismik di Kendeng Deep tak terlalu baik 
sebab di atasnya banyak volcanic cover dan thrust sheets Kendeng yang sangat 
tebal.
5.   Telah terjadi reaktivasi Watukosek Fault harus dicurigai dari : lima 
lokasi semburan awal sebelum Lusi yang membentuk liniasi BD-TL, turunnya muka 
air sumur2 penduduk di Kampung2 Pulungan, 

Re: [iagi-net-l] Uneg-uneg..LUSI

2010-03-14 Terurut Topik Sunu Praptono
Bro Awang,

Uneg-uneg mengenai Lusi tidak hanya berkutat di penyebab lusi dan siapa yang
tanggungjawab. Tapi juga masa depan eksplorasi migas di area Jawa Timur

Seperti Anda tahu, sekarang mungkin Exxon Gunting lagi spend duit sekian
juta dollar untuk seismik dan akan disusul pemboran sumur komitmen. PSC lain
juga rame-rame masuk mengeksplorasi wilayah ini.

Dari uraian Anda, nampaknya eksposure ke risiko drilling dikarenakan geologi
yang tectonically aktif bisa dibilang nambah satu faktor lagi. Selain kita
harus hati-hati dengan watak litologi dan fluida setempat, nampaknya kita
harus berhadapan dengan kemungkinan pergerakan tektonik saat kita ngebor,
yang mana barangkali kita hanya bisa pasrah saja. Bayangkan: lagi enak-enak
ngebor atau testing atau POOH, tau-tau batuan di sepanjang kolom lubang bor
bergerak akibat tektonik, yang menyebabkan macam-macam kemungkinan: mulai
dari loss, blowout, atau pipa kejepit.

1. Bagaimana dengan arahan dari BPMIGAS sendiri untuk masa depan eksplorasi
di daerah semacam Lusi ?
2. Samakah prosedur pemasangan casing dengan sumur-sumur di daerah normal
? Soalnya ada yang mengatakan bahwa di area seperti itu, pemasangan casing
justru akan memperparah situasi bila terjadi shear failure, dibanding dengan
tanpa casing.
3. Apa masih tetap akan ditawar-tawarkan ke peminat blok ?
4. Adakah kemungkinan diterapkannya kompensasi regional bagi kegiatan
eksplorasi di wilayah sejenis Lusi?


Salam,


Sunu.



2010/3/15 Awang Satyana awangsaty...@yahoo.com

 Minarwan :
 1.   Bengkoknya rel KA tersebut pernah kita diskusikan di milis ini
 hampir empat tahun lalu pada tahun kejadian LUSI (2006). Saat itu ada dua
 pendapat bahwa pembengkokan itu disebabkan reaktivasi Sesar Watukosek atau
 collapse struktur tanah (amblesan) di sekitar Lusi. Untuk ini harus ada uji
 kronologi kapan foto dibuat dan kapan berita diturunkan. Bisa saja ada
 kemungkinan bahwa berita terlambat diturunkan di koran, meskipun kejadiannya
 sudah lama.  Satu kemungkinan yang lain lagi adalah bisa saja rel KA
 tersebut baru terbengkokan pada September 2006 oleh reaktivasi kemudian
 Sesar Watukosek. Apa yang dimaksud dengan reaktivasi kemudian adalah sesar
 ini beberapa kali direaktivasi. Apa dasar dugaan ini, yaitu flow rate
 semburan Lusi mengalami pulsasi mengikuti regional earthquakes dengan
 epicentrums yang terjadi dalam radius 300 km dari Lusi. Untuk mengeceknya,
 silakan plot semua episentrum gempa M 3.7 dari tangga; 27 Mei 2006-21 Nov
 2006 dan
  kontraskan dengan flow rate Lusi dalam m3/hari, maka akan terjadi
 linearity di antara mereka. Besar flow rate Lusi mengikuti earthquakes swarm
 yang terjadi di sekeliling Jawa Timur dengan episentrum dalam jarak 300 km
 dari titik lokasi Lusi. Flow rate yang pusating itu juga mencerminkan
 dynamic fluid stress change di bawahnya yang lalu terhubung ke reaktivasi
 Sesar Watukosek; jadi pembengkokan rel KA itu tak mesti terjadi pada 27 Mei
 2006 atau September, bisa saja di antara Mei dan September; sebab sesar yang
 sudah sekali tereaktivasi pada awalnya dan mengalami dynamic fluid stress
 change dengan manifestasi semburan fluida Lusi, akan mudah tereaktivasi
 lagi. Sekarang pun arah amblesan Lusi membuat bentuk lonjong dengan arah
 sumbu panjang BD-TL, mengindikasikan bahwa Sesar Watukosek di bawahnya masih
 rentan tereaktivasi oleh perubahan fluida yang melaluinya. Fluida ini
 mempunyai tekanan yang bisa menggerakkan bidang yang lemah seperti sesar.
 2.   Bagaimana kita mengetahui bahwa saat itu sudah ada penambahan
 magma di Semeru ? Kalau di Merapi  ya, sebab gempa-gempa volkanik pada badan
 gunungapi telah dirasakan sebelum gempa Yogya yang mengindikasi bahwa
 terjadi penambahan tekanan dari dapur magmanya. Referensi Sparks et al.
 (1977) saya pikir tak valid dalam kasus ini, terlalu lama untuk kasus
 reaktivasi Semeru, apakah publikasi tahun 1977 bisa menafsirkan pengisian
 magma Semeru pada 2006 ? Komposisi magma Merapi dan Semeru yang saya kutip
 dari Kusumadinata (1979) menunjukkan magma Semeru relatif sedikit lebih basa
 dibandingkan Merapi. Komposisi ini, harus diingat, berdasarkan pengukuran
 continous selama 30 tahun, juga berdasarkan pemetaan geologi permukaan di
 lereng dan kaki Semeru yang juga menemukan komposisi lebih basa.
 3.   Mori dan Kano (2009) telah menghitung (berdasarkan data analogi
 dengan gempa di Jepang, lihat lebih detail di bawah)  bahwa dynamic stress
 change di Lusi 0.005-0.010 MPa, dan itu sudah di atas threshold yang
 ditetapkan Fisher (2008) sebesar 0.001 MPa, mengapa kita menggunakan
 threshold dari  Walter et al (2007) dan Stein (1999), threshold tersebut
 untuk magmatic volcano eruption; sedangkan yang dari Fisher (2008) khusus
 untuk mud volcano eruption. Lagipula, menurut hemat saya hitungan dari Mori
 dan Kano (2009) itu lebih kecil dari yang sebenarnya karena tak memasukkan
 kesamaan focal mechanism gempa dan directivity-nya. Yang namanya pemicu tak
 perlu besar dari awal sebab efeknya bisa seperti snowball