Re: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-24 Terurut Topik L.Meilany
Rafina, kau itu esmosian kali tampaknya.
Tengoklah tulisanku sekali lagi, dua kali pun tak mengapa.
Ku bilang 'penampilan pada umumnya'. 
Sampai2 ku beri referensi kartun Benny  Mice.
:-)

Ibaratnya ikhwan itu suka manjangin jenggot, celananya ngantung.
Jadi apakah tukang sate madura itu ikhwan?
Jadi apakah para rabi, pendeta nasrani, kristen ortodok yg suka manjangin 
jenggot pula itu ikhwan?

Merasa diri feminis, konservatif, modern bukan diri kita yg bikin, itu 
penilaian orang lain.
Diantaranya dari cara berpenampilan, cara ngomong, berperilaku, kemudian Benny 
 Mice bikin kartunnya
:-)

Salam, 
l.meilany


  - Original Message - 
  From: Rafina Harahap 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Saturday, June 21, 2008 4:10 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan 
Cegah KDRT


  Itu bukan feminis, eda. Itu orang-orang norak yang baru aja baca
  Second Sex-nya Beauvoir, keblinger. Kalo umur mereka masih kepala 2,
  wajarlah. Tapi kalo sudah usia kepala 4, h. :-)

  Sama saja kayak orang mendadak islam lalu bawaannya tunjuk sana-sini
  menghakimi orang, yang gak sama dgn dia berarti calon penghuni neraka.
  Lha dulu lo kecilnya ngapain aja? Emang gak ngaji ya? Kecilnya
  jahiliyyah? Seram amat masa kecilmu, baru kenal islam pas udah tuwak.

  Begitulah orang-orang yang mendadak feminis, mendadak islam,
  mendadak artis, mendadak dangdut, sarua kabeh.

  btw saya feminis 200%, ibu rumah tangga full time, dan akan menolak
  dengan keras jika ada yang mau mengubah tarombo batak :-)

  tarombo batak = silsilah batak yang isinya lelaki semua. Perempuan
  tidak masuk dalam silsilah bangsa batak :-)

  horas,
  rafina

  --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, L.Meilany [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
   Nimbrung selintas :
   Ciri perempuan feminis, [ yg aktivis perempuan diantaranya] adalah
  dalam berpenampilan :
   
   Pakai perhiasan etnik, batu2-an, kayu2, atau pake anting besar yg
  berjumbai-jumbai.
   Pakai selendang batik, tenun, dililitkan dipinggang, dikalungkan di
  leher, pake jins bluwek, 
   Kalo pake rok model semi kain, model lilit, blusnya juga kain etnik.
   Tas, sepatu bergaya etnik atau paling gak kayak indian, gipsy, atau
  pake sepatu teplek, jalit2, sandal kulit, sepatu kets.
   Kadang2 bawa tas/ransel/tas punggung yg besar didalamnya ada laptop,
  notebook atau melenggang paling bawa tas pinggang.
   Banyak yg suka merokok dengan PD dimana saja, bicaranya keras2.



   

[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-21 Terurut Topik Rafina Harahap
Itu bukan feminis, eda. Itu orang-orang norak yang baru aja baca
Second Sex-nya Beauvoir, keblinger. Kalo umur mereka masih kepala 2,
wajarlah. Tapi kalo sudah usia kepala 4, h. :-)

Sama saja kayak orang mendadak islam lalu bawaannya tunjuk sana-sini
menghakimi orang, yang gak sama dgn dia berarti calon penghuni neraka.
Lha dulu lo kecilnya ngapain aja? Emang gak ngaji ya? Kecilnya
jahiliyyah? Seram amat masa kecilmu, baru kenal islam pas udah tuwak.

Begitulah orang-orang yang mendadak feminis, mendadak islam,
mendadak artis, mendadak dangdut, sarua kabeh.

btw saya feminis 200%, ibu rumah tangga full time, dan akan menolak
dengan keras jika ada yang mau mengubah tarombo batak :-)

tarombo batak = silsilah batak yang isinya lelaki semua. Perempuan
tidak masuk dalam silsilah bangsa batak :-)

horas,
rafina

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, L.Meilany [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Nimbrung selintas :
 Ciri perempuan feminis,  [ yg aktivis perempuan diantaranya] adalah
dalam berpenampilan :
 
 Pakai perhiasan etnik, batu2-an, kayu2, atau pake anting besar yg
berjumbai-jumbai.
 Pakai selendang batik, tenun, dililitkan dipinggang, dikalungkan di
leher, pake jins bluwek, 
 Kalo pake rok model semi kain, model lilit, blusnya juga kain etnik.
 Tas, sepatu bergaya etnik atau paling gak kayak indian, gipsy, atau
pake sepatu teplek, jalit2, sandal kulit, sepatu kets.
 Kadang2 bawa tas/ransel/tas punggung yg besar didalamnya ada laptop,
notebook atau melenggang paling bawa tas pinggang.
 Banyak yg suka merokok dengan PD dimana saja, bicaranya keras2.




Re: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-21 Terurut Topik Ari Condro

Batak beda sama yahudi yah ?

Kalau yahudi kan matrilineal.  Seseorang baru diangga benar benar yahudi kalau 
dilahirkan oleh seorang ibu yang yahudi.

Kalau minang matrilineal sepertinya nggak seketat itu yah ..




Sent from my BlackBerry� wireless device from XL GPRS network

-Original Message-
From: Rafina Harahap [EMAIL PROTECTED]

Date: Sat, 21 Jun 2008 09:10:37 
To: wanita-muslimah@yahoogroups.com
Subject: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan 
Cegah KDRT


Itu bukan feminis, eda. Itu orang-orang norak yang baru aja baca
Second Sex-nya Beauvoir, keblinger. Kalo umur mereka masih kepala 2,
wajarlah. Tapi kalo sudah usia kepala 4, h. :-)

Sama saja kayak orang mendadak islam lalu bawaannya tunjuk sana-sini
menghakimi orang, yang gak sama dgn dia berarti calon penghuni neraka.
Lha dulu lo kecilnya ngapain aja? Emang gak ngaji ya? Kecilnya
jahiliyyah? Seram amat masa kecilmu, baru kenal islam pas udah tuwak.

Begitulah orang-orang yang mendadak feminis, mendadak islam,
mendadak artis, mendadak dangdut, sarua kabeh.

btw saya feminis 200%, ibu rumah tangga full time, dan akan menolak
dengan keras jika ada yang mau mengubah tarombo batak :-)

tarombo batak = silsilah batak yang isinya lelaki semua. Perempuan
tidak masuk dalam silsilah bangsa batak :-)

horas,
rafina

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, L.Meilany [EMAIL PROTECTED] wrote:

 Nimbrung selintas :
 Ciri perempuan feminis,  [ yg aktivis perempuan diantaranya] adalah
dalam berpenampilan :
 
 Pakai perhiasan etnik, batu2-an, kayu2, atau pake anting besar yg
berjumbai-jumbai.
 Pakai selendang batik, tenun, dililitkan dipinggang, dikalungkan di
leher, pake jins bluwek, 
 Kalo pake rok model semi kain, model lilit, blusnya juga kain etnik.
 Tas, sepatu bergaya etnik atau paling gak kayak indian, gipsy, atau
pake sepatu teplek, jalit2, sandal kulit, sepatu kets.
 Kadang2 bawa tas/ransel/tas punggung yg besar didalamnya ada laptop,
notebook atau melenggang paling bawa tas pinggang.
 Banyak yg suka merokok dengan PD dimana saja, bicaranya keras2.





[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-20 Terurut Topik L.Meilany
Nimbrung selintas :
Ciri perempuan feminis,  [ yg aktivis perempuan diantaranya] adalah dalam 
berpenampilan :

Pakai perhiasan etnik, batu2-an, kayu2, atau pake anting besar yg 
berjumbai-jumbai.
Pakai selendang batik, tenun, dililitkan dipinggang, dikalungkan di leher, pake 
jins bluwek, 
Kalo pake rok model semi kain, model lilit, blusnya juga kain etnik.
Tas, sepatu bergaya etnik atau paling gak kayak indian, gipsy, atau pake sepatu 
teplek, jalit2, sandal kulit, sepatu kets.
Kadang2 bawa tas/ransel/tas punggung yg besar didalamnya ada laptop, notebook 
atau melenggang paling bawa tas pinggang.
Banyak yg suka merokok dengan PD dimana saja, bicaranya keras2.

Begitu juga yg berjilbab, biasanya jilbab dipakai a al gipsy, telinga kelihatan.
Jilbab gaullah, pake celana jins, tasnya kebanyakan selalu besar, isinya serba 
rupa untuk hidup dimana saja.

Kalo lagi ngumpul senang di tempat yg ada hotspot - wifi, sambil buka laptop, 
merokok, ngomongnya keras2.
Dan yg pasti temanya bukan keluarga, gosip infotaintment, mode, resep masakan, 
jual beli mobil, tempat gym yg asyik dll;
temanya 'berat' kadang2 bikin pengunjung sekitarnya clangap! 

:-))

Salam, 
l.meilany
[ data diambil sebagian dari buku kartun Beni  Mice]




  - Original Message - 
  From: h.s nurbayanti 
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
  Sent: Thursday, June 19, 2008 5:31 PM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi 
Perempuan Cegah KDRT


  Kalau yang mbak uraikan ini saya setuju banget.
  Tapi saya suka bertanya apa yang membuat seseorang itu feminis atau tidak?

  Ada diskusi yg menarik (buat saya) di milis sebelah. Ada yg melihat
  feminisme sbg sebuah agama baru.
  Tentu ini tidak benar, bila kita melihatnya dari kacamata semesta ilmu
  pengetahuan, bedanya feminisme dalam semesta ilmu pengetahuan dengan agama
  yg berakar ke metafisika atau apalah itu.. wilayahnya orang filsafat :P. Dan
  ini udah dijawab oleh feminis -akademik. Tapi saya memahami pendapat orang
  itu. Feminisme sbg agama disini lebih membicarakan soal hubungan si feminis
  dengan feminisme itu sendiri sebagai sebuah isme, atau lebih tepatnya a
  set of beliefs. Dalam konteks ini, feminisme sbg sebuah prinsip2, nilai2
  yang diyakini. Bukan sebagai sebuah agama dalam pengertian agama yg
  normal.

  Kalau kita bicara feminisme sbg sebuah agama atau a set of beliefs, tentu
  kita bicara soal tiga hal: iman, ilmu dan amal :-). Yang seringkali layaknya
  orang yg beragama ada gap antara iman, ilmu dan amal tadi :-) Seseorang
  bisa menjadi feminis karena buku2 yg dia baca atau karena lingkungan/tradisi
  atau karena keduanya. Semuanya sering bersinggungan dan berinteraksi. Ini yg
  menyebabkan turun-naiknya keimanan feminisme seseorang (hehehe.. ini saya
  lagi asbun saja, tapi gpp kan ya, sesekali bicara yg asbun-asbun hehehe).
  Maksudnya, kadang-kadang tradisi lebih kuat dari bacaan. Dalam hal ini,
  meskipun si feminis sudah melahap habis teori-teori feminis dan bahkan
  memperjuangkannya, mencoba mengamalkannya, kadang2 tanpa sadar dia
  ternyata masih terjebak dalam budaya/tradisi patriarki. Atau sebaliknya,
  bisa jadi orang yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup
  mengenai feminisme ternyata dia bisa jadi seorang feminis, karena tradisi...

  Dan seperti yang mbak katakan, laki2 (atau perempuan) ada yg sebenarnya juga
  ingin berubah. Jadi bisa saja misalnya, seseorang yang tadinya bukan
  feminis, bergerak ke arah seorang feminis.. meskipun misalnya dia seorang
  patriarki... but benevolent (hehehe)

  Hehehe.. gak tau ya, berdasarkan pengalaman saya sih begitu. Saya kadang2
  mengobservasi orang2 di lingkungan saya. Kadang2 saya mempertanyakan
  ke-feminis-an seseorang.. maksudnya, feminis tapi kok sikap dan tindak
  tanduknya tidak seperti feminis ya? Baik feminis perempuan maupun laki2. Di
  sisi lain, ada yang patriarchal (but benevolent) dan ketika dia berinteraksi
  dengan seorang feminis, tentunya pasti ada gesekan la.. tapi kemudian
  bisa menerima perubahan itu dan mampu mengubah relasi di antara keduanya.
  And voila... dia kok (tanpa sadar) jadi seorang feminis? weleh-weleh...
  bukan karena alasan dibrainwash dng isme-isme atau ideologi feminis, tapi
  simply karena alasan kepraktisan dan kemanfaatan, seperti yg mbak bilang.
  Bukan sesuatu yg sifatnya ideologis sama sekali. Cuma sekedar alasan
  kepraktisan dan kemanfaatan. Sementara sebaliknya, yang melihatnya sbg
  sebuah ideologi, a set of beliefs, kadang2 kesulitan mengaplikasikannya di
  tataran praktis.. ironis. Maksudnya, meski sudah menguasai ilmunya, memiliki
  ilmunya, tapi rupanya interaksi dan prosesnya belum kelar... tahap amal-nya.

  Memang benar pepatah yg bilang: don't judge a book by its cover. Karena
  manusia tidak statis seperti buku. Wong buku aja bisa dicetak ulang dng
  cover yg berbeda toh? hehehe... kita terus-menerus berproses dan
  berinteraksi dng apa yg kita yakini.

  2008/6/18 Mia [EMAIL PROTECTED

Re: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-19 Terurut Topik h.s nurbayanti
Kalau yang mbak uraikan ini saya setuju banget.
Tapi saya suka bertanya apa yang membuat seseorang itu feminis atau tidak?

Ada diskusi yg menarik (buat saya) di milis sebelah. Ada yg melihat
feminisme sbg sebuah agama baru.
Tentu ini tidak benar, bila kita melihatnya dari kacamata semesta ilmu
pengetahuan, bedanya feminisme dalam semesta ilmu pengetahuan dengan agama
yg berakar ke metafisika atau apalah itu.. wilayahnya orang filsafat :P. Dan
ini udah dijawab oleh feminis -akademik. Tapi saya memahami pendapat orang
itu. Feminisme sbg agama disini lebih membicarakan soal hubungan si feminis
dengan feminisme itu sendiri sebagai sebuah isme, atau lebih tepatnya a
set of beliefs. Dalam konteks ini, feminisme sbg sebuah prinsip2, nilai2
yang diyakini. Bukan sebagai sebuah agama dalam pengertian agama yg
normal.

Kalau kita bicara feminisme sbg sebuah agama atau a set of beliefs, tentu
kita bicara soal tiga hal: iman, ilmu dan amal :-). Yang seringkali layaknya
orang yg beragama ada gap antara iman, ilmu dan amal tadi :-) Seseorang
bisa menjadi feminis karena buku2 yg dia baca atau karena lingkungan/tradisi
atau karena keduanya. Semuanya sering bersinggungan dan berinteraksi. Ini yg
menyebabkan turun-naiknya keimanan feminisme seseorang (hehehe.. ini saya
lagi asbun saja, tapi gpp kan ya, sesekali bicara yg asbun-asbun hehehe).
Maksudnya, kadang-kadang tradisi lebih kuat dari bacaan. Dalam hal ini,
meskipun si feminis sudah melahap habis teori-teori feminis dan bahkan
memperjuangkannya, mencoba mengamalkannya, kadang2 tanpa sadar dia
ternyata masih terjebak dalam budaya/tradisi patriarki. Atau sebaliknya,
bisa jadi orang yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup
mengenai feminisme ternyata dia bisa jadi seorang feminis, karena tradisi...


Dan seperti yang mbak katakan, laki2 (atau perempuan) ada yg sebenarnya juga
ingin berubah. Jadi bisa saja misalnya, seseorang yang tadinya bukan
feminis, bergerak ke arah seorang feminis.. meskipun misalnya dia seorang
patriarki... but benevolent (hehehe)

Hehehe.. gak tau ya, berdasarkan pengalaman saya sih begitu. Saya kadang2
mengobservasi orang2 di lingkungan saya. Kadang2 saya mempertanyakan
ke-feminis-an seseorang.. maksudnya, feminis tapi kok sikap dan tindak
tanduknya tidak seperti feminis ya? Baik feminis perempuan maupun laki2. Di
sisi lain, ada yang patriarchal (but benevolent) dan ketika dia berinteraksi
dengan seorang feminis, tentunya pasti ada gesekan la.. tapi kemudian
bisa menerima perubahan itu dan mampu mengubah relasi di antara keduanya.
And voila... dia kok (tanpa sadar) jadi seorang feminis? weleh-weleh...
bukan karena alasan dibrainwash dng isme-isme atau ideologi feminis, tapi
simply karena alasan kepraktisan dan kemanfaatan, seperti yg mbak bilang.
Bukan sesuatu yg sifatnya ideologis sama sekali. Cuma sekedar alasan
kepraktisan dan kemanfaatan. Sementara sebaliknya, yang melihatnya sbg
sebuah ideologi, a set of beliefs, kadang2 kesulitan mengaplikasikannya di
tataran praktis.. ironis. Maksudnya, meski sudah menguasai ilmunya, memiliki
ilmunya, tapi rupanya interaksi dan prosesnya belum kelar... tahap amal-nya.

Memang benar pepatah yg bilang: don't judge a book by its cover. Karena
manusia tidak statis seperti buku. Wong buku aja bisa dicetak ulang dng
cover yg berbeda toh? hehehe... kita terus-menerus berproses dan
berinteraksi dng apa yg kita yakini.



2008/6/18 Mia [EMAIL PROTECTED]:

   Iya betul. Laki2 atau bahkan perempuan yang merasa terancam dengan
 kemandirian perempuan harus sadar ini persepsi yang keliru, karena
 kemandirian perempuan itu kan bermanfaat bagi masyarakat laki2 maupun
 perempuan. Tekankan manfaatnya.

 Sebaliknya perempuan yang berstandar ganda seperti yang dicontohkan
 mba Herni, itu juga nggak bermanfaat karena membatasi pilihan
 jodohnya sendiri. Pilihan jodoh itu nggak tergantung karir hebat ini
 itu, yang penting sekufu, yang penting bisa jadi soul mate.

 Saya cuma mengingatkan, bahwa patriarki itu menguasai nggak hanya
 laki2 tapi juga perempuan. Jadi sebagian laki2 ada yang feminis,
 ada yang nggak , sebagian perempuan ada yang feminis, ada yang nggak,
 ringkasnya gitu.

 salam
 Mia




[Non-text portions of this message have been removed]



[wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-18 Terurut Topik Mia
Iya betul. Laki2 atau bahkan perempuan yang merasa terancam dengan 
kemandirian perempuan harus sadar ini persepsi yang keliru, karena 
kemandirian perempuan itu kan bermanfaat bagi masyarakat laki2 maupun 
perempuan.  Tekankan manfaatnya.

Sebaliknya perempuan yang berstandar ganda seperti yang dicontohkan 
mba Herni, itu juga nggak bermanfaat karena membatasi pilihan 
jodohnya sendiri.  Pilihan jodoh itu nggak tergantung karir hebat ini 
itu, yang penting sekufu, yang penting bisa jadi soul mate.

Saya cuma mengingatkan, bahwa patriarki itu menguasai nggak hanya 
laki2 tapi juga perempuan.   Jadi sebagian laki2 ada yang feminis, 
ada yang nggak , sebagian perempuan ada yang feminis, ada yang nggak, 
ringkasnya gitu.

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, h.s nurbayanti 
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 Duh, biyung... pusing aku masih gak ngerti hehehe..
 Harus segera klarifikasi nh :-)
 
 Kalau laki2 ada yg masih terancam dng kemandirian perempuan, harus
 disadarkan ya?
 Kamu sebenarnya mengingikan perubahan ini juga lho... percaya 
deh..
 *ting-ting*
 Dan perempuan juga jangan menerapkan standar ganda ya?
 Di satu sisi, dia mandiri. Di sisi lain, masih terjebak pola 
subordinasi
 lama.
 Nyari laki2 yg bisa melebihi dia.
 Harus sadar bahwa kemandiriannya punya implikasi thd pola relasi yg 
berubah
 juga.
 Yg mandiri dalam pengertian cair?
 
 Karena ini bukan soal siapa yang paling punya derajat. Punya 
dominasi. Punya
 kuasa.
 Tapi sekedar pembagian tugas saja yg harusnya sifatnya cair?
 Kalau ada yg gaptek, baik laki2 atau perempuan, ya diajarin.
 Intinya adalah membuat yang timbang jadi seimbang lagi.
 Kalau salah satu timpang, kan gak bisa menang kalau ada lomba balap 
bakiak
 bareng :P.
 Intinya (dalam bahasa yg lebih mudah saya pahami hehehe):
 Asik-asik aja gitu kan?
 Saya dukung deh kalau yg asik-asik aja
 
 :-))
 
 
 
 2008/6/17 Mia [EMAIL PROTECTED]:
 
Mba Herni,
  Yang realitasnya adalah bahwa laki2 maupun perempuan sama-sama
  berubah dan mengalami perubahan. Yang seharusnya mungkin 
bervariasi
  di antara laki-laki dan perempuan tergantung persepsi kita. Dalam
  persepsi umum mungkin kita mengira bahwa laki2 nggak mau berubah
  dalam relasi laki2 dan perempuan, karena kondisi yang ada. Dan ada
  juga sebagian perempuan persepsinya menolak perubahan.
 
  Jangan salah, sebagian laki-laki menginginkan perubahan karena 
meliat
  manfaatnya, misalnya beban tugasnya jadi lebih ringan karena di-
  sharing dengan isterinya. Yang sulit bagi sebagian cowok mungkin
  keharusan dia kudu sharing pekerjaan rumah dan mengurus anak2 
juga.
  Ini kan namanya sikap ego mau menang sendiri, dan mesti 
dihilangkan.
 
  Betul mba Lina, yang normal adalah kalau masing2 nyaman dan 
menjalani
  hak/kewajiban masing2. Perubahan adalah proses normal, hikayat
  kehidupan.
 
  Di pedesaan terpencil di Indonesia, laki2 dan perempuan sama2
  mengemban nafkah hidup dan mengurus anak. Batas tugas masing2
  keliatan beda secara alamiah. Namun apabila mereka mengalami
  perubahan, misalnya ada teknologi baru di desa mereka yang 
menyentuh
  aspek ekonomi dan utilitas, lalu perempuan tertinggal karena
  teknologi baru ini, maka perubahan itu nggak memberikan manfaat
  maksimal bagi desa tersebut, karena sebagian masyarakat pelaku
  ekonomi ketinggalan.
 
  Di banyak perkotaan perubahan teknologi itu begitu bertubi2 cepat
  luar biasa, meninggalkan kebanyakan perempuan, sehingga kita 
berada
  dalam situasi kondisi 'nggak normal' seperti sekarang ini, dimana
  memang harus dikembalikan ke fitrahnya, seperti mba Lina bilang.
  Sebagian laki2 yang ketinggalan pun mengalami ketimpangan, bahkan
  jadi sangat berat karena mereka dituntut sebagai pencari nafkah
  tunggal.
 
  Perubahan ke arah 'normal' yang membuat kita nyaman dan 
menjalankan
  hak/kewajiban masing2 ini, bermanfaat bagi laki2 maupun perempuan.
  Perempuan mencapai kemandirian ekonominya, dan laki2 mengurangi
  bebannya sendiri.
 
  salam
  Mia




Re: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-17 Terurut Topik h.s nurbayanti
Duh, biyung... pusing aku masih gak ngerti hehehe..
Harus segera klarifikasi nh :-)

Kalau laki2 ada yg masih terancam dng kemandirian perempuan, harus
disadarkan ya?
Kamu sebenarnya mengingikan perubahan ini juga lho... percaya deh..
*ting-ting*
Dan perempuan juga jangan menerapkan standar ganda ya?
Di satu sisi, dia mandiri. Di sisi lain, masih terjebak pola subordinasi
lama.
Nyari laki2 yg bisa melebihi dia.
Harus sadar bahwa kemandiriannya punya implikasi thd pola relasi yg berubah
juga.
Yg mandiri dalam pengertian cair?

Karena ini bukan soal siapa yang paling punya derajat. Punya dominasi. Punya
kuasa.
Tapi sekedar pembagian tugas saja yg harusnya sifatnya cair?
Kalau ada yg gaptek, baik laki2 atau perempuan, ya diajarin.
Intinya adalah membuat yang timbang jadi seimbang lagi.
Kalau salah satu timpang, kan gak bisa menang kalau ada lomba balap bakiak
bareng :P.
Intinya (dalam bahasa yg lebih mudah saya pahami hehehe):
Asik-asik aja gitu kan?
Saya dukung deh kalau yg asik-asik aja

:-))



2008/6/17 Mia [EMAIL PROTECTED]:

   Mba Herni,
 Yang realitasnya adalah bahwa laki2 maupun perempuan sama-sama
 berubah dan mengalami perubahan. Yang seharusnya mungkin bervariasi
 di antara laki-laki dan perempuan tergantung persepsi kita. Dalam
 persepsi umum mungkin kita mengira bahwa laki2 nggak mau berubah
 dalam relasi laki2 dan perempuan, karena kondisi yang ada. Dan ada
 juga sebagian perempuan persepsinya menolak perubahan.

 Jangan salah, sebagian laki-laki menginginkan perubahan karena meliat
 manfaatnya, misalnya beban tugasnya jadi lebih ringan karena di-
 sharing dengan isterinya. Yang sulit bagi sebagian cowok mungkin
 keharusan dia kudu sharing pekerjaan rumah dan mengurus anak2 juga.
 Ini kan namanya sikap ego mau menang sendiri, dan mesti dihilangkan.

 Betul mba Lina, yang normal adalah kalau masing2 nyaman dan menjalani
 hak/kewajiban masing2. Perubahan adalah proses normal, hikayat
 kehidupan.

 Di pedesaan terpencil di Indonesia, laki2 dan perempuan sama2
 mengemban nafkah hidup dan mengurus anak. Batas tugas masing2
 keliatan beda secara alamiah. Namun apabila mereka mengalami
 perubahan, misalnya ada teknologi baru di desa mereka yang menyentuh
 aspek ekonomi dan utilitas, lalu perempuan tertinggal karena
 teknologi baru ini, maka perubahan itu nggak memberikan manfaat
 maksimal bagi desa tersebut, karena sebagian masyarakat pelaku
 ekonomi ketinggalan.

 Di banyak perkotaan perubahan teknologi itu begitu bertubi2 cepat
 luar biasa, meninggalkan kebanyakan perempuan, sehingga kita berada
 dalam situasi kondisi 'nggak normal' seperti sekarang ini, dimana
 memang harus dikembalikan ke fitrahnya, seperti mba Lina bilang.
 Sebagian laki2 yang ketinggalan pun mengalami ketimpangan, bahkan
 jadi sangat berat karena mereka dituntut sebagai pencari nafkah
 tunggal.

 Perubahan ke arah 'normal' yang membuat kita nyaman dan menjalankan
 hak/kewajiban masing2 ini, bermanfaat bagi laki2 maupun perempuan.
 Perempuan mencapai kemandirian ekonominya, dan laki2 mengurangi
 bebannya sendiri.

 salam
 Mia

 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com wanita-muslimah%40yahoogroups.com,
 Lina Dahlan
 [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
  Saya juga mau nanya saja. Gimana caranya supaya situasi
 dikembalikan
  ke keadaan semula alias normal? Sehingga tidak ada istilah 'tawar
  menawar'. Yang ada istilah 'menjalani kewajiban masing-masing'
  dengan aman dan nyaman...:-?.
 
  Batasan 'normal' itu juga apa ukurannya..:-?
 
  Kemaren saya ditanya teman (lagi makan di ruang makan)ttg kasus yg
  beredar disekitar. Mbak, bgmn ya istrinya pak Iwan (yg ke-3)itu.
  Kata supir, istrinya itu suka ikutan kalo pak Iwannya dugem ke
  keraoke. Bahkan pak Iwannya yang nyuruh istrinya datang dan disuruh
  pake rok pendek!.
 
  Aku jawab, yak bagus lah...kan pak Iwannya jadi gak main pere
 lagi.
  Rumah tangganya bakal awet, mudah2an. Gak seperti rumah tangganya
  yang pertama dan kedua yang udah cerai-berai. Ku pikir karena udah
  gak ada posisi tawar menawar lagi. Dua-duanya dah klop dan cocok
 (se-
  kufu'?). Kalo pada istri pertama keduanya kan karena ada sisi tawar
  menawar...sehingga gak ada kesepakatan, jadi bubar!.
 
  Temenku masih gak puas. Tapi kan mbak, kalo ke pengajian kantor
 itu
  istrinya pake jilbab/krudung?. Aku jwb lagi,lah iya toh? moso mau
  dibalik, ke pengajian pake rok pendek ke dugem pake jilbab?. Kan
  harus kontekstual...:-)
 
  Sebelum temenku nyerocos lagi gak puas dan kayaknya memang dia gak
  puas, aku tutup aja pembicaraan,udah deh, biarin aja itu urusannya
  pak Iwan. Pak Iwan yang tanggung semua itu karena dia adalah
  pilot/pemimpin di dlm rumah tangganya. Sambil beranjak dari ruang
  makan.
 
  Walaupun sebetulnya aku masih kpingin nerusin,urus aja suami kita
  masing2, apa kita sudah yakin suami kita setia? gak punya cemceman
  diluar?.
 
  Kalo tiba2 kita temui fakta bhw suami kita punya cem-ceman..apa
  reaksi kita? Keluarken jurus sailor moon yang saatnya
  berubah...! ato...jurus ummul 

[wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-16 Terurut Topik Mia
Mba Herni,
Yang realitasnya adalah bahwa laki2 maupun perempuan sama-sama 
berubah dan mengalami perubahan. Yang seharusnya mungkin bervariasi 
di antara laki-laki dan perempuan tergantung persepsi kita.  Dalam 
persepsi umum mungkin kita mengira bahwa laki2 nggak mau berubah 
dalam relasi laki2 dan perempuan, karena kondisi yang ada. Dan ada 
juga sebagian perempuan persepsinya menolak perubahan.

Jangan salah, sebagian laki-laki menginginkan perubahan karena meliat 
manfaatnya, misalnya beban tugasnya jadi lebih ringan karena di-
sharing dengan isterinya.  Yang sulit bagi sebagian cowok mungkin 
keharusan dia kudu sharing pekerjaan rumah dan mengurus anak2 juga. 
Ini kan namanya sikap ego mau menang sendiri, dan mesti dihilangkan.

Betul mba Lina, yang normal adalah kalau masing2 nyaman dan menjalani 
hak/kewajiban masing2.  Perubahan adalah proses normal, hikayat 
kehidupan.  

Di pedesaan terpencil di Indonesia, laki2 dan perempuan sama2 
mengemban nafkah hidup dan mengurus anak.  Batas tugas masing2 
keliatan beda secara alamiah.  Namun apabila mereka mengalami 
perubahan, misalnya ada teknologi baru di desa mereka yang menyentuh 
aspek ekonomi dan utilitas, lalu perempuan tertinggal karena 
teknologi baru ini, maka perubahan itu nggak memberikan manfaat 
maksimal bagi desa tersebut, karena sebagian masyarakat pelaku 
ekonomi ketinggalan.  

Di banyak perkotaan perubahan teknologi itu begitu bertubi2 cepat 
luar biasa, meninggalkan kebanyakan perempuan, sehingga kita berada 
dalam situasi kondisi 'nggak normal' seperti sekarang ini, dimana 
memang harus dikembalikan ke fitrahnya, seperti mba Lina bilang. 
Sebagian laki2 yang ketinggalan pun mengalami ketimpangan, bahkan 
jadi sangat berat karena mereka dituntut sebagai pencari nafkah 
tunggal.

Perubahan ke arah 'normal' yang membuat kita nyaman dan menjalankan 
hak/kewajiban masing2 ini, bermanfaat bagi laki2 maupun perempuan.  
Perempuan mencapai kemandirian ekonominya, dan laki2 mengurangi 
bebannya sendiri.

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Lina Dahlan 
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 Saya juga mau nanya saja. Gimana caranya supaya situasi 
dikembalikan 
 ke keadaan semula alias normal? Sehingga tidak ada istilah 'tawar 
 menawar'. Yang ada istilah 'menjalani kewajiban masing-masing' 
 dengan aman dan nyaman...:-?.
 
 Batasan 'normal' itu juga apa ukurannya..:-?
 
 Kemaren saya ditanya teman (lagi makan di ruang makan)ttg kasus yg 
 beredar disekitar. Mbak, bgmn ya istrinya pak Iwan (yg ke-3)itu. 
 Kata supir, istrinya itu suka ikutan kalo pak Iwannya dugem ke 
 keraoke. Bahkan pak Iwannya yang nyuruh istrinya datang dan disuruh 
 pake rok pendek!.
 
 Aku jawab, yak bagus lah...kan pak Iwannya jadi gak main pere 
lagi. 
 Rumah tangganya bakal awet, mudah2an. Gak seperti rumah tangganya 
 yang pertama dan kedua yang udah cerai-berai. Ku pikir karena udah 
 gak ada posisi tawar menawar lagi. Dua-duanya dah klop dan cocok 
(se-
 kufu'?). Kalo pada istri pertama keduanya kan karena ada sisi tawar 
 menawar...sehingga gak ada kesepakatan, jadi bubar!.
 
 Temenku masih gak puas. Tapi kan mbak, kalo ke pengajian kantor 
itu 
 istrinya pake jilbab/krudung?. Aku jwb lagi,lah iya toh? moso mau 
 dibalik, ke pengajian pake rok pendek ke dugem pake jilbab?. Kan 
 harus kontekstual...:-)
 
 Sebelum temenku nyerocos lagi gak puas dan kayaknya memang dia gak 
 puas, aku tutup aja pembicaraan,udah deh, biarin aja itu urusannya 
 pak Iwan. Pak Iwan yang tanggung semua itu karena dia adalah 
 pilot/pemimpin di dlm rumah tangganya. Sambil beranjak dari ruang 
 makan.
 
 Walaupun sebetulnya aku masih kpingin nerusin,urus aja suami kita 
 masing2, apa kita sudah yakin suami kita setia? gak punya cemceman 
 diluar?. 
 
 Kalo tiba2 kita temui fakta bhw suami kita punya cem-ceman..apa 
 reaksi kita? Keluarken jurus sailor moon yang saatnya 
 berubah...! ato...jurus ummul mukminin yang sabar dan takwa 
kepada 
 Allah.
 
 wassalam,
 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, h.s nurbayanti 
 nurbayanti@ wrote:
 
  Sepakat, mbak.
  
  Saya mau nanya aja. Kalau kita bicara relasi perempuan dan laki2.
  Ketika ada perubahan di perempuannya, bukankah ini juga 
 menimbulkan reaksi
  dari laki2 juga?
  Karena mereka juga terjebak pada yang seharusnya dan
  berhadapan dng kondisi yang realitasnya.
  Pertanyaannya adalah gimana supaya laki2 juga bisa beradaptasi 
dng 
 perubahan
  ini?
  
  
  Wassalam,
  Herni
  
  
  2008/6/16 Mia aldiy@:
  
 Mungkin mesti dipilah antara 'yang seharusnya' dan 'yang 
 realitasnya'.
  
   Realitasnya memang banyak perempuan yang menikah karena nggak 
 punya
   posisi ekonomi, atau paling tidak kondisi keluarga dan 
masyarakat
   menggiringnya ke situ. Seiring dengan ini, ada fenomena
   memperpanjang usia lajang karena mau berkarir dulu.
  
   Dalam kondisi masyarakat seperti ini 'yang seharusnya' adalah
   perempuan menikah, nggak berkewajiban mencari nafkah karena
   ditanggung suami, dst.
  
   Tentu saja terjadi perubahan di 

[wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-15 Terurut Topik Mia
Mungkin mesti dipilah antara 'yang seharusnya' dan 'yang realitasnya'.

Realitasnya memang banyak perempuan yang menikah karena nggak punya 
posisi ekonomi, atau paling tidak kondisi keluarga dan masyarakat 
menggiringnya ke situ.  Seiring dengan ini, ada fenomena 
memperpanjang usia lajang karena mau berkarir dulu.

Dalam kondisi masyarakat seperti ini 'yang seharusnya' adalah 
perempuan menikah, nggak berkewajiban mencari nafkah karena 
ditanggung suami, dst.

Tentu saja terjadi perubahan di masyarakat, terutama di perkotaan.  
Di perkotaan sekarang ini 'yang realitas dan yang seharusnya' 
mengalami perubahan.  Kenyataannya banyak perempuan memperpanjang 
usia lajang, bekerja, trus menikah dan berhenti kerja sementara, 
dst.  Diskusi di Pekalongan ini membicarakan 'yang seharusnya' dalam 
fenomena perubahan seperti ini.  Bahwa perempuan bekerja itu baik 
untuk perkembangan dirinya, keluarga dan masyarakat yang nggak 
terbebankan, dan untuk keluarganya sendiri.  Bahkan meringankan beban 
suaminya, dst.  Trus ditambah pula dalam diskusi ini bahwa mandiri 
dan bermanfaat bagi orang lain itu menghindarkan KDRT.

Itu perubahan di perkotaan.  Kalau di pedesaan, misalnya beberapa 
desa terpencil yang bener2 asli desa - perempuan dan anak perempuan 
malah memegang chain ekonomi pedesaan dari penanaman sampe 
pengolahan.  Dengan kata lain ada semacam 'division of labor' yang 
natural, karena walau bagaimanapun tenaga laki2 untuk mencangkul 
lebih efisien ketimbang tenaga perempuan.  

Yang perlu dicermati adalah apabila terjadi perubahan di pedesaan 
(karena pedesaan pastilah berkembang ke arah perkotaan), perempuan 
sering ketinggalan (atau sengaja ditinggalkan) dalam mengikuti 
perubahan ini, misalnya bagaimana memanfaatkan teknologi baru dalam 
pengolahan.

salam
Mia

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, L.Meilany [EMAIL PROTECTED] 
wrote:

 Kalo baca artikel ini, kesannya bahwa perempuan di zaman sekarang 
jika menikah
 harus punya kekuatan ekonomi, supaya tidak mudah mendapat KDRT.
 Apa gak kebalik? Justru banyak perempuan menikah karena tak punya 
kekuatan ekonomi.
 Suamilah yg harus bertanggungjawab terhadap urusan ekonomi. Kan 
begitu aturan klasiknya.
 Di agama suamilah yg 'wajib' memberi duit bagi isterinya.
 Jika istri punya penghasilan tidak wajib baginya untuk ikut 
bertanggungjawab urusan biaya rumahtangga.
 Dengan kata lain duit milik perempuan/isteri dipergunakan sesuka 
hati, kecuali kalo memang sama2 sepakat
 penghasilan berdua digunakan untuk keperluan rumahtangga, tapi 
sebaiknya suami juga ikut berpartisipasi 
 dalam urusan rumah tangga.
 
 
 Salam, 
 l.meilany
 
 
   - Original Message - 
   From: Dwi W. Soegardi 
   To: wanita-muslimah@yahoogroups.com 
   Sent: Wednesday, June 11, 2008 9:11 PM
   Subject: [wanita-muslimah] Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi 
Perempuan Cegah KDRT
 
 
   
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/11/20452112/berdayakan.ekonomi.
perempuan.cegah.kdrt.
 
   Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT
 
   Rabu, 11 Juni 2008 | 20:45 WIB
 
   PEKALONGAN, RABU - Untuk menanggulangi berbagai kasus kekerasan 
dalam
   rumah tangga (KDRT), perlu adanya pemberdayaan ekonomi perempuan.
   Apabila perempuan mampu menghasilkan uang, posisi tawar terhadap 
suami
   akan meningkat, sehingga suami tidak mudah melakukan kekerasan 
terh
   adap isteri.
 
   Hal itu disampaikan artis dan politisi, Marissa Haque dalam acara 
talk
   show bertema 'Kekerasan dalam Rumah Tangga' di Radio Kota Batik 
Kota
   Pekalongan, Rabu (11/6). Selain Marissa, pembicara lain dalam 
acara
   tersebut adalah Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga
   Berencana Kota Pekalongan, Candra Herawati, dan Psikolog dari 
Lembaga
   Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja Kota Pekalongan, Nur 
Agustina.
 
   Menurut Marissa, selama ini salah satu kendala dalam penanganan 
KDRT
   yaitu adanya ketergantungan ekonomi perempuan terhadap suami. 
Selama
   isteri terus menggantungkan hidup pada suami, posisi tawarnya akan
   rendah. Terlebih dengan meningkatnya biaya hidup, penghasilan 
suami
   akan semakin terbatas untuk mencukupi kebutuhan. Potensi munculnya
   kekerasan akan semakin besar.
 
   Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan ekonomi perempuan. 
Apabila
   perempuan mampu menghasilkan uang, posisi tawar terhadap suami 
akan
   tinggi. Pasalnya, faktor ekonomi merupakan salah satu ujung tombak
   dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Jadi penanganan KDRT tidak 
cukup
   hanya dengan polisi atau LSM bekerja, ujarnya.
 
   Marissa mengatakan, pemberdayaan ekonomi perempuan dapat dilakukan
   dengan memberikan pinjaman modal kerja dan pendampingan usaha 
kepada
   mereka. Selama ini, perempuan lebih telaten dalam mengelola 
keuangan.
   Mereka juga lebih tertib dalam mengembalikan pinjaman, karena 
terikat
   oleh lingkungannya. Persentase keberhasilan pemberdayaan usaha
   perempuan dengan pemberian pinjaman modal usaha mencapai sekitar 
90
   persen.
 
   Meskipun perempuan mampu 

Re: [wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-15 Terurut Topik h.s nurbayanti
Sepakat, mbak.

Saya mau nanya aja. Kalau kita bicara relasi perempuan dan laki2.
Ketika ada perubahan di perempuannya, bukankah ini juga menimbulkan reaksi
dari laki2 juga?
Karena mereka juga terjebak pada yang seharusnya dan
berhadapan dng kondisi yang realitasnya.
Pertanyaannya adalah gimana supaya laki2 juga bisa beradaptasi dng perubahan
ini?


Wassalam,
Herni


2008/6/16 Mia [EMAIL PROTECTED]:

   Mungkin mesti dipilah antara 'yang seharusnya' dan 'yang realitasnya'.

 Realitasnya memang banyak perempuan yang menikah karena nggak punya
 posisi ekonomi, atau paling tidak kondisi keluarga dan masyarakat
 menggiringnya ke situ. Seiring dengan ini, ada fenomena
 memperpanjang usia lajang karena mau berkarir dulu.

 Dalam kondisi masyarakat seperti ini 'yang seharusnya' adalah
 perempuan menikah, nggak berkewajiban mencari nafkah karena
 ditanggung suami, dst.

 Tentu saja terjadi perubahan di masyarakat, terutama di perkotaan.
 Di perkotaan sekarang ini 'yang realitas dan yang seharusnya'
 mengalami perubahan. Kenyataannya banyak perempuan memperpanjang
 usia lajang, bekerja, trus menikah dan berhenti kerja sementara,
 dst. Diskusi di Pekalongan ini membicarakan 'yang seharusnya' dalam
 fenomena perubahan seperti ini. Bahwa perempuan bekerja itu baik
 untuk perkembangan dirinya, keluarga dan masyarakat yang nggak
 terbebankan, dan untuk keluarganya sendiri. Bahkan meringankan beban
 suaminya, dst. Trus ditambah pula dalam diskusi ini bahwa mandiri
 dan bermanfaat bagi orang lain itu menghindarkan KDRT.

 Itu perubahan di perkotaan. Kalau di pedesaan, misalnya beberapa
 desa terpencil yang bener2 asli desa - perempuan dan anak perempuan
 malah memegang chain ekonomi pedesaan dari penanaman sampe
 pengolahan. Dengan kata lain ada semacam 'division of labor' yang
 natural, karena walau bagaimanapun tenaga laki2 untuk mencangkul
 lebih efisien ketimbang tenaga perempuan.

 Yang perlu dicermati adalah apabila terjadi perubahan di pedesaan
 (karena pedesaan pastilah berkembang ke arah perkotaan), perempuan
 sering ketinggalan (atau sengaja ditinggalkan) dalam mengikuti
 perubahan ini, misalnya bagaimana memanfaatkan teknologi baru dalam
 pengolahan.

 salam
 Mia

 --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com wanita-muslimah%40yahoogroups.com,
 L.Meilany [EMAIL PROTECTED]
 wrote:

 
  Kalo baca artikel ini, kesannya bahwa perempuan di zaman sekarang
 jika menikah
  harus punya kekuatan ekonomi, supaya tidak mudah mendapat KDRT.
  Apa gak kebalik? Justru banyak perempuan menikah karena tak punya
 kekuatan ekonomi.
  Suamilah yg harus bertanggungjawab terhadap urusan ekonomi. Kan
 begitu aturan klasiknya.
  Di agama suamilah yg 'wajib' memberi duit bagi isterinya.
  Jika istri punya penghasilan tidak wajib baginya untuk ikut
 bertanggungjawab urusan biaya rumahtangga.
  Dengan kata lain duit milik perempuan/isteri dipergunakan sesuka
 hati, kecuali kalo memang sama2 sepakat
  penghasilan berdua digunakan untuk keperluan rumahtangga, tapi
 sebaiknya suami juga ikut berpartisipasi
  dalam urusan rumah tangga.
 
 
  Salam,
  l.meilany
 
 
  - Original Message -
  From: Dwi W. Soegardi
  To: wanita-muslimah@yahoogroups.com wanita-muslimah%40yahoogroups.com
  Sent: Wednesday, June 11, 2008 9:11 PM
  Subject: [wanita-muslimah] Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi
 Perempuan Cegah KDRT
 
 
 
 http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/11/20452112/berdayakan.ekonomi.
 perempuan.cegah.kdrt.
 
  Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT
 
  Rabu, 11 Juni 2008 | 20:45 WIB
 
  PEKALONGAN, RABU - Untuk menanggulangi berbagai kasus kekerasan
 dalam
  rumah tangga (KDRT), perlu adanya pemberdayaan ekonomi perempuan.
  Apabila perempuan mampu menghasilkan uang, posisi tawar terhadap
 suami
  akan meningkat, sehingga suami tidak mudah melakukan kekerasan
 terh
  adap isteri.
 
  Hal itu disampaikan artis dan politisi, Marissa Haque dalam acara
 talk
  show bertema 'Kekerasan dalam Rumah Tangga' di Radio Kota Batik
 Kota
  Pekalongan, Rabu (11/6). Selain Marissa, pembicara lain dalam
 acara
  tersebut adalah Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga
  Berencana Kota Pekalongan, Candra Herawati, dan Psikolog dari
 Lembaga
  Perlindungan Perempuan Anak dan Remaja Kota Pekalongan, Nur
 Agustina.
 
  Menurut Marissa, selama ini salah satu kendala dalam penanganan
 KDRT
  yaitu adanya ketergantungan ekonomi perempuan terhadap suami.
 Selama
  isteri terus menggantungkan hidup pada suami, posisi tawarnya akan
  rendah. Terlebih dengan meningkatnya biaya hidup, penghasilan
 suami
  akan semakin terbatas untuk mencukupi kebutuhan. Potensi munculnya
  kekerasan akan semakin besar.
 
  Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan ekonomi perempuan.
 Apabila
  perempuan mampu menghasilkan uang, posisi tawar terhadap suami
 akan
  tinggi. Pasalnya, faktor ekonomi merupakan salah satu ujung tombak
  dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Jadi penanganan KDRT tidak
 cukup
  hanya dengan polisi atau LSM bekerja, ujarnya.
 
  Marissa mengatakan, 

[wanita-muslimah] Re: Marissa Haque: Berdayakan Ekonomi Perempuan Cegah KDRT

2008-06-15 Terurut Topik Lina Dahlan
Saya juga mau nanya saja. Gimana caranya supaya situasi dikembalikan 
ke keadaan semula alias normal? Sehingga tidak ada istilah 'tawar 
menawar'. Yang ada istilah 'menjalani kewajiban masing-masing' 
dengan aman dan nyaman...:-?.

Batasan 'normal' itu juga apa ukurannya..:-?

Kemaren saya ditanya teman (lagi makan di ruang makan)ttg kasus yg 
beredar disekitar. Mbak, bgmn ya istrinya pak Iwan (yg ke-3)itu. 
Kata supir, istrinya itu suka ikutan kalo pak Iwannya dugem ke 
keraoke. Bahkan pak Iwannya yang nyuruh istrinya datang dan disuruh 
pake rok pendek!.

Aku jawab, yak bagus lah...kan pak Iwannya jadi gak main pere lagi. 
Rumah tangganya bakal awet, mudah2an. Gak seperti rumah tangganya 
yang pertama dan kedua yang udah cerai-berai. Ku pikir karena udah 
gak ada posisi tawar menawar lagi. Dua-duanya dah klop dan cocok (se-
kufu'?). Kalo pada istri pertama keduanya kan karena ada sisi tawar 
menawar...sehingga gak ada kesepakatan, jadi bubar!.

Temenku masih gak puas. Tapi kan mbak, kalo ke pengajian kantor itu 
istrinya pake jilbab/krudung?. Aku jwb lagi,lah iya toh? moso mau 
dibalik, ke pengajian pake rok pendek ke dugem pake jilbab?. Kan 
harus kontekstual...:-)

Sebelum temenku nyerocos lagi gak puas dan kayaknya memang dia gak 
puas, aku tutup aja pembicaraan,udah deh, biarin aja itu urusannya 
pak Iwan. Pak Iwan yang tanggung semua itu karena dia adalah 
pilot/pemimpin di dlm rumah tangganya. Sambil beranjak dari ruang 
makan.

Walaupun sebetulnya aku masih kpingin nerusin,urus aja suami kita 
masing2, apa kita sudah yakin suami kita setia? gak punya cemceman 
diluar?. 

Kalo tiba2 kita temui fakta bhw suami kita punya cem-ceman..apa 
reaksi kita? Keluarken jurus sailor moon yang saatnya 
berubah...! ato...jurus ummul mukminin yang sabar dan takwa kepada 
Allah.

wassalam,
--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, h.s nurbayanti 
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 Sepakat, mbak.
 
 Saya mau nanya aja. Kalau kita bicara relasi perempuan dan laki2.
 Ketika ada perubahan di perempuannya, bukankah ini juga 
menimbulkan reaksi
 dari laki2 juga?
 Karena mereka juga terjebak pada yang seharusnya dan
 berhadapan dng kondisi yang realitasnya.
 Pertanyaannya adalah gimana supaya laki2 juga bisa beradaptasi dng 
perubahan
 ini?
 
 
 Wassalam,
 Herni
 
 
 2008/6/16 Mia [EMAIL PROTECTED]:
 
Mungkin mesti dipilah antara 'yang seharusnya' dan 'yang 
realitasnya'.
 
  Realitasnya memang banyak perempuan yang menikah karena nggak 
punya
  posisi ekonomi, atau paling tidak kondisi keluarga dan masyarakat
  menggiringnya ke situ. Seiring dengan ini, ada fenomena
  memperpanjang usia lajang karena mau berkarir dulu.
 
  Dalam kondisi masyarakat seperti ini 'yang seharusnya' adalah
  perempuan menikah, nggak berkewajiban mencari nafkah karena
  ditanggung suami, dst.
 
  Tentu saja terjadi perubahan di masyarakat, terutama di 
perkotaan.
  Di perkotaan sekarang ini 'yang realitas dan yang seharusnya'
  mengalami perubahan. Kenyataannya banyak perempuan memperpanjang
  usia lajang, bekerja, trus menikah dan berhenti kerja sementara,
  dst. Diskusi di Pekalongan ini membicarakan 'yang seharusnya' 
dalam
  fenomena perubahan seperti ini. Bahwa perempuan bekerja itu baik
  untuk perkembangan dirinya, keluarga dan masyarakat yang nggak
  terbebankan, dan untuk keluarganya sendiri. Bahkan meringankan 
beban
  suaminya, dst. Trus ditambah pula dalam diskusi ini bahwa mandiri
  dan bermanfaat bagi orang lain itu menghindarkan KDRT.
 
  Itu perubahan di perkotaan. Kalau di pedesaan, misalnya beberapa
  desa terpencil yang bener2 asli desa - perempuan dan anak 
perempuan
  malah memegang chain ekonomi pedesaan dari penanaman sampe
  pengolahan. Dengan kata lain ada semacam 'division of labor' yang
  natural, karena walau bagaimanapun tenaga laki2 untuk mencangkul
  lebih efisien ketimbang tenaga perempuan.
 
  Yang perlu dicermati adalah apabila terjadi perubahan di pedesaan
  (karena pedesaan pastilah berkembang ke arah perkotaan), 
perempuan
  sering ketinggalan (atau sengaja ditinggalkan) dalam mengikuti
  perubahan ini, misalnya bagaimana memanfaatkan teknologi baru 
dalam
  pengolahan.
 
  salam
  Mia
 
  --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com wanita-muslimah%
40yahoogroups.com,
  L.Meilany wpamungk@
  wrote:
 
  
   Kalo baca artikel ini, kesannya bahwa perempuan di zaman 
sekarang
  jika menikah
   harus punya kekuatan ekonomi, supaya tidak mudah mendapat KDRT.
   Apa gak kebalik? Justru banyak perempuan menikah karena tak 
punya
  kekuatan ekonomi.
   Suamilah yg harus bertanggungjawab terhadap urusan ekonomi. Kan
  begitu aturan klasiknya.
   Di agama suamilah yg 'wajib' memberi duit bagi isterinya.
   Jika istri punya penghasilan tidak wajib baginya untuk ikut
  bertanggungjawab urusan biaya rumahtangga.
   Dengan kata lain duit milik perempuan/isteri dipergunakan 
sesuka
  hati, kecuali kalo memang sama2 sepakat
   penghasilan berdua digunakan untuk keperluan rumahtangga, tapi
  sebaiknya suami juga ikut berpartisipasi