mbak Rita,

1. Negara Indonesia kan negara yang mayoritas muslim.  Dalam Islam, 
wanita yang sudah haid sudah dianggap akil baliq [ sudah dianggap 
dewasa]. Usia 12 tahun sudah dianggap rata rata mewakili kata dewasa 
ini.  Jadi ndak perlu lagi ada pembahasan masalah perdagangan anak, lha 
wong sudah dianggap dewasa oleh muslim Indonesia modern saat ini.


2. UU dan berbagai peraturan di negara ini pun, tidak punya definisi 
jelas, berapa usia anak anak yang dijadikan standar.  Ada yang pasang 16 
tahun, ada yang 18 tahun, 21 tahun.  so what ? RUUU APP dulu itu malah 
sudah bagus mengakomodasi peraturan Islam, pasang usia batasan 12 tahun 
sebagai pelaku tindak pornoaksi dan pornografi. 


3. Jadi, kalau paginya ada rombongan marching band dari jakarta dan 
gitapatinya [gita pati pasti cewek yah ..] pakai rok pendek sambil 
lempar lempar tongkat pasang aksi diantara sekian banyak cowok dan 
penonton di lapangan [katakan lagi lomba marching band di Aceh atau di 
Padang atau di tangerang atau di pesantrennya abah HMNA, dan gitapatinya 
sambil bergaya megal megol pasang aksi sensual selama pertunjukan 
marching band tsb, maka sorenya bisa dikocok polisi susila alias 
muttawa.  :D


salam dewasa dan anak anak,

Ari


ritajkt wrote:
>
> Di Manakah Gerangan ?
>
> Oleh Valentina R Sagala
> Sumber : Kompas, Swara, Senin, 5 Feb 07
>
> Ada hal sangat mengganjal dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan
> Tindak Pidana Perdagangan Orang yang kini berada di tahap panitia
> kerja.
>
> Meskipun fakta di negeri ini menunjukkan anak merupakan kelompok
> yang paling rentan menjadi korban perdagangan (trafficking) , RUU ini
> ternyata sama sekali belum memuat mengenai perdagangan anak.
>
> Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai satu-satunya
> pasal yang mengatur mengenai perdagangan orang, sama sekali belum
> mengatur eksplisit perdagangan anak. Kemudian, Pasal 83 UU RI Nomor
> 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mulai mengatur
> memperdagangkan anak. UU ini lebih lanjut menegaskan kewajiban
> negara memberi perlindungan khusus kepada anak korban perdagangan.
>
> Tentu saja, makna kewajiban tersebut di antaranya adalah
> mengupayakan lahirnya UU yang secara khusus mampu melindungi anak
> dari jeratan perdagangan, sebab UU Perlindungan Anak belum
> menjabarkan secara khusus (lex spesialis) masalah perdagangan anak,
> mengingat barulah bersifat umum (lex general).
>
> Inilah salah satu alasan signifikan mengapa RUU PTPPO menjadi sangat
> berarti bagi nasib anak korban perdagangan dan mencegah anak
> diperdagangkan.
>
> Empat persoalan
>
> Sejumlah persoalan mendasar yang mesti segera dibenahi dalam RUU ini
> menyangkut perdagangan anak adalah pertama, RUU ini sama sekali
> tidak memuat definisi "perdagangan anak", melainkan hanya
> mencantumkan definisi "perdagangan orang".
>
> Padahal, sesuai dengan Pasal 3 Protokol untuk Mencegah dan Menghukum
> Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak sebagai tambahan
> atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional
> (Palermo Protocol) yang telah ditandatangani Indonesia pada 24
> September 2001, definisi "perdagangan orang" dan "perdagangan anak"
> jelas berbeda. Pada perdagangan anak, unsur "cara" sama sekali tidak
> diperhitungkan dalam suatu perdagangan. Perbedaan ini sangatlah kuat
> dari aspek perlindungan pada anak sebagai subyek yang harus
> dilindungi di hadapan hukum.
>
> Oleh karena itu, sudah semestinya definisi "perdagangan anak" sesuai
> Palermo Protocol diakomodasi RUU ini.
>
> Kedua, RUU ini semestinya memasukkan prinsip-prinsip hak anak yang
> meliputi nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk
> hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, serta penghargaan
> terhadap pandangan anak.
>
> Implikasi
>
> Sebagai implikasi belum dimasukkannya prinsip hak anak, pada Bab V
> tentang Hak-hak Korban RUU ini, misalnya, tidak ada satu pasal pun
> yang mengatur khusus hak korban anak. Padahal, Convention on the
> Rights of Child yang telah diratifikasi Indonesia menjadi Keppres RI
> Nomor 36 Tahun 1990 jelas menegaskan pentingnya menegakkan hak anak.
>
> Ketiga, RUU ini seharusnya memasukkan perlindungan khusus bagi anak
> korban perdagangan.
>
> Belum diakomodasinya prinsip hak anak dan perlindungan khusus bagi
> anak korban dalam RUU ini misalnya dapat dilihat pada Bab III
> tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang pengadilan,
> yang sama sekali tidak mengatur tahapan dari penyidikan sampai
> pemeriksaan terhadap korban anak yang sesuai dengan prinsip hak
> anak. Misalnya, korban anak berhak didampingi orangtua atau wali
> (kecuali orangtua adalah pelaku perdagangan anak), hak korban anak
> untuk menjalani penyidikan dalam waktu yang dipersingkat,
> penghargaan atas pandangan anak, hak mendapatkan penerjemah, dan hak
> diwawancara dengan petugas khusus berpakaian sipil.
>
> Keempat, karena tidak memasukkan "perdagangan anak", ketentuan
> pidana dalam RUU ini tidak mengakomodasi kasus perdagangan anak.
>
> Contoh sangat jelas, dalam Pasal 2 disebutkan: "Setiap orang yang
> melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
> pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan
> kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
> penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
> memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
> orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan
> mengeksploitasi orang...."
>
> Definisi di atas menegaskan mengapa RUU ini tidak memberlakukan
> pemberatan pidana pada kasus perdagangan anak.
>
> Komitmen legislatif dan eksekutif untuk mengesahkan RUU PTPPO
> semestinya tidak hanya dilatarbelakangi keinginan melahirkan UU
> baru, melainkan sungguh-sungguh menciptakan kaidah hukum yang
> menjawab persoalan di masyarakat, serta keadilan bagi kelompok yang
> selalu tersisihkan, seperti anak.
>



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke