Nggak ada masalah dengan Quran secara apa adanya. Tapi yang bikin masalah kita, kalau kita nggak sabaran mengulitinya, melewati poin2 yang halus, apalagi mendesakkan keyakinan dan opini kita jadi fiqh, wah itu mereduksi mitos menjadi berhala.
Mungkin sulit dipercaya, tapi berdebat seperti ini secara tertulis atau pun lisan, seseorang bisa mencapai ectasy (kekhusu'an). Di tradisi pesantren sebenarnya dipraktekkan ini tapi sepertinya kita nggak bisa ke situ, mungkin tradisi jawa kita nggak boleh diijinkan terlalu banyak berkata barangkali. Sebenarnya ada jalan lain untuk menghayati Quran dengan lebih langsung, yang mungkin sesuai dengan kemampuan verbal dan logika kita. Kalau logika kita nggak cukup dan nggak sabaran untuk memahami makna di balik mitos, kita bisa konsentrasi dengan membaca ayat2 Quran keras2 dan melagukannya, atau ngedengerin. Paling tidak itu jadi pengalaman batin tersendiri. Dan itu pasti ada efeknya. Tradisi di Indonesia banyak melakukan ini, tapi bablas, jadinya mistik. Kelompok fundamentalis bisa tampil dengan dua cara itu, tapi saya selalu bertanya-tanya, apa sesungguhnya dalam pikiran mereka? Kalau sesudah zikir dan solat bersama, lalu kiyainya pidato, dan pidatonya itu politik yang menghujat2, itu apa dalam pikirannya? salam Mia --- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, Abdul Mu'iz <qual...@...> wrote: > > Terima kasih kembali mbak Mia, > > memang yang ingin saya sampaikan adalah problem fiktisasi tokoh adam itu, > dalam hal deskripsi kisah inilah kelebihan al qur'an, sanggup menyodorkan > bahasa yang bersayap penuh inspiratif, multi tafsir, sehingga selalu cocok > segala zaman. > > Wassalam > Abdul Mu'iz >