Re: [RantauNet] Sumando Djatun Pusiang

2002-02-11 Terurut Topik J.Dachtar

 Dorodjatun adalah salah satu benteng moral pemerintahan Mega. Sekadar 
 bacaan, artikel pertama dari total dua di edisi yg sama, Minggu.
 ##
 
Puja puji saroman iko (bagian dari bakaik urang awak) labih elok 
disimpan dulu sampai baliau almarhum. Dulu urang nan ma-maki2 
Djatun bagian dari antek mafia Barkeley banyak pulo nan ma-muji2 
pejuang kebenaran, jadi awak2 nan awam tambah biguang deknyo.

JD

RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar-- subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===



[RantauNet] Sumando Djatun Pusiang

2002-02-09 Terurut Topik Ajoduta17
Dorodjatun adalah salah satu benteng moral pemerintahan Mega. Sekadar 
bacaan, artikel pertama dari total dua di edisi yg sama, Minggu.
##

Kesal Diplintir dan Dipolitisasi

Sejak enam bulan masuk tim ekonomi, Djatun -panggilan Prof Dr Dorodjatun 
Kuntjoro-Jakti-boleh jadi belum pernah segamblang saat ini. Menko 
perekonomian itu membeber unek-uneknya soal utang dalam negeri Indonesia. 
Dibandingkan dengan utang pada IMF dan Bank Dunia, yang paling gawat adalah 
utang dalam negeri Indonesia.

Dia juga mengungkap isu yang melibatkan para obligor raksasa maupun 
menengah. Diakuinya, isu itu sangat kompleks. Apalagi, sering dipolitisasi 
dan diplintir. Djatun mengaku sedang berpacu melawan waktu yang mepet, 
terutama dengan deadline berakhirnya tugas BPPN pada Desember 2003.

Hal itu terungkap saat Djatun ramah-tamah dengan masyarakat Indonesia di 
KBRI Washington, Senin malam lalu (Selasa siang WIB). Di depan sekitar 200 
orang, antara lain Atase Pertahanan RI di AS Brigjen Hendrawan Ostefan, 
Ketua IKI (Ikatan Keluarga Indonesia) Ambar Abbink, para diplomat Indonesia, 
mahasiswa, dan para tokoh masyarakat Indonesia di AS, Djatun bicara apa 
adanya. Sekitar 85 persen dari dua jam diskusi yang dipandu KUAI KBRI Thomas 
Aquino Samodra Sriwijaya, mantan Dubes RI di AS ini membeber persoalan 
utang.

"Sebenarnya masalah utang yang paling dahsyat itu bukan utang luar negeri. 
Nilai utang luar negeri itu sama dengan dalam negeri, yakni kurang lebih USD 
70-an miliar. Sekitar USD 70 miliar di luar, USD 70 miliar dari dalam," 
tuturnya.

Bedanya, utang dari luar itu berupa soft loan, sehingga jangka 
pengembaliannya lama. Bunga pinjaman Bank Dunia hanya 1-2 persen. Bunga 
pinjaman ODA (official development assistance) bahkan 0,3 persen. Pinjaman 
dari IMF juga dikenai bunga rendah, yakni hanya 3-4 persen.

"Tetapi, yang dari dalam negeri itu kan sama dengan bunga SBI (Sertifikat 
Bank Indonesia), yakni kurang lebih 17 persen. Coba bayangkan," katanya.

Djatun yang mantan dekan FE-UI ini mengajak hadirin berhitung. Dalam 
hitungan rupiah, utang USD 70 miliar itu sekitar Rp 655 triliun. Dengan 
bunga 17 persen, berarti pembayaran bunganya Rp 60 triliun setiap tahun.

"Itu sama dengan USD 6 miliar toh. Yang di luar paling banter hanya USD 2 
miliar, Anda bayar. Yang di luar selalu bisa saya jadwalkan kembali. Dan, 
ini kebanggaan Indonesia. Sejak dulu, tak pernah ngemplang. Indonesia 
terkenal di lembaga multilateral. Kita nggak pernah ngemplang, selalu bayar. 
Tapi, jika mepet, kita minta penjadwalan kembali, yaitu dari pokok 
(pembayaran pokok utang, Red), principal, dan dari bunga," jelasnya.

Yang parahnya adalah utang dalam negeri. Sebab, harus dibayar lewat budget 
(anggaran negara). "Itu diambil dari penghasilan negara, masuk sebagai 
pengeluaran, lalu dikasih ke bank-bank yang bangkrut itu. Supaya bank-nya 
enggak bangkrut, kita kasih obligasi. Lantas, kita kasih penghasilan pada 
bank, sehingga bank jalan. Jadi, itu sebetulnya kita subsidi bank-bank itu. 
Tapi kalau kita tenggelamkan bank itu, sekian juta nasabah bank kita ini 
nggak punya lembaga penjamin. Tidak ada deposit insurance, seperti yang 
semestinya," katanya.

Di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi kalau 
bank nya bangkrut maka pemerintah yang harus ganti. Kalau di AS, jaminannya 
dilakukan melalui asuransi, terbatas maksimal 100 ribu USD. Sedangkan untuk 
Indonesia, untuk jumlah berapa pun, tidak ada jaminan seperti itu.

"Di Indonesia tidak ada. Karena itu, kita terpaksa kasih blanket guarantee 
(jaminan menyeluruh, Red) saat krisis 1998. Nggak peduli sebabnya, pokoknya 
semua yang berurusan dengan bank, kita garansi. Jadi, enak saja, diganti. 
Jangan tanya saya kenapa itu diberikan. Itu kan 1998. Saya cuma mewarisi. 
Yang hebat, on budget dan off budget digaransi," ungkapnya.

Djatun mengaku saat ini ia berupaya bagaimana mengurangi beban dalam negeri. 
"Sebab, yang diberikan kepada orang miskin lewat dana kompensasi sosial kan 
hanya Rp 2,85 triliun. Sedangkan yang dipakai untuk rekapitalisasi Rp 60 
triliun. Coba, berapa juta orang miskin bisa saya tolong, kalau saya bisa 
kurangi. Tapi, untuk mengurangi, bond-nya itu harus saya redeem (bond 
redemption, penebusan obligasi, Red). Bond-nya itulah yang bisa ditarik 
kalau obligor besar, penghutang besar yang bikin berantakan negeri kita ini, 
memenuhi kewajibannya membayar utang-utang itu. Ini lupa dilakukan selama 4 
tahun. Itu! ,"ujarnya, dengan nada tinggi.

Djatun tidak berhenti sampai di situ. Soal obligor ini dicecarnya terus, 
dengan kalimat mengalir deras dan bahasa lugas. "Jadi, para obligor besar 
itu, baik top 21, top 50, dan top 100, kecil sekali pengembaliannya. Bahkan, 
39 bank yang dibekukan kewajibannya Rp 27 triliun. Tapi, cuma bayar Rp 1 
triliun sampai kini. Itu sudah empat tahun!" imbuhnya.

Djatun melihat saat ini masalah itu makin kompleks dan gawat. "Sudah mau 
habis, Desember 2003, kalau tidak diselesaikan, pas nanti itu BPPN nya habis