[wanita-muslimah] Re: mitologi - kisah adam dan pasangannya
Nggak ada masalah dengan Quran secara apa adanya. Tapi yang bikin masalah kita, kalau kita nggak sabaran mengulitinya, melewati poin2 yang halus, apalagi mendesakkan keyakinan dan opini kita jadi fiqh, wah itu mereduksi mitos menjadi berhala. Mungkin sulit dipercaya, tapi berdebat seperti ini secara tertulis atau pun lisan, seseorang bisa mencapai ectasy (kekhusu'an). Di tradisi pesantren sebenarnya dipraktekkan ini tapi sepertinya kita nggak bisa ke situ, mungkin tradisi jawa kita nggak boleh diijinkan terlalu banyak berkata barangkali. Sebenarnya ada jalan lain untuk menghayati Quran dengan lebih langsung, yang mungkin sesuai dengan kemampuan verbal dan logika kita. Kalau logika kita nggak cukup dan nggak sabaran untuk memahami makna di balik mitos, kita bisa konsentrasi dengan membaca ayat2 Quran keras2 dan melagukannya, atau ngedengerin. Paling tidak itu jadi pengalaman batin tersendiri. Dan itu pasti ada efeknya. Tradisi di Indonesia banyak melakukan ini, tapi bablas, jadinya mistik. Kelompok fundamentalis bisa tampil dengan dua cara itu, tapi saya selalu bertanya-tanya, apa sesungguhnya dalam pikiran mereka? Kalau sesudah zikir dan solat bersama, lalu kiyainya pidato, dan pidatonya itu politik yang menghujat2, itu apa dalam pikirannya? salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Abdul Mu'iz qual...@... wrote: Terima kasih kembali mbak Mia, memang yang ingin saya sampaikan adalah problem fiktisasi tokoh adam itu, dalam hal deskripsi kisah inilah kelebihan al qur'an, sanggup menyodorkan bahasa yang bersayap penuh inspiratif, multi tafsir, sehingga selalu cocok segala zaman. Wassalam Abdul Mu'iz
Re: [wanita-muslimah] Re: mitologi - kisah adam dan pasangannya
Subhanallah, rupanya mbak Mia tidak hanya cerdas mengelaborate kisah adam dalam qur'an, tetapi mampu membantu mencapai orgasm intelektual pembaca :) he he he, orgasm itu sama dengan khusyu' kan mbak :) Wassalam Abdul Mu'iz At 06:53 AM 6/29/2009 +, you wrote: Nggak ada masalah dengan Quran secara apa adanya. Tapi yang bikin masalah kita, kalau kita nggak sabaran mengulitinya, melewati poin2 yang halus, apalagi mendesakkan keyakinan dan opini kita jadi fiqh, wah itu mereduksi mitos menjadi berhala. Mungkin sulit dipercaya, tapi berdebat seperti ini secara tertulis atau pun lisan, seseorang bisa mencapai ectasy (kekhusu'an). Di tradisi pesantren sebenarnya dipraktekkan ini tapi sepertinya kita nggak bisa ke situ, mungkin tradisi jawa kita nggak boleh diijinkan terlalu banyak berkata barangkali. Sebenarnya ada jalan lain untuk menghayati Quran dengan lebih langsung, yang mungkin sesuai dengan kemampuan verbal dan logika kita. Kalau logika kita nggak cukup dan nggak sabaran untuk memahami makna di balik mitos, kita bisa konsentrasi dengan membaca ayat2 Quran keras2 dan melagukannya, atau ngedengerin. Paling tidak itu jadi pengalaman batin tersendiri. Dan itu pasti ada efeknya. Tradisi di Indonesia banyak melakukan ini, tapi bablas, jadinya mistik. Kelompok fundamentalis bisa tampil dengan dua cara itu, tapi saya selalu bertanya-tanya, apa sesungguhnya dalam pikiran mereka? Kalau sesudah zikir dan solat bersama, lalu kiyainya pidato, dan pidatonya itu politik yang menghujat2, itu apa dalam pikirannya? salam Mia --- In mailto:wanita-muslimah%40yahoogroups.comwanita-muslimah@yahoogroups.com, Abdul Mu'iz qual...@... wrote: Terima kasih kembali mbak Mia, memang yang ingin saya sampaikan adalah problem fiktisasi tokoh adam itu, dalam hal deskripsi kisah inilah kelebihan al qur'an, sanggup menyodorkan bahasa yang bersayap penuh inspiratif, multi tafsir, sehingga selalu cocok segala zaman. Wassalam Abdul Mu'iz [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [wanita-muslimah] Re: mitologi - kisah adam dan pasangannya
Koq pakai orgasm? - Original Message - From: Abdul Mu'iz To: wanita-muslimah@yahoogroups.com Sent: Monday, June 29, 2009 9:29 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: mitologi - kisah adam dan pasangannya Subhanallah, rupanya mbak Mia tidak hanya cerdas mengelaborate kisah adam dalam qur'an, tetapi mampu membantu mencapai orgasm intelektual pembaca :) he he he, orgasm itu sama dengan khusyu' kan mbak :) Wassalam Abdul Mu'iz At 06:53 AM 6/29/2009 +, you wrote: Nggak ada masalah dengan Quran secara apa adanya. Tapi yang bikin masalah kita, kalau kita nggak sabaran mengulitinya, melewati poin2 yang halus, apalagi mendesakkan keyakinan dan opini kita jadi fiqh, wah itu mereduksi mitos menjadi berhala. Mungkin sulit dipercaya, tapi berdebat seperti ini secara tertulis atau pun lisan, seseorang bisa mencapai ectasy (kekhusu'an). Di tradisi pesantren sebenarnya dipraktekkan ini tapi sepertinya kita nggak bisa ke situ, mungkin tradisi jawa kita nggak boleh diijinkan terlalu banyak berkata barangkali. Sebenarnya ada jalan lain untuk menghayati Quran dengan lebih langsung, yang mungkin sesuai dengan kemampuan verbal dan logika kita. Kalau logika kita nggak cukup dan nggak sabaran untuk memahami makna di balik mitos, kita bisa konsentrasi dengan membaca ayat2 Quran keras2 dan melagukannya, atau ngedengerin. Paling tidak itu jadi pengalaman batin tersendiri. Dan itu pasti ada efeknya. Tradisi di Indonesia banyak melakukan ini, tapi bablas, jadinya mistik. Kelompok fundamentalis bisa tampil dengan dua cara itu, tapi saya selalu bertanya-tanya, apa sesungguhnya dalam pikiran mereka? Kalau sesudah zikir dan solat bersama, lalu kiyainya pidato, dan pidatonya itu politik yang menghujat2, itu apa dalam pikirannya? salam Mia --- In mailto:wanita-muslimah%40yahoogroups.comwanita-muslimah@yahoogroups.com, Abdul Mu'iz qual...@... wrote: Terima kasih kembali mbak Mia, memang yang ingin saya sampaikan adalah problem fiktisasi tokoh adam itu, dalam hal deskripsi kisah inilah kelebihan al qur'an, sanggup menyodorkan bahasa yang bersayap penuh inspiratif, multi tafsir, sehingga selalu cocok segala zaman. Wassalam Abdul Mu'iz [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]
[wanita-muslimah] Re: mitologi - kisah adam dan pasangannya
Terimakasih Pak Muiz. 1. Diskusi tentang mitologi mesti pelan2, saya sudah menduga akan ada kesalahpahaman tentang istilah mitos. Istilah mitos yang saya pakai untuk memahami isi Al-Baqarah itu (hanya surat Al-Baqarah yang saya kutip dalam hal ini), nggak mengacu pada pengertian 'hanya mitos belaka', yang sama dengan 'hanya kebohongan/fiktif belaka' yaitu bias yang sudah berlangsung sekian lama ttg istilah mitologi. Karena mitos dalam arti sebenarnya, yaitu pada jaman duluuu, sebagai pendalaman psikologi agama/tradisi yang membudaya di masyarakat, nggak membicarakan peristiwa faktual sejarah, atau tokoh sejarah. Jangan salah paham lagi, bahwa ada seorang Nabi yang bernama Adam, itu sangat mungkin, dan Quran di tempat lain menyebut nama Nabi Adam ini, di samping menyebut sederetan nama Nabi lainnya. Tapi bukan itu yang saya bicarakan. Yang saya pahami sebagai mitos adalah konsep yang terkandung dalam surat Al-Baqarah. Dalam mitos, sosok/peristiwa sejarah itu nggak penting ada atau tidaknya, namun yang ingin ditampilkan adalah filosofi, konsep, buah pikirannya. Jaman sekarang, filosofi dan anak2nya dalam berbagai ilmu pengetahuan itu - kita kuliti dalam bahasa deskriptif, analitis, teoritis, dsb. Tapi saya ingin mengingatkan lagi Pak Muiz, bahwa jaman dulu orang berpikirnya atau mendeskripsikan wacana nggak seperti sekarang ini. Nabi Muhammad hidup dalam fase terakhir di jaman mitos, jadi mau nggak mau bahasa Quran mesti memakai cara itu supaya komunikatif. Kenapa saya mengingatkan? Karena kalau kita mau terus menerus memahami Quran, kitab yang kita yakini, kita mesti tetep mengikutkan konteksnya, justru supaya nggak kehilangan substansinya, dan mencegah tafsiran kita menjadi harafiah. Mentafsirkan Adam dan pasangannya dalam Al-Baqarah, sebagai sosok manusia yang berdarah daging, dan punya kesejarahan aktual, itulah contoh tafsiran yang cenderung harafiah. Mitos, atau cara berpikir mitologis itu bukannya nggak ada di jaman sekarang. Karena kata Karen Armstrong di beberapa bukunya, manusia nggak bisa survive menjalankan hidup yang kreatif tanpa mitos, yang sifatnya justru membuat terobosan. Contoh mitos jaman sekarang misalnya Star Trek, Matrix. Sebetulnya kita 'nggak boleh' mengartikan komponen Star Trex Matrix secara harafiah, karena walaupun sebagian konsepnya ilmiah dan terbukti, tapi sebagian lagi fiktif (i.e. pseuda science). Kalau kita melakukan itu, ini mereduksi konsep/wacana di balik itu yang justru ingin mengundang kreativitas kita. Kadang suatu masalah yang mendesak atau suatu ketidakberdayaan menjerumuskan kita memberhalakan mitos. Presiden SBY pernah kecolongan dalam hal ini. Renewable energy adalah salah satu 'the quest of the century', lebih lagi di negara kita, lebih lagi ketika kita nggak bisa melenyapkan subsidi, atau memproses minyak, lebih lagi ketika semua menuntut pada saat yang sama. Ketika seseorang mempresentasikan pseudo science tentang blue energy, tim presiden pun silau, lenyap deh milyaran rupiah, sedangkan proposal yang lebih make sense dari pihak lain dilewatin, pada waktu itu. Contoh mitos lain misalnya Wali Sanga. Berhubung tradisi teks nggak terlalu memasyarakat di tanah Jawa pada waktu itu, tapi tradisi oral lebih berperan - Wali Sanga jadi sosok setengah mitos setengah sejarah. Sekarang ini kita tetep sepakat, setidaknya masih ada kesepakatan, nggak terlalu penting Wali Sanga itu keturunan Jawa asli, Arab atau Cina, semua boleh...mereka hidup kapan, berbarengan apa nggak, itu nggak masalah - tapi ajaran mereka yang mengukuhkan keragaman dalam masyarakat, dan bagaimana memahami agama kita dalam keragaman ini, itulah wacana yang penting, walaupun manajemen keragaman mereka pun di test dalam peristiwa Syekh Siti Jenar (buku Pak Chodjim). Baduy Dalam adalah masyarakat asli tradisonal yang manajemen tradisi dan kehidupannya terus menerus mencegah mereka dari memberhalakan mitos. Makanya mereka tetep relevan untuk kita, sebagai pembelajaran masyarakat di jaman dulu di tanah Sunda kira2 seperti gimana, dan bagaimana mitos itu tetep 'hidup' selaras, membuat kita kreatif dan memenuhi kehidupan batin kita, pada saat yang sama nggak memberhalakannya. Misalnya mereka punya mitos Dewi Sri, lambang kesuburan yang mereka praktekkan dalam upacara panen. Mereka nggak nyembah Dewi Sri (i.e memberhalakan mitos), karena mereka percaya pada Yang Esa. Dewi Sri hanya lambang saja sebagai expressi rasa syukur mereka. Untuk mencegah lambang ini menjadi mitos, mereka nggak bikin patung Dewi Sri, nggak membayangkan Dewi Sri rambutnya panjang, cantik, dsb, nggak ada deskripsi lahiriah untuk Dewi Sri. Poin yang berikutnya menyusul. salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Fresh mui...@... wrote: mbak Mia, membahas Adam dan Hawa memang meskipun merupakan kisah lama, namun tidak pernah basi dibicarakan setiap saat, paling tidak, ada beberapa pesan moral dari kisah ini : 1) Tentang Adam dan Hawa
Re: [wanita-muslimah] Re: mitologi - kisah adam dan pasangannya
Terima kasih kembali mbak Mia, memang yang ingin saya sampaikan adalah problem fiktisasi tokoh adam itu, dalam hal deskripsi kisah inilah kelebihan al qur'an, sanggup menyodorkan bahasa yang bersayap penuh inspiratif, multi tafsir, sehingga selalu cocok segala zaman. Wassalam Abdul Mu'iz At 04:23 AM 6/29/2009 +, you wrote: Terimakasih Pak Muiz. 1. Diskusi tentang mitologi mesti pelan2, saya sudah menduga akan ada kesalahpahaman tentang istilah mitos. Istilah mitos yang saya pakai untuk memahami isi Al-Baqarah itu (hanya surat Al-Baqarah yang saya kutip dalam hal ini), nggak mengacu pada pengertian 'hanya mitos belaka', yang sama dengan 'hanya kebohongan/fiktif belaka' yaitu bias yang sudah berlangsung sekian lama ttg istilah mitologi. Karena mitos dalam arti sebenarnya, yaitu pada jaman duluuu, sebagai pendalaman psikologi agama/tradisi yang membudaya di masyarakat, nggak membicarakan peristiwa faktual sejarah, atau tokoh sejarah. Jangan salah paham lagi, bahwa ada seorang Nabi yang bernama Adam, itu sangat mungkin, dan Quran di tempat lain menyebut nama Nabi Adam ini, di samping menyebut sederetan nama Nabi lainnya. Tapi bukan itu yang saya bicarakan. Yang saya pahami sebagai mitos adalah konsep yang terkandung dalam surat Al-Baqarah. Dalam mitos, sosok/peristiwa sejarah itu nggak penting ada atau tidaknya, namun yang ingin ditampilkan adalah filosofi, konsep, buah pikirannya. Jaman sekarang, filosofi dan anak2nya dalam berbagai ilmu pengetahuan itu - kita kuliti dalam bahasa deskriptif, analitis, teoritis, dsb. Tapi saya ingin mengingatkan lagi Pak Muiz, bahwa jaman dulu orang berpikirnya atau mendeskripsikan wacana nggak seperti sekarang ini. Nabi Muhammad hidup dalam fase terakhir di jaman mitos, jadi mau nggak mau bahasa Quran mesti memakai cara itu supaya komunikatif. Kenapa saya mengingatkan? Karena kalau kita mau terus menerus memahami Quran, kitab yang kita yakini, kita mesti tetep mengikutkan konteksnya, justru supaya nggak kehilangan substansinya, dan mencegah tafsiran kita menjadi harafiah. Mentafsirkan Adam dan pasangannya dalam Al-Baqarah, sebagai sosok manusia yang berdarah daging, dan punya kesejarahan aktual, itulah contoh tafsiran yang cenderung harafiah. Mitos, atau cara berpikir mitologis itu bukannya nggak ada di jaman sekarang. Karena kata Karen Armstrong di beberapa bukunya, manusia nggak bisa survive menjalankan hidup yang kreatif tanpa mitos, yang sifatnya justru membuat terobosan. Contoh mitos jaman sekarang misalnya Star Trek, Matrix. Sebetulnya kita 'nggak boleh' mengartikan komponen Star Trex Matrix secara harafiah, karena walaupun sebagian konsepnya ilmiah dan terbukti, tapi sebagian lagi fiktif (i.e. pseuda science). Kalau kita melakukan itu, ini mereduksi konsep/wacana di balik itu yang justru ingin mengundang kreativitas kita. Kadang suatu masalah yang mendesak atau suatu ketidakberdayaan menjerumuskan kita memberhalakan mitos. Presiden SBY pernah kecolongan dalam hal ini. Renewable energy adalah salah satu 'the quest of the century', lebih lagi di negara kita, lebih lagi ketika kita nggak bisa melenyapkan subsidi, atau memproses minyak, lebih lagi ketika semua menuntut pada saat yang sama. Ketika sese orang mempresentasikan pseudo science tentang blue energy, tim presiden pun silau, lenyap deh milyaran rupiah, sedangkan proposal yang lebih make sense dari pihak lain dilewatin, pada waktu itu. Contoh mitos lain misalnya Wali Sanga. Berhubung tradisi teks nggak terlalu memasyarakat di tanah Jawa pada waktu itu, tapi tradisi oral lebih berperan - Wali Sanga jadi sosok setengah mitos setengah sejarah. Sekarang ini kita tetep sepakat, setidaknya masih ada kesepakatan, nggak terlalu penting Wali Sanga itu keturunan Jawa asli, Arab atau Cina, semua boleh...mereka hidup kapan, berbarengan apa nggak, itu nggak masalah - tapi ajaran mereka yang mengukuhkan keragaman dalam masyarakat, dan bagaimana memahami agama kita dalam keragaman ini, itulah wacana yang penting, walaupun manajemen keragaman mereka pun di test dalam peristiwa Syekh Siti Jenar (buku Pak Chodjim). Baduy Dalam adalah masyarakat asli tradisonal yang manajemen tradisi dan kehidupannya terus menerus mencegah mereka dari memberhalakan mitos. Makanya mereka tetep relevan untuk kita, sebagai pembelajaran masyarakat di jaman dulu di tanah Sunda kira2 seperti gimana, dan bagaimana mitos itu tetep 'hidup' selaras, membuat kita kreatif dan memenuhi kehidupan batin kita, pada saat yang sama nggak memberhalakannya. Misalnya mereka punya mitos Dewi Sri, lambang kesuburan yang mereka praktekkan dalam upacara panen. Mereka nggak nyembah Dewi Sri (i.e memberhalakan mitos), karena mereka percaya pada Yang Esa. Dewi Sri hanya lambang saja sebagai expressi rasa syukur mereka. Untuk mencegah lambang ini menjadi mitos, mereka nggak bikin patung Dewi Sri, nggak membayangkan Dewi Sri rambutnya panjang, cantik, dsb, nggak ada deskripsi lahiriah untuk Dewi Sri.