Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

2009-01-05 Terurut Topik L.Meilany
Sekarang banyak yg kuliah sekedar untuk dapat gelar.
Dulu ada seorang kenalan bisa masuk fak teknik arsitektur, saingannya banyak.
Begitu selese kuliah ilmunya gak dimanfaatkan, ia bahkan cuma jadi penulis, 
wartawan.
Tapi dia dah punya gelar insinyur, ortunya bangga.

Coba kalo dulu ia gak masuk fak teknik arsitektur artinya kan ada 1 bangku 
kosong yg dapat
dipakai untuk orang yg bener2 serius mau jadi arsitek.
Daripada harus pake sistim lelang kayak zaman sekarang. Yg miskin makin jauh 
harapan untuk kuliah

Jadi sejak SMP harus sudah tahu mau kemana, mau jadi apa?
Kalo kelamaan di bangku kuliah kasihan bagi yg serius ingin kuliah.
Kalo sekedar mau gaya2-an juga semu, pada akhirnya kan kuliah selese trus 
ngapain, ngganggur apa?

Salam, 
l.meilany


  - Original Message - 
  From: Ari Condro 
  To: Milis wm 
  Sent: Monday, January 05, 2009 6:22 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah


  Yeah, saya sekarang bayar kuliah juga pakai acara utang utang kiri kanan. 
Disambi kerja tentu saja. Soalnya beda dengan beberapa rekan yg dosen, mereka 
bisa daftar beasiswa bpps. 

  Temen kuliah juga ada beberapa orang yg kudu terminal beberapa kali semasa 
kuliah buat kerja dulu ngebiayain kuliahnya. Itu kan jalan yg harus ditempuh. 
Lagian pemerintah kan fokus ke pendidikan dasar dan menengah. Sama kayak 
strategi jerman dan korea. 

  Orang luar jawa bahkan banyak yg kaya, dan kerjanya menghambur hamburkan uang 
ketika kuliah di jawa. Kenapa gak kuliah di kota asalnya saja ? 

  Dian arifianto usianya sdh 22 tahun tapi belum lulus. Apa gak aneh ? Itu 
sudah 5 tahun kuliah lho. Kok bisa gitu sih ? 




  salam, 



  -Original Message- 
  From: Sunny am...@tele2.se 

  Date: Mon, 5 Jan 2009 18:55:46 
  To: Undisclosed-Recipient:;Invalid address 
  Subject: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah 


  Refleksi: Apakah NKRI diciptakan untuk orang miskin ataukah untuk orang di 
Jawa nan kayaraya? 

  http://www.gatra.com/artikel.php?id=121570 


  Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah 


  Dian Arifianto, 22 tahun, harus mengubur impiannya menjadi ahli kesehatan 
masyarakat. Kemiskinan membuat mahasiswa angkatan tahun 2005 ini angkat kaki 
dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya. Orangtuanya 
yang bekerja sebagai buruh pabrik kayu bergaji Rp 1 juta sebulan tak sanggup 
membayar biaya kuliahnya yang mencapai Rp 800.000 plus sumbangan wajib sebesar 
Rp 1,5 juta per semester. 

  Padahal, Dian lumayan pandai. Sejak SMP hingga SMA, ia tidak pernah keluar 
dari urutan 10 besar di sekolah. Prestasinya di luar bidang akademik juga oke. 
Ia pernah meraih gelar juara pertama kejuaraan pencak silat se-Jawa Timur. 
Sejak lulus SMA pada 2005, ia memang bimbang untuk meneruskan studi ke jenjang 
perguruan tinggi. Dari mana saya bisa mendapat uang kuliah? kata Dian kepada 
Arif Sujatmiko dari Gatra. 

  Karena itu, ketika berhasil menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri, ia 
pun pontang-panting mencari pinjaman uang kepada kerabat. Dian berharap, 
setelah masuk, ia bisa memperoleh beasiswa atau bekerja sambilan untuk 
membiayai kuliah dan mencicil utang. Namun, apa daya, setelah kuliah berjalan 
satu semester, pekerjaan yang dicari tak didapat. Jangankan untuk biaya kuliah, 
untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang-kadang ia berutang ke teman-temannya. 

  Memasuki semester kedua, orangtuanya menyerah, bahkan setelah diberi 
keringanan mencicil biaya kuliah. Mendapat beasiswa pun tak mungkin, karena ia 
baru menempuh satu semester. Mau pinjam lagi ke kepada kerabat, tak enak hati. 
Utang yang dulu saja belum lunas, kok mau utang lagi? tuturnya, sedih. 
Keputusan berat pun diambil: menghentikan kuliah. Kini ia bekerja serabutan 
untuk membiayai hidup dan menopang kehidupan keluarganya. 

  Nasib agak berbeda dialami Kurnia Effendi, 22 tahun. Ia tak harus melepas 
studinya di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), 
Yogyakarta. Untuk tidak lepas kuliah, Nia dan orangtuanya mesti bekerja keras. 
Semula, gadis berjilbab ini memang tak berani bercita-cita kuliah di UGM. Pada 
waktu ikut ujian masuk, saya cuma mau membuktikan bahwa saya tidak bodoh dan 
mampu mengerjakan soal, katanya kepada Arif Koes Hernawan dari Gatra. 

  Maklum, ayahnya hanya pegawai usaha sablon kecil-kecilan di Wedi, Klaten. 
Gajinya tak sampai Rp 1 juta sebulan. Namun orangtua Nia mendorongnya untuk 
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka, ia pun memutuskan untuk 
mengikuti ujian masuk UGM pada 2004, meski harus merogoh tabungannya sebesar Rp 
150.000 untuk membeli formulir ujian mandiri. Usahanya tak sia-sia. Ia 
dinyatakan lulus dan berhak menjadi mahasiswa UGM. 

  Namun nyali Nia ciut seketika pada saat disodori formulir sumbangan 
peningkatan mutu akademik (SPMA), yang besarnya mulai Rp 0 hingga Rp 30 juta. 
Pada waktu itu, saya pede saja ngisi Rp 0, tutur Nia. Dia pun harus mengurus 
persyaratan, seperti surat keterangan tidak

Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

2009-01-04 Terurut Topik Ari Condro
Yeah, saya sekarang bayar kuliah juga pakai acara utang utang kiri kanan.  
Disambi kerja tentu saja.  Soalnya beda dengan beberapa rekan yg dosen, mereka 
bisa daftar beasiswa bpps.

Temen kuliah juga ada beberapa orang yg kudu terminal beberapa kali semasa 
kuliah buat kerja dulu ngebiayain kuliahnya.  Itu kan jalan yg harus ditempuh.  
Lagian pemerintah kan fokus ke pendidikan dasar dan menengah. Sama kayak 
strategi jerman dan korea.

Orang luar jawa bahkan banyak yg kaya, dan kerjanya menghambur hamburkan uang 
ketika kuliah di jawa.  Kenapa gak kuliah di kota asalnya saja ?

Dian arifianto usianya sdh 22 tahun tapi belum lulus. Apa gak aneh ? Itu sudah 
5 tahun kuliah lho.   Kok bisa gitu sih ?

 


salam,



-Original Message-
From: Sunny am...@tele2.se

Date: Mon, 5 Jan 2009 18:55:46 
To: Undisclosed-Recipient:;Invalid address
Subject: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah


Refleksi: Apakah NKRI diciptakan untuk orang miskin ataukah untuk orang di Jawa 
nan kayaraya?

http://www.gatra.com/artikel.php?id=121570


Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah


Dian Arifianto, 22 tahun, harus mengubur impiannya menjadi ahli kesehatan 
masyarakat. Kemiskinan membuat mahasiswa angkatan tahun 2005 ini angkat kaki 
dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya. Orangtuanya 
yang bekerja sebagai buruh pabrik kayu bergaji Rp 1 juta sebulan tak sanggup 
membayar biaya kuliahnya yang mencapai Rp 800.000 plus sumbangan wajib sebesar 
Rp 1,5 juta per semester.

Padahal, Dian lumayan pandai. Sejak SMP hingga SMA, ia tidak pernah keluar dari 
urutan 10 besar di sekolah. Prestasinya di luar bidang akademik juga oke. Ia 
pernah meraih gelar juara pertama kejuaraan pencak silat se-Jawa Timur. Sejak 
lulus SMA pada 2005, ia memang bimbang untuk meneruskan studi ke jenjang 
perguruan tinggi. Dari mana saya bisa mendapat uang kuliah? kata Dian kepada 
Arif Sujatmiko dari Gatra.

Karena itu, ketika berhasil menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri, ia 
pun pontang-panting mencari pinjaman uang kepada kerabat. Dian berharap, 
setelah masuk, ia bisa memperoleh beasiswa atau bekerja sambilan untuk 
membiayai kuliah dan mencicil utang. Namun, apa daya, setelah kuliah berjalan 
satu semester, pekerjaan yang dicari tak didapat. Jangankan untuk biaya kuliah, 
untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang-kadang ia berutang ke teman-temannya.

Memasuki semester kedua, orangtuanya menyerah, bahkan setelah diberi keringanan 
mencicil biaya kuliah. Mendapat beasiswa pun tak mungkin, karena ia baru 
menempuh satu semester. Mau pinjam lagi ke kepada kerabat, tak enak hati. 
Utang yang dulu saja belum lunas, kok mau utang lagi? tuturnya, sedih. 
Keputusan berat pun diambil: menghentikan kuliah. Kini ia bekerja serabutan 
untuk membiayai hidup dan menopang kehidupan keluarganya.

Nasib agak berbeda dialami Kurnia Effendi, 22 tahun. Ia tak harus melepas 
studinya di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), 
Yogyakarta. Untuk tidak lepas kuliah, Nia dan orangtuanya mesti bekerja keras. 
Semula, gadis berjilbab ini memang tak berani bercita-cita kuliah di UGM. Pada 
waktu ikut ujian masuk, saya cuma mau membuktikan bahwa saya tidak bodoh dan 
mampu mengerjakan soal, katanya kepada Arif Koes Hernawan dari Gatra.

Maklum, ayahnya hanya pegawai usaha sablon kecil-kecilan di Wedi, Klaten. 
Gajinya tak sampai Rp 1 juta sebulan. Namun orangtua Nia mendorongnya untuk 
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka, ia pun memutuskan untuk 
mengikuti ujian masuk UGM pada 2004, meski harus merogoh tabungannya sebesar Rp 
150.000 untuk membeli formulir ujian mandiri. Usahanya tak sia-sia. Ia 
dinyatakan lulus dan berhak menjadi mahasiswa UGM.

Namun nyali Nia ciut seketika pada saat disodori formulir sumbangan peningkatan 
mutu akademik (SPMA), yang besarnya mulai Rp 0 hingga Rp 30 juta. Pada waktu 
itu, saya pede saja ngisi Rp 0, tutur Nia. Dia pun harus mengurus persyaratan, 
seperti surat keterangan tidak mampu dari aparat desa.

Meski begitu, ia tetap wajib membayar biaya kuliah per semester sebesar Rp 
500.000, plus biaya operasional pendidikan (BOP) Rp 60.000 per satuan kredit 
semester (SKS). Kalau dihitung-hitung, untuk setiap 18 SKS yang diambil per 
semester, biaya kuliah Nia mencapai Rp 1,5 juta. Itu belum termasuk biaya 
asuransi kesehatan, yang dikenakan sebesar Rp 25.000-Rp 40.000 per semester.

Ayahnya pun pontang-panting cari pinjaman dan kerja sampingan untuk menambah 
penghasilan. Nia juga berupaya mencari beasiswa, hingga berhasil mendapat 
beasiswa penghapusan BOP. Lumayan, beban bayaran per semester turun menjadi Rp 
500.000. Untuk biaya hidup, Nia bekerja sebagai peneliti honorer. Usaha itu tak 
sia-sia. Prestasi Nia sangat moncer. Indeks prestasi kumulatifnya di atas angka 
3,5. Ia pun pasang target: Agustus tahun depan meraih gelar sarjana.

***

Anak-anak dari kalangan menengah ke bawah seperti Dian dan Nia memang menjadi 
pihak yang paling keras merasakan 

Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

2009-01-04 Terurut Topik Sunny
Coba cari beasiswa, agar bisa kurang beban hutang.   

Mungkin mereka dari luar Jawa itu dapat beasiswa daerah atau hanya aksi-aksian  
kaya yang orang tua di rumah setengah mati cari duit untuk dikirim kepada 
anaknya.  Agaknya yang aksi-aksian itu banyak gagal.

  - Original Message - 
  From: Ari Condro 
  To: Milis wm 
  Sent: Monday, January 05, 2009 12:22 AM
  Subject: Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah


  Yeah, saya sekarang bayar kuliah juga pakai acara utang utang kiri kanan. 
Disambi kerja tentu saja. Soalnya beda dengan beberapa rekan yg dosen, mereka 
bisa daftar beasiswa bpps.

  Temen kuliah juga ada beberapa orang yg kudu terminal beberapa kali semasa 
kuliah buat kerja dulu ngebiayain kuliahnya. Itu kan jalan yg harus ditempuh. 
Lagian pemerintah kan fokus ke pendidikan dasar dan menengah. Sama kayak 
strategi jerman dan korea.

  Orang luar jawa bahkan banyak yg kaya, dan kerjanya menghambur hamburkan uang 
ketika kuliah di jawa. Kenapa gak kuliah di kota asalnya saja ?

  Dian arifianto usianya sdh 22 tahun tapi belum lulus. Apa gak aneh ? Itu 
sudah 5 tahun kuliah lho. Kok bisa gitu sih ?




  salam,



  -Original Message-
  From: Sunny am...@tele2.se

  Date: Mon, 5 Jan 2009 18:55:46 
  To: Undisclosed-Recipient:;Invalid address
  Subject: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah


  Refleksi: Apakah NKRI diciptakan untuk orang miskin ataukah untuk orang di 
Jawa nan kayaraya?

  http://www.gatra.com/artikel.php?id=121570


  Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah


  Dian Arifianto, 22 tahun, harus mengubur impiannya menjadi ahli kesehatan 
masyarakat. Kemiskinan membuat mahasiswa angkatan tahun 2005 ini angkat kaki 
dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya. Orangtuanya 
yang bekerja sebagai buruh pabrik kayu bergaji Rp 1 juta sebulan tak sanggup 
membayar biaya kuliahnya yang mencapai Rp 800.000 plus sumbangan wajib sebesar 
Rp 1,5 juta per semester.

  Padahal, Dian lumayan pandai. Sejak SMP hingga SMA, ia tidak pernah keluar 
dari urutan 10 besar di sekolah. Prestasinya di luar bidang akademik juga oke. 
Ia pernah meraih gelar juara pertama kejuaraan pencak silat se-Jawa Timur. 
Sejak lulus SMA pada 2005, ia memang bimbang untuk meneruskan studi ke jenjang 
perguruan tinggi. Dari mana saya bisa mendapat uang kuliah? kata Dian kepada 
Arif Sujatmiko dari Gatra.

  Karena itu, ketika berhasil menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri, ia 
pun pontang-panting mencari pinjaman uang kepada kerabat. Dian berharap, 
setelah masuk, ia bisa memperoleh beasiswa atau bekerja sambilan untuk 
membiayai kuliah dan mencicil utang. Namun, apa daya, setelah kuliah berjalan 
satu semester, pekerjaan yang dicari tak didapat. Jangankan untuk biaya kuliah, 
untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang-kadang ia berutang ke teman-temannya.

  Memasuki semester kedua, orangtuanya menyerah, bahkan setelah diberi 
keringanan mencicil biaya kuliah. Mendapat beasiswa pun tak mungkin, karena ia 
baru menempuh satu semester. Mau pinjam lagi ke kepada kerabat, tak enak hati. 
Utang yang dulu saja belum lunas, kok mau utang lagi? tuturnya, sedih. 
Keputusan berat pun diambil: menghentikan kuliah. Kini ia bekerja serabutan 
untuk membiayai hidup dan menopang kehidupan keluarganya.

  Nasib agak berbeda dialami Kurnia Effendi, 22 tahun. Ia tak harus melepas 
studinya di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), 
Yogyakarta. Untuk tidak lepas kuliah, Nia dan orangtuanya mesti bekerja keras. 
Semula, gadis berjilbab ini memang tak berani bercita-cita kuliah di UGM. Pada 
waktu ikut ujian masuk, saya cuma mau membuktikan bahwa saya tidak bodoh dan 
mampu mengerjakan soal, katanya kepada Arif Koes Hernawan dari Gatra.

  Maklum, ayahnya hanya pegawai usaha sablon kecil-kecilan di Wedi, Klaten. 
Gajinya tak sampai Rp 1 juta sebulan. Namun orangtua Nia mendorongnya untuk 
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka, ia pun memutuskan untuk 
mengikuti ujian masuk UGM pada 2004, meski harus merogoh tabungannya sebesar Rp 
150.000 untuk membeli formulir ujian mandiri. Usahanya tak sia-sia. Ia 
dinyatakan lulus dan berhak menjadi mahasiswa UGM.

  Namun nyali Nia ciut seketika pada saat disodori formulir sumbangan 
peningkatan mutu akademik (SPMA), yang besarnya mulai Rp 0 hingga Rp 30 juta. 
Pada waktu itu, saya pede saja ngisi Rp 0, tutur Nia. Dia pun harus mengurus 
persyaratan, seperti surat keterangan tidak mampu dari aparat desa.

  Meski begitu, ia tetap wajib membayar biaya kuliah per semester sebesar Rp 
500.000, plus biaya operasional pendidikan (BOP) Rp 60.000 per satuan kredit 
semester (SKS). Kalau dihitung-hitung, untuk setiap 18 SKS yang diambil per 
semester, biaya kuliah Nia mencapai Rp 1,5 juta. Itu belum termasuk biaya 
asuransi kesehatan, yang dikenakan sebesar Rp 25.000-Rp 40.000 per semester.

  Ayahnya pun pontang-panting cari pinjaman dan kerja sampingan untuk menambah 
penghasilan. Nia juga

Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

2009-01-04 Terurut Topik Ari Condro
kalo cari beasiswa kudu punya nilai semester satu dulu oom. lha ini nilai
semester satu baru keluar kalau semester dua hampir habis.  fucking shit lah
dengan administrasi di PTN kita yang amburadul ... wahahaha 


2009/1/6 Sunny am...@tele2.se

   Coba cari beasiswa, agar bisa kurang beban hutang.

 Mungkin mereka dari luar Jawa itu dapat beasiswa daerah atau hanya
 aksi-aksian kaya yang orang tua di rumah setengah mati cari duit untuk
 dikirim kepada anaknya. Agaknya yang aksi-aksian itu banyak gagal.


 - Original Message -
 From: Ari Condro
 To: Milis wm
 Sent: Monday, January 05, 2009 12:22 AM
 Subject: Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

 Yeah, saya sekarang bayar kuliah juga pakai acara utang utang kiri kanan.
 Disambi kerja tentu saja. Soalnya beda dengan beberapa rekan yg dosen,
 mereka bisa daftar beasiswa bpps.

 Temen kuliah juga ada beberapa orang yg kudu terminal beberapa kali semasa
 kuliah buat kerja dulu ngebiayain kuliahnya. Itu kan jalan yg harus
 ditempuh. Lagian pemerintah kan fokus ke pendidikan dasar dan menengah. Sama
 kayak strategi jerman dan korea.

 Orang luar jawa bahkan banyak yg kaya, dan kerjanya menghambur hamburkan
 uang ketika kuliah di jawa. Kenapa gak kuliah di kota asalnya saja ?

 Dian arifianto usianya sdh 22 tahun tapi belum lulus. Apa gak aneh ? Itu
 sudah 5 tahun kuliah lho. Kok bisa gitu sih ?

 salam,

 -Original Message-
 From: Sunny am...@tele2.se ambon%40tele2.se

 Date: Mon, 5 Jan 2009 18:55:46
 To: Undisclosed-Recipient:;Invalid address
 Subject: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

 Refleksi: Apakah NKRI diciptakan untuk orang miskin ataukah untuk orang di
 Jawa nan kayaraya?

 http://www.gatra.com/artikel.php?id=121570

 Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

 Dian Arifianto, 22 tahun, harus mengubur impiannya menjadi ahli kesehatan
 masyarakat. Kemiskinan membuat mahasiswa angkatan tahun 2005 ini angkat kaki
 dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya.
 Orangtuanya yang bekerja sebagai buruh pabrik kayu bergaji Rp 1 juta sebulan
 tak sanggup membayar biaya kuliahnya yang mencapai Rp 800.000 plus sumbangan
 wajib sebesar Rp 1,5 juta per semester.

 Padahal, Dian lumayan pandai. Sejak SMP hingga SMA, ia tidak pernah keluar
 dari urutan 10 besar di sekolah. Prestasinya di luar bidang akademik juga
 oke. Ia pernah meraih gelar juara pertama kejuaraan pencak silat se-Jawa
 Timur. Sejak lulus SMA pada 2005, ia memang bimbang untuk meneruskan studi
 ke jenjang perguruan tinggi. Dari mana saya bisa mendapat uang kuliah?
 kata Dian kepada Arif Sujatmiko dari Gatra.

 Karena itu, ketika berhasil menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri,
 ia pun pontang-panting mencari pinjaman uang kepada kerabat. Dian berharap,
 setelah masuk, ia bisa memperoleh beasiswa atau bekerja sambilan untuk
 membiayai kuliah dan mencicil utang. Namun, apa daya, setelah kuliah
 berjalan satu semester, pekerjaan yang dicari tak didapat. Jangankan untuk
 biaya kuliah, untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang-kadang ia berutang ke
 teman-temannya.

 Memasuki semester kedua, orangtuanya menyerah, bahkan setelah diberi
 keringanan mencicil biaya kuliah. Mendapat beasiswa pun tak mungkin, karena
 ia baru menempuh satu semester. Mau pinjam lagi ke kepada kerabat, tak enak
 hati. Utang yang dulu saja belum lunas, kok mau utang lagi? tuturnya,
 sedih. Keputusan berat pun diambil: menghentikan kuliah. Kini ia bekerja
 serabutan untuk membiayai hidup dan menopang kehidupan keluarganya.

 Nasib agak berbeda dialami Kurnia Effendi, 22 tahun. Ia tak harus melepas
 studinya di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM),
 Yogyakarta. Untuk tidak lepas kuliah, Nia dan orangtuanya mesti bekerja
 keras. Semula, gadis berjilbab ini memang tak berani bercita-cita kuliah di
 UGM. Pada waktu ikut ujian masuk, saya cuma mau membuktikan bahwa saya
 tidak bodoh dan mampu mengerjakan soal, katanya kepada Arif Koes Hernawan
 dari Gatra.

 Maklum, ayahnya hanya pegawai usaha sablon kecil-kecilan di Wedi, Klaten.
 Gajinya tak sampai Rp 1 juta sebulan. Namun orangtua Nia mendorongnya untuk
 melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka, ia pun memutuskan untuk
 mengikuti ujian masuk UGM pada 2004, meski harus merogoh tabungannya sebesar
 Rp 150.000 untuk membeli formulir ujian mandiri. Usahanya tak sia-sia. Ia
 dinyatakan lulus dan berhak menjadi mahasiswa UGM.

 Namun nyali Nia ciut seketika pada saat disodori formulir sumbangan
 peningkatan mutu akademik (SPMA), yang besarnya mulai Rp 0 hingga Rp 30
 juta. Pada waktu itu, saya pede saja ngisi Rp 0, tutur Nia. Dia pun harus
 mengurus persyaratan, seperti surat keterangan tidak mampu dari aparat desa.

 Meski begitu, ia tetap wajib membayar biaya kuliah per semester sebesar Rp
 500.000, plus biaya operasional pendidikan (BOP) Rp 60.000 per satuan kredit
 semester (SKS). Kalau dihitung-hitung, untuk setiap 18 SKS yang diambil per
 semester, biaya kuliah Nia

Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah

2009-01-04 Terurut Topik izzuddin al qassam
wah..wah ceritanya sama tuh..
santai aja yang penting bisa kuliah and jadi sarjana ^_^

--- On Sun, 1/4/09, Ari Condro masar...@gmail.com wrote:
From: Ari Condro masar...@gmail.com
Subject: Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah
To: Milis wm wanita-muslimah@yahoogroups.com
Date: Sunday, January 4, 2009, 3:22 PM











Yeah, saya sekarang bayar kuliah juga pakai acara utang utang kiri 
kanan.  Disambi kerja tentu saja.  Soalnya beda dengan beberapa rekan yg dosen, 
mereka bisa daftar beasiswa bpps.



Temen kuliah juga ada beberapa orang yg kudu terminal beberapa kali semasa 
kuliah buat kerja dulu ngebiayain kuliahnya.  Itu kan jalan yg harus ditempuh.  
Lagian pemerintah kan fokus ke pendidikan dasar dan menengah. Sama kayak 
strategi jerman dan korea.



Orang luar jawa bahkan banyak yg kaya, dan kerjanya menghambur hamburkan uang 
ketika kuliah di jawa.  Kenapa gak kuliah di kota asalnya saja ?



Dian arifianto usianya sdh 22 tahun tapi belum lulus. Apa gak aneh ? Itu sudah 
5 tahun kuliah lho.   Kok bisa gitu sih ?



 





salam,







-Original Message-

From: Sunny am...@tele2. se



Date: Mon, 5 Jan 2009 18:55:46 

To: Undisclosed- Recipient: ;Invalid address

Subject: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah





Refleksi: Apakah NKRI diciptakan untuk orang miskin ataukah untuk orang di Jawa 
nan kayaraya?



http://www.gatra. com/artikel. php?id=121570





Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah





Dian Arifianto, 22 tahun, harus mengubur impiannya menjadi ahli kesehatan 
masyarakat. Kemiskinan membuat mahasiswa angkatan tahun 2005 ini angkat kaki 
dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya. Orangtuanya 
yang bekerja sebagai buruh pabrik kayu bergaji Rp 1 juta sebulan tak sanggup 
membayar biaya kuliahnya yang mencapai Rp 800.000 plus sumbangan wajib sebesar 
Rp 1,5 juta per semester.



Padahal, Dian lumayan pandai. Sejak SMP hingga SMA, ia tidak pernah keluar dari 
urutan 10 besar di sekolah. Prestasinya di luar bidang akademik juga oke. Ia 
pernah meraih gelar juara pertama kejuaraan pencak silat se-Jawa Timur. Sejak 
lulus SMA pada 2005, ia memang bimbang untuk meneruskan studi ke jenjang 
perguruan tinggi. Dari mana saya bisa mendapat uang kuliah? kata Dian kepada 
Arif Sujatmiko dari Gatra.



Karena itu, ketika berhasil menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri, ia 
pun pontang-panting mencari pinjaman uang kepada kerabat. Dian berharap, 
setelah masuk, ia bisa memperoleh beasiswa atau bekerja sambilan untuk 
membiayai kuliah dan mencicil utang. Namun, apa daya, setelah kuliah berjalan 
satu semester, pekerjaan yang dicari tak didapat. Jangankan untuk biaya kuliah, 
untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang-kadang ia berutang ke teman-temannya.



Memasuki semester kedua, orangtuanya menyerah, bahkan setelah diberi keringanan 
mencicil biaya kuliah. Mendapat beasiswa pun tak mungkin, karena ia baru 
menempuh satu semester. Mau pinjam lagi ke kepada kerabat, tak enak hati. 
Utang yang dulu saja belum lunas, kok mau utang lagi? tuturnya, sedih. 
Keputusan berat pun diambil: menghentikan kuliah. Kini ia bekerja serabutan 
untuk membiayai hidup dan menopang kehidupan keluarganya.



Nasib agak berbeda dialami Kurnia Effendi, 22 tahun. Ia tak harus melepas 
studinya di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), 
Yogyakarta. Untuk tidak lepas kuliah, Nia dan orangtuanya mesti bekerja keras. 
Semula, gadis berjilbab ini memang tak berani bercita-cita kuliah di UGM. Pada 
waktu ikut ujian masuk, saya cuma mau membuktikan bahwa saya tidak bodoh dan 
mampu mengerjakan soal, katanya kepada Arif Koes Hernawan dari Gatra.



Maklum, ayahnya hanya pegawai usaha sablon kecil-kecilan di Wedi, Klaten. 
Gajinya tak sampai Rp 1 juta sebulan. Namun orangtua Nia mendorongnya untuk 
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka, ia pun memutuskan untuk 
mengikuti ujian masuk UGM pada 2004, meski harus merogoh tabungannya sebesar Rp 
150.000 untuk membeli formulir ujian mandiri. Usahanya tak sia-sia. Ia 
dinyatakan lulus dan berhak menjadi mahasiswa UGM.



Namun nyali Nia ciut seketika pada saat disodori formulir sumbangan peningkatan 
mutu akademik (SPMA), yang besarnya mulai Rp 0 hingga Rp 30 juta. Pada waktu 
itu, saya pede saja ngisi Rp 0, tutur Nia. Dia pun harus mengurus persyaratan, 
seperti surat keterangan tidak mampu dari aparat desa.



Meski begitu, ia tetap wajib membayar biaya kuliah per semester sebesar Rp 
500.000, plus biaya operasional pendidikan (BOP) Rp 60.000 per satuan kredit 
semester (SKS). Kalau dihitung-hitung, untuk setiap 18 SKS yang diambil per 
semester, biaya kuliah Nia mencapai Rp 1,5 juta. Itu belum termasuk biaya 
asuransi kesehatan, yang dikenakan sebesar Rp 25.000-Rp 40.000 per semester.



Ayahnya pun pontang-panting cari pinjaman dan kerja sampingan untuk menambah 
penghasilan. Nia juga berupaya mencari beasiswa, hingga berhasil mendapat 
beasiswa penghapusan