Re: [wanita-muslimah] UU Penghapusan Trafficking Tak Sentuh Perdagangan Anak?

2007-02-07 Terurut Topik Aisha
Mas Arcon,
gitapati itu majorette yang ngasih aba-aba? Saya pernah nonton lomba marching 
band, pesertanya ada yang dari beberapa pesantren. Semua peserta (termasuk gita 
pati) pakai seragam atasan/ blouse sampai ke leher dan tangan panjang dengan 
warna-warna jreng dan mengkilap, bawahannya celana panjang, pakai topi di atas 
jilbabnya. Dan rasanya tidak bergaya megal-megol, sebenarnya gitapati itu 
menariknya karena keterampilan melempar tongkatnya bukan megal-megolnya.

salam
Aisha

From : Ari Condrowahono
.
3. Jadi, kalau paginya ada rombongan marching band dari jakarta dan 
gitapatinya [gita pati pasti cewek yah ..] pakai rok pendek sambil 
lempar lempar tongkat pasang aksi diantara sekian banyak cowok dan 
penonton di lapangan [katakan lagi lomba marching band di Aceh atau di 
Padang atau di tangerang atau di pesantrennya abah HMNA, dan gitapatinya 
sambil bergaya megal megol pasang aksi sensual selama pertunjukan 
marching band tsb, maka sorenya bisa dikocok polisi susila alias 
muttawa.  :D

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [wanita-muslimah] UU Penghapusan Trafficking Tak Sentuh Perdagangan Anak?

2007-02-06 Terurut Topik Ari Condrowahono
mbak Rita,

1. Negara Indonesia kan negara yang mayoritas muslim.  Dalam Islam, 
wanita yang sudah haid sudah dianggap akil baliq [ sudah dianggap 
dewasa]. Usia 12 tahun sudah dianggap rata rata mewakili kata dewasa 
ini.  Jadi ndak perlu lagi ada pembahasan masalah perdagangan anak, lha 
wong sudah dianggap dewasa oleh muslim Indonesia modern saat ini.


2. UU dan berbagai peraturan di negara ini pun, tidak punya definisi 
jelas, berapa usia anak anak yang dijadikan standar.  Ada yang pasang 16 
tahun, ada yang 18 tahun, 21 tahun.  so what ? RUUU APP dulu itu malah 
sudah bagus mengakomodasi peraturan Islam, pasang usia batasan 12 tahun 
sebagai pelaku tindak pornoaksi dan pornografi. 


3. Jadi, kalau paginya ada rombongan marching band dari jakarta dan 
gitapatinya [gita pati pasti cewek yah ..] pakai rok pendek sambil 
lempar lempar tongkat pasang aksi diantara sekian banyak cowok dan 
penonton di lapangan [katakan lagi lomba marching band di Aceh atau di 
Padang atau di tangerang atau di pesantrennya abah HMNA, dan gitapatinya 
sambil bergaya megal megol pasang aksi sensual selama pertunjukan 
marching band tsb, maka sorenya bisa dikocok polisi susila alias 
muttawa.  :D


salam dewasa dan anak anak,

Ari


ritajkt wrote:

 Di Manakah Gerangan ?

 Oleh Valentina R Sagala
 Sumber : Kompas, Swara, Senin, 5 Feb 07

 Ada hal sangat mengganjal dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan
 Tindak Pidana Perdagangan Orang yang kini berada di tahap panitia
 kerja.

 Meskipun fakta di negeri ini menunjukkan anak merupakan kelompok
 yang paling rentan menjadi korban perdagangan (trafficking) , RUU ini
 ternyata sama sekali belum memuat mengenai perdagangan anak.

 Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai satu-satunya
 pasal yang mengatur mengenai perdagangan orang, sama sekali belum
 mengatur eksplisit perdagangan anak. Kemudian, Pasal 83 UU RI Nomor
 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mulai mengatur
 memperdagangkan anak. UU ini lebih lanjut menegaskan kewajiban
 negara memberi perlindungan khusus kepada anak korban perdagangan.

 Tentu saja, makna kewajiban tersebut di antaranya adalah
 mengupayakan lahirnya UU yang secara khusus mampu melindungi anak
 dari jeratan perdagangan, sebab UU Perlindungan Anak belum
 menjabarkan secara khusus (lex spesialis) masalah perdagangan anak,
 mengingat barulah bersifat umum (lex general).

 Inilah salah satu alasan signifikan mengapa RUU PTPPO menjadi sangat
 berarti bagi nasib anak korban perdagangan dan mencegah anak
 diperdagangkan.

 Empat persoalan

 Sejumlah persoalan mendasar yang mesti segera dibenahi dalam RUU ini
 menyangkut perdagangan anak adalah pertama, RUU ini sama sekali
 tidak memuat definisi perdagangan anak, melainkan hanya
 mencantumkan definisi perdagangan orang.

 Padahal, sesuai dengan Pasal 3 Protokol untuk Mencegah dan Menghukum
 Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak sebagai tambahan
 atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional
 (Palermo Protocol) yang telah ditandatangani Indonesia pada 24
 September 2001, definisi perdagangan orang dan perdagangan anak
 jelas berbeda. Pada perdagangan anak, unsur cara sama sekali tidak
 diperhitungkan dalam suatu perdagangan. Perbedaan ini sangatlah kuat
 dari aspek perlindungan pada anak sebagai subyek yang harus
 dilindungi di hadapan hukum.

 Oleh karena itu, sudah semestinya definisi perdagangan anak sesuai
 Palermo Protocol diakomodasi RUU ini.

 Kedua, RUU ini semestinya memasukkan prinsip-prinsip hak anak yang
 meliputi nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk
 hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, serta penghargaan
 terhadap pandangan anak.

 Implikasi

 Sebagai implikasi belum dimasukkannya prinsip hak anak, pada Bab V
 tentang Hak-hak Korban RUU ini, misalnya, tidak ada satu pasal pun
 yang mengatur khusus hak korban anak. Padahal, Convention on the
 Rights of Child yang telah diratifikasi Indonesia menjadi Keppres RI
 Nomor 36 Tahun 1990 jelas menegaskan pentingnya menegakkan hak anak.

 Ketiga, RUU ini seharusnya memasukkan perlindungan khusus bagi anak
 korban perdagangan.

 Belum diakomodasinya prinsip hak anak dan perlindungan khusus bagi
 anak korban dalam RUU ini misalnya dapat dilihat pada Bab III
 tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang pengadilan,
 yang sama sekali tidak mengatur tahapan dari penyidikan sampai
 pemeriksaan terhadap korban anak yang sesuai dengan prinsip hak
 anak. Misalnya, korban anak berhak didampingi orangtua atau wali
 (kecuali orangtua adalah pelaku perdagangan anak), hak korban anak
 untuk menjalani penyidikan dalam waktu yang dipersingkat,
 penghargaan atas pandangan anak, hak mendapatkan penerjemah, dan hak
 diwawancara dengan petugas khusus berpakaian sipil.

 Keempat, karena tidak memasukkan perdagangan anak, ketentuan
 pidana dalam RUU ini tidak mengakomodasi kasus perdagangan anak.

 Contoh sangat jelas, dalam Pasal 2 disebutkan: Setiap orang yang
 melakukan perekrutan, 

[wanita-muslimah] UU Penghapusan Trafficking Tak Sentuh Perdagangan Anak?

2007-02-04 Terurut Topik ritajkt
Di Manakah Gerangan ?

Oleh  Valentina R Sagala 
Sumber : Kompas, Swara, Senin, 5 Feb 07

Ada hal sangat mengganjal dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan 
Tindak Pidana Perdagangan Orang yang kini berada di tahap panitia 
kerja. 

Meskipun fakta di negeri ini menunjukkan anak merupakan kelompok 
yang paling rentan menjadi korban perdagangan (trafficking), RUU ini 
ternyata sama sekali belum memuat mengenai perdagangan anak. 

Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai satu-satunya 
pasal yang mengatur mengenai perdagangan orang, sama sekali belum 
mengatur eksplisit perdagangan anak. Kemudian, Pasal 83 UU RI Nomor 
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mulai mengatur 
memperdagangkan anak. UU ini lebih lanjut menegaskan kewajiban 
negara memberi perlindungan khusus kepada anak korban perdagangan. 

Tentu saja, makna kewajiban tersebut di antaranya adalah 
mengupayakan lahirnya UU yang secara khusus mampu melindungi anak 
dari jeratan perdagangan, sebab UU Perlindungan Anak belum 
menjabarkan secara khusus (lex spesialis) masalah perdagangan anak, 
mengingat barulah bersifat umum (lex general). 

Inilah salah satu alasan signifikan mengapa RUU PTPPO menjadi sangat 
berarti bagi nasib anak korban perdagangan dan mencegah anak 
diperdagangkan. 

Empat persoalan 

Sejumlah persoalan mendasar yang mesti segera dibenahi dalam RUU ini 
menyangkut perdagangan anak adalah pertama, RUU ini sama sekali 
tidak memuat definisi perdagangan anak, melainkan hanya 
mencantumkan definisi perdagangan orang. 

Padahal, sesuai dengan Pasal 3 Protokol untuk Mencegah dan Menghukum 
Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak sebagai tambahan 
atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional 
(Palermo Protocol) yang telah ditandatangani Indonesia pada 24 
September 2001, definisi perdagangan orang dan perdagangan anak 
jelas berbeda. Pada perdagangan anak, unsur cara sama sekali tidak 
diperhitungkan dalam suatu perdagangan. Perbedaan ini sangatlah kuat 
dari aspek perlindungan pada anak sebagai subyek yang harus 
dilindungi di hadapan hukum. 

Oleh karena itu, sudah semestinya definisi perdagangan anak sesuai 
Palermo Protocol diakomodasi RUU ini. 

Kedua, RUU ini semestinya memasukkan prinsip-prinsip hak anak yang 
meliputi nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk 
hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, serta penghargaan 
terhadap pandangan anak. 

Implikasi 

Sebagai implikasi belum dimasukkannya prinsip hak anak, pada Bab V 
tentang Hak-hak Korban RUU ini, misalnya, tidak ada satu pasal pun 
yang mengatur khusus hak korban anak. Padahal, Convention on the 
Rights of Child yang telah diratifikasi Indonesia menjadi Keppres RI 
Nomor 36 Tahun 1990 jelas menegaskan pentingnya menegakkan hak anak. 

Ketiga, RUU ini seharusnya memasukkan perlindungan khusus bagi anak 
korban perdagangan. 

Belum diakomodasinya prinsip hak anak dan perlindungan khusus bagi 
anak korban dalam RUU ini misalnya dapat dilihat pada Bab III 
tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang pengadilan, 
yang sama sekali tidak mengatur tahapan dari penyidikan sampai 
pemeriksaan terhadap korban anak yang sesuai dengan prinsip hak 
anak. Misalnya, korban anak berhak didampingi orangtua atau wali 
(kecuali orangtua adalah pelaku perdagangan anak), hak korban anak 
untuk menjalani penyidikan dalam waktu yang dipersingkat, 
penghargaan atas pandangan anak, hak mendapatkan penerjemah, dan hak 
diwawancara dengan petugas khusus berpakaian sipil. 

Keempat, karena tidak memasukkan perdagangan anak, ketentuan 
pidana dalam RUU ini tidak mengakomodasi kasus perdagangan anak. 

Contoh sangat jelas, dalam Pasal 2 disebutkan: Setiap orang yang 
melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, 
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan 
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, 
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau 
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari 
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan 
mengeksploitasi orang 

Definisi di atas menegaskan mengapa RUU ini tidak memberlakukan 
pemberatan pidana pada kasus perdagangan anak. 

Komitmen legislatif dan eksekutif untuk mengesahkan RUU PTPPO 
semestinya tidak hanya dilatarbelakangi keinginan melahirkan UU 
baru, melainkan sungguh-sungguh menciptakan kaidah hukum yang 
menjawab persoalan di masyarakat, serta keadilan bagi kelompok yang 
selalu tersisihkan, seperti anak.