Sekarang banyak yg kuliah sekedar untuk dapat gelar. Dulu ada seorang kenalan bisa masuk fak teknik arsitektur, saingannya banyak. Begitu selese kuliah ilmunya gak dimanfaatkan, ia bahkan cuma jadi penulis, wartawan. Tapi dia dah punya gelar insinyur, ortunya bangga.
Coba kalo dulu ia gak masuk fak teknik arsitektur artinya kan ada 1 bangku kosong yg dapat dipakai untuk orang yg bener2 serius mau jadi arsitek. Daripada harus pake sistim lelang kayak zaman sekarang. Yg miskin makin jauh harapan untuk kuliah Jadi sejak SMP harus sudah tahu mau kemana, mau jadi apa? Kalo kelamaan di bangku kuliah kasihan bagi yg serius ingin kuliah. Kalo sekedar mau gaya2-an juga semu, pada akhirnya kan kuliah selese trus ngapain, ngganggur apa? Salam, l.meilany ----- Original Message ----- From: Ari Condro To: Milis wm Sent: Monday, January 05, 2009 6:22 AM Subject: Re: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah Yeah, saya sekarang bayar kuliah juga pakai acara utang utang kiri kanan. Disambi kerja tentu saja. Soalnya beda dengan beberapa rekan yg dosen, mereka bisa daftar beasiswa bpps. Temen kuliah juga ada beberapa orang yg kudu terminal beberapa kali semasa kuliah buat kerja dulu ngebiayain kuliahnya. Itu kan jalan yg harus ditempuh. Lagian pemerintah kan fokus ke pendidikan dasar dan menengah. Sama kayak strategi jerman dan korea. Orang luar jawa bahkan banyak yg kaya, dan kerjanya menghambur hamburkan uang ketika kuliah di jawa. Kenapa gak kuliah di kota asalnya saja ? Dian arifianto usianya sdh 22 tahun tapi belum lulus. Apa gak aneh ? Itu sudah 5 tahun kuliah lho. Kok bisa gitu sih ? salam, -----Original Message----- From: "Sunny" <am...@tele2.se> Date: Mon, 5 Jan 2009 18:55:46 To: <Undisclosed-Recipient:;><Invalid address> Subject: [wanita-muslimah] Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah Refleksi: Apakah NKRI diciptakan untuk orang miskin ataukah untuk orang di Jawa nan kayaraya? http://www.gatra.com/artikel.php?id=121570 Anak Miskin Terancam Tak Bisa Kuliah Dian Arifianto, 22 tahun, harus mengubur impiannya menjadi ahli kesehatan masyarakat. Kemiskinan membuat mahasiswa angkatan tahun 2005 ini angkat kaki dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya. Orangtuanya yang bekerja sebagai buruh pabrik kayu bergaji Rp 1 juta sebulan tak sanggup membayar biaya kuliahnya yang mencapai Rp 800.000 plus sumbangan wajib sebesar Rp 1,5 juta per semester. Padahal, Dian lumayan pandai. Sejak SMP hingga SMA, ia tidak pernah keluar dari urutan 10 besar di sekolah. Prestasinya di luar bidang akademik juga oke. Ia pernah meraih gelar juara pertama kejuaraan pencak silat se-Jawa Timur. Sejak lulus SMA pada 2005, ia memang bimbang untuk meneruskan studi ke jenjang perguruan tinggi. "Dari mana saya bisa mendapat uang kuliah?" kata Dian kepada Arif Sujatmiko dari Gatra. Karena itu, ketika berhasil menembus ujian masuk perguruan tinggi negeri, ia pun pontang-panting mencari pinjaman uang kepada kerabat. Dian berharap, setelah masuk, ia bisa memperoleh beasiswa atau bekerja sambilan untuk membiayai kuliah dan mencicil utang. Namun, apa daya, setelah kuliah berjalan satu semester, pekerjaan yang dicari tak didapat. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang-kadang ia berutang ke teman-temannya. Memasuki semester kedua, orangtuanya menyerah, bahkan setelah diberi keringanan mencicil biaya kuliah. Mendapat beasiswa pun tak mungkin, karena ia baru menempuh satu semester. Mau pinjam lagi ke kepada kerabat, tak enak hati. "Utang yang dulu saja belum lunas, kok mau utang lagi?" tuturnya, sedih. Keputusan berat pun diambil: menghentikan kuliah. Kini ia bekerja serabutan untuk membiayai hidup dan menopang kehidupan keluarganya. Nasib agak berbeda dialami Kurnia Effendi, 22 tahun. Ia tak harus melepas studinya di Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Untuk tidak lepas kuliah, Nia dan orangtuanya mesti bekerja keras. Semula, gadis berjilbab ini memang tak berani bercita-cita kuliah di UGM. "Pada waktu ikut ujian masuk, saya cuma mau membuktikan bahwa saya tidak bodoh dan mampu mengerjakan soal," katanya kepada Arif Koes Hernawan dari Gatra. Maklum, ayahnya hanya pegawai usaha sablon kecil-kecilan di Wedi, Klaten. Gajinya tak sampai Rp 1 juta sebulan. Namun orangtua Nia mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka, ia pun memutuskan untuk mengikuti ujian masuk UGM pada 2004, meski harus merogoh tabungannya sebesar Rp 150.000 untuk membeli formulir ujian mandiri. Usahanya tak sia-sia. Ia dinyatakan lulus dan berhak menjadi mahasiswa UGM. Namun nyali Nia ciut seketika pada saat disodori formulir sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA), yang besarnya mulai Rp 0 hingga Rp 30 juta. "Pada waktu itu, saya pede saja ngisi Rp 0," tutur Nia. Dia pun harus mengurus persyaratan, seperti surat keterangan tidak mampu dari aparat desa. Meski begitu, ia tetap wajib membayar biaya kuliah per semester sebesar Rp 500.000, plus biaya operasional pendidikan (BOP) Rp 60.000 per satuan kredit semester (SKS). Kalau dihitung-hitung, untuk setiap 18 SKS yang diambil per semester, biaya kuliah Nia mencapai Rp 1,5 juta. Itu belum termasuk biaya asuransi kesehatan, yang dikenakan sebesar Rp 25.000-Rp 40.000 per semester. Ayahnya pun pontang-panting cari pinjaman dan kerja sampingan untuk menambah penghasilan. Nia juga berupaya mencari beasiswa, hingga berhasil mendapat beasiswa penghapusan BOP. Lumayan, beban bayaran per semester turun menjadi Rp 500.000. Untuk biaya hidup, Nia bekerja sebagai peneliti honorer. Usaha itu tak sia-sia. Prestasi Nia sangat moncer. Indeks prestasi kumulatifnya di atas angka 3,5. Ia pun pasang target: Agustus tahun depan meraih gelar sarjana. *** Anak-anak dari kalangan menengah ke bawah seperti Dian dan Nia memang menjadi pihak yang paling keras merasakan pukulan atas makin mahalnya biaya pendidikan. Tak mengherankan jika mereka menyatakan kecewa ketika pemerintah dan DPR pada 17 Desember lalu mengesahkan Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP). "Tidak ada aturan itu saja, banyak anak putus kuliah, apalagi kalau undang-undang itu diberlakukan?" tutur Dian. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Menurut Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM, Budiyanto, banyak bentuk penghambatan akses pada pendidikan tinggi bagi keluarga miskin justru ketika perguruan tinggi dijadikan badan hukum milik negara (BHMN). BHP ini, kata Budiyanto, tak lain adalah koreksi terhadap BHMN. "Padahal, BHMN saja sudah bermasalah," katanya kepada Gatra. Sebagaimana BHMN, menurut Budiyanto, BHP adalah upaya pemerintah untuk cuci tangan dari subsidi pendidikan. Dengan dibentuk badan hukum, institusi pendidikan harus mencari sumber pemasukan lain. "Masalahnya, institusi pendidikan belum mampu mencari pemasukan mandiri selain dari masyarakat," ujarnya. Contoh nyatanya adalah UGM sendiri. Sejak menjadi BHMN, biaya kuliah di UGM terus terkerek naik. Pada 1998, SPP per semester di UGM hanya Rp 250.000 tanpa komponen lain. Tahun 1999, SPP UGM naik menjadi Rp 400.000. Pada 2001, naik lagi menjadi Rp 500.000. Meski angka itu tak naik hingga sekarang, sejak 2002 UGM mengenakan komponen biaya kuliah lain berupa BOP sebesar Rp 750.000 untuk bidang eksakta dan Rp 500.000 untuk non-eksakta. Tahun 2003, selain SPP dan BOP, UGM mengenakan biaya SPMA sebesar Rp 5 juta-Rp 30 juta, sedangkan yang tidak mampu boleh gratis alias Rp 0. Pada 2004, BOP dihitung secara flat, yaitu 18 SKS dikalikan Rp 65.000 untuk jurusan non-eksakta dan Rp 75.000 untuk eksakta. Tahun 2006, tarif BOP berubah lagi menjadi Rp 65.000 untuk jurusan non-eksakta dan Rp 75.000 untuk jurusan eksakta dikalikan setiap SKS yang diambil. Selain itu, SPMA Rp 0 dihapus dan batas atasnya menjadi tak terhingga, tergantung fakultas. Kenaikan serupa terjadi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sejak lima tahun lalu, ITB menetapkan biaya kuliah sebesar Rp 2,5 juta per semester. Hitungannya, menurut Rektor ITB, Djoko Santoso, total biaya pendidikan seorang mahasiswa di ITB selama empat tahun adalah Rp 64 juta. Pertama kali masuk, mahasiswa harus membayar Rp 45 juta. Sisanya dibagi dalam delapan semester. "ITB masih paling murah dibandingkan dengan yang lain," kata Djoko kepada Wisnu Wage Pamungkas dari Gatra. Hingga akhir tahun ini, biaya kuliah di ITB tak ada kenaikan. Namun Djoko belum bisa menjamin untuk tahun depan. Yang jelas, menurut dia, biaya operasional yang berasal dari uang kuliah pada saat ini masih belum memadai. "Idealnya, ada kenaikan sebesar Rp 4 juta-Rp 5 juta," tuturnya. Tahun depan, biaya operasional ITB dianggarkan naik Rp 600 milyar. Komponen yang akan dikenakan kepada mahasiswa mencapai Rp 100 milyar-Rp 150 milyar. Mahasiswa ITB tercatat berjumlah 6.000 orang. Di Universitas Indonesia (UI), menurut Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri, idealnya biaya kuliah per orang mahasiswa untuk fakultas kedokteran mencapai Rp 59 juta per tahun. Sedangkan untuk jurusan eksakta lain non-kedokteran sebesar Rp 25 juta dan ilmu-ilmu sosial Rp 18 juta. Hitungannya, biaya operasional UI per tahun mencapai Rp 1,4 trilyun. Sementara itu, untuk tahun 2008, misalnya, UI mendapat dana APBN sebesar Rp 125 milyar atau hanya 14% dari total biaya operasi. Sedangkan pemasukan dari mahasiswa sebesar Rp 565 milyar atau 62%. Sisanya, 25% atau Rp 229 milyar, didapat dari berbagai sumbangan, baik industri maupun lembaga filantropi. Dengan beban seperti itu, pemasukan UI pada saat ini belum bisa menutupi biaya operasional. Toh, kata Gumilar, UI tetap memberi keadilan buat mahasiswa tak mampu. Kini biaya SPP di UI per semester bervariasi, Rp 100.000 hingga Rp 7,5 juta. Guna menutupi kekurangan biaya operasional, Gumilar memilih melobi pemerintah untuk menambah suntikan dana dan menggalakkan entrepreneurship kampus. "Saya akan menunda kenaikan dulu. Kita harus berempati bahwa tidak semua orang mampu," ujar Gumilar kepada Cavin R. Manuputty dari Gatra. Makin mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi yang menerapkan BHMN memperkuat sinyalemen bahwa UU BHP adalah pengesahan liberalisasi pendidikan. Tak mengherankan jika pengesahan undang-undang ini diwarnai aksi protes ratusan mahasiswa dan diiringi ancaman judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Konstitusi. Pembantu Ketua III STF Driyarkara, Augustinus Setyo Wibowo, mengatakan bahwa pengesahan UU BHP menunjukkan, Indonesia sangat terbuka pada konsep liberalisasi. Padahal, negara-negara Eropa yang sudah kokoh bangunan ekonominya sangat hati-hati menerapkan liberalisasi pendidikan dengan masih besarnya campur tangan pemerintah dalam mendanai pendidikan. Di Prancis --Setyo pernah mengecap pendidikan S-2 dan S-3 di sana-- subsidi pemerintah untuk pendidikan mencapai 60%. "Indonesia yang bangunan ekonominya masih reyot dan amburadul kok malah membuka diri terlalu lebar pada liberalisasi?" katanya. Di Indonesia, 50%-70% dari total biaya pendidikan ditanggung orangtua siswa. Sisanya, 25%-45%, ditanggung pemerintah dan masyarakat, selain orangtua siswa. *** Jejak liberalisasi pendidikan di Indonesia terekam sejak Indonesia meratifikasi perjanjian perdagangan bebas, yang disponsori Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1994 (lihat: Jalan Panjang Liberalisasi Pendidikan). Sejak itu, Indonesia aktif dalam pembahasan General Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS dinyatakan, sektor jasa, termasuk pendidikan tinggi, dimasukkan ke pasar global dan dijadikan komoditas jasa yang bisa diperjualbelikan sejak putaran Doha, Qatar, pada 2001, dan dipertegas di putaran Hong Kong, tahun 2005. Indonesia ikut menyetujuinya. Sejak itu, arah pendidikan tinggi di Indonesia menuju pada liberalisasi. Pasal 65 UU 20/2003 tentang Perguruan Tinggi, yang membolehkan masuknya perguruan tinggi asing, makin menegaskan hal itu. Namun serangkaian kenyataan itu tetap dibantah para pengambil kebijakan. Ketua Tim Perumus RUU BHP, Anwar Arifin, membantah adanya jiwa liberalisme pada UU BHP. Di awal UU BHP tegas disebutkan bahwa lembaga pendidikan adalah nirlaba. "Badan hukum pendidikan justru berpihak pada mahasiswa miskin," katanya. Dengan BHP, setiap perguruan tinggi negeri hanya boleh memungut maksimal sepertiga biaya operasional pendidikan. Apalagi, UU BHP mewajibkan perguruan tinggi memberi kuota 20% bagi mahasiswa miskin. UU BHP, kata Anwar, juga mewajibkan perguruan tinggi mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan kepada mahasiswa tak mampu. Beasiswa itu ditanggung pemerintah pusat, daerah, dan badan hukum pendidikan. Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, pun menyatakan bahwa UU BHP tak bertentangan dengan UUD 45. Namun ia mempersilakan mereka yang tak setuju untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Dengan begitu, akan diketahui apakah UU BHP melegalkan komersialisasi pendidikan atau tidak," ujarnya. Meski dalam UU BHP tidak tergambar ada komersialisasi, pakar pendidikan Arief Rahman meminta agar pelaksanaan UU BHP diawasi secara ketat untuk mencegah terbentuknya komersialisasi pendidikan. "Ini yang saya sangat khawatirkan," kata Arief kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra. Menurut Arief, harus ada jaminan bahwa anak miskin tapi cerdas bisa diterima secara gratis di perguruan tinggi yang menerapkan BHP. Sebagai jalan keluar, setiap perguruan tinggi harus menerapkan subsidi silang untuk membiayai anak miskin tapi cerdas. Selain itu, perguruan tinggi juga mesti aktif mencari anak-anak berbakat dari sekolah di seluruh pelosok negeri. Adalah fakta yang tidak bisa dihindari, mutu sekolah di kota besar yang memiliki fasilitas dan biaya tinggi dengan di daerah miskin sangat berbeda. Namun bukan berarti anak-anak daerah tidak punya kemampuan intelektualitas tinggi. Nah, tugas pemerintah dan perguruan tinggi untuk memandu anak-anak berbakat dari sekolah kurang bermutu itu agar bisa mengimbangi produk sekolah menengah berbiaya tinggi dan fasilitas maksimal itu. Karena itu, Arief mengingatkan, jangan sampai terjadi seperti pada saat ini: anak yang berprestasi sedang tapi kaya menggusur anak miskin yang cerdas. "Kalau ini yang terjadi, maka UU BHP akan menjadi ancaman serius bagi siswa yang miskin tapi pintar," ujarnya. M. Agung Riyadi dan Bernadetta Febriana [Laporan Khusus, Gatra Nomor 8 Beredar Kamis, 1 Januari 2009] [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]