[yonsatu] Kisah dari Negeri China

2003-02-24 Terurut Topik Syafril Hermansyah
Hallo Gank!

Minggu lalu saya ketemu sepupu saya yg lama tidak jumpa dalam acara
keluarga.
Sepupu saya ini punya hobi yg sama dg saya sejak kecil, y.i. baca buku
cerita silat china .
Saat ngobrol, sempat menyinggung soal negara Singapura, dan ternyata ada
contoh mirip dg itu di salah satu buku silat china yg berjudul 'Kisah
Memanah Burung Rajawali'.

Alkisah Pendekar Kwee Cheng yg diangkat menjadi mantu oleh Jengis Khan
memanggil gurunya ke Monggolia agar bisa memberikan pelajaran kepada
bangsa Monggolia.
Stl bbr lama mengajar disana, bertanyalah Kwee Cheng kepada gurunya
mengenai bagaimana pandangannya ttg bangsa Monggolia.
Jawab gurunya ' Bangsa Monggol adalah bangsa biadab, tidak berbudaya spt
halnya bangsa Chin; akan tetapi bangsa ini sangat kuat karena baik
rakyat maupun pemimpinnya mau bekerja, belajar, bersatu padu untuk
mencapai angan-2x nya. Kalau saja bangsa ini menyerang ke Selatan,
bangsa Chin akan digilasnya habis ...'.

BTW. Supupu saya ini seorang PNS sejak lulus sekolah, dan sempat ngomong
sambil becanda '..enak pindah ke singapura kali ya...'. Saya tanya
kenapa begitu, dijawab 'krn disana ada pemerintahnya..' sembari saya
ditinggal pergi ambil piring utk makan malam :-)

-- 
syafril
---
Syafril Hermansyah


--[YONSATU - ITB]--
Online archive : 
Moderators : 
Unsubscribe: 
Vacation   : 




[yonsatu] Re: Obligasi Rekap

2003-02-24 Terurut Topik Syafril Hermansyah
On Tue, 25 Feb 2003 14:01:25 +0700 Abas F Soeriawidjaja (AFS) wrote:

> Wah, Bung Syafril. Merinding saya membaca tulisan ini.

Saya mendengar langsung wawancaranya di radio (elshinta, jakarta news),
dan jadi ngeri juga, rasanya jadi ingin imigrasi ajah :-(

Kehebatan Kwik (kalau saya boleh bilang begitu) adalah dia bisa
mengungkapkan hal-2x rumit menjadi sederhana, gampang dicerna oleh orang
awam. Misalkan saja soal obilgasi rekap ini, kalau bukan mendengar
penjelasan dia, saya nggak mudeng inti masalahnya shg banyak pengamat
ekonomi yg keberatan dg divestasi bank-2x Rekap (BCA, Niaga, Danamon
dll).

> Kenapa ya,Tidak ada yang mencalonkan Kwik Kian Gie menjadi Gubernur BI
> ? Apakah seorang seperti Kwik ini kuat dan gagah berbicara ketika yang
> bersangkutan diluar system saja ? Dan kalau beliau berada di dalam
> system perilakunya akan berubah ?

Pernah ada wawancara di Jakarta News yg mengetengahkan masalah 'mengapa
kader-2x muda yg bagus-2x semasa mahasiswa menjadi "berubah" setelah di
Pemerintahan'. Misalkan saja Akbar Tanjung, Hery Achmadi, Dorodjatun,
Rizal Ramli dll.

> Sekarang beliau duduk sebagai Mentri Negara Perencanaan
> Pembangunan/Bappenas, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan hal-hal
> yang sehubungan dengan jabatannya itu maupun dengan Bappenas.

Yg dia ungkapkan itu sebagian temuan dari deputinya di Bappenas.

> Apakah beliau ini hanya canggih untuk "looking outward" saja atau
> "only good on looking beyond his own fence"
> Berkali-kali saya membaca tulisannya dan saya berkesimpulan bahwa
> beliau sangat mengetahui problem-problem yang dihadapi oleh ekonomi
> Indonesia bahkan juga dengan memberi alternatif2 solusinya.

Drajat Wibowo dan team indef bahkan punya usulan kongkrit soal obligasi
rekap ini, akan tetapi orang-2x terkait (mis. dari danareksa) bilang
'tidak feasible'.

> Tetapi yang paling mengherankan saya, dia berada dipusat kekuasaan
> tetapi mengapa dia tidak dapat berbuat ataukah dia tidak diberi
> kesempatan untuk berbuat?
> Atau ia hanya seorang analis saja semata and nothing else 
> So, why???

Dari Diskusi di radio yg saya kemukakan diatas, kesimpulan sementara yg
didapat adalah 'orang-2x bagus itu kalah melawan birokrasi'.

BTW. Human being by nature akan defense utk mempertahankan status quo,
perlu orang 'kuat' utk mendobrak hal itu. 

-- 
syafril
---
Syafril Hermansyah


--[YONSATU - ITB]--
Online archive : 
Moderators : 
Unsubscribe: 
Vacation   : 




[yonsatu] Re: Obligasi Rekap

2003-02-24 Terurut Topik Abas F Soeriawidjaja
Wah, Bung Syafril. Merinding saya membaca tulisan ini.
Kenapa ya,Tidak ada yang mencalonkan Kwik Kian Gie menjadi Gubernur BI ?
Apakah seorang seperti Kwik ini kuat dan gagah berbicara ketika yang
bersangkutan diluar system saja ? Dan kalau beliau berada di dalam system
perilakunya akan berubah ?
Sekarang beliau duduk sebagai Mentri Negara Perencanaan
Pembangunan/Bappenas, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan hal-hal yang
sehubungan dengan jabatannya itu maupun dengan Bappenas.
Apakah beliau ini hanya canggih untuk "looking outward" saja atau "only good
on looking beyond his own fence"
Berkali-kali saya membaca tulisannya dan saya berkesimpulan bahwa beliau
sangat mengetahui problem-problem yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia
bahkan juga dengan memberi alternatif2 solusinya.
Tetapi yang paling mengherankan saya, dia berada dipusat kekuasaan tetapi
mengapa dia tidak dapat berbuat ataukah dia tidak diberi kesempatan untuk
berbuat?
Atau ia hanya seorang analis saja semata and nothing else 
So, why???



- Original Message -
From: "Syafril Hermansyah" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Monday, February 24, 2003 11:36 PM
Subject: [yonsatu] Obligasi Rekap


> Tanggapan Soal Obligasi Rekapitalisasi
>
> Kwik Kian Gie
>
> Di Suara Pembaruan tanggal 10 Februari 2003, Sdr Elvin Masassya
> menanggapi artikel saya yang dimuat di harian Kompas tanggal 10 Februari
> 2003 juga.
>
> Seluruh Kabinet Gotong Royong mengetahui bahwa lambat laun masalah
> Obligasi Rekapitalisasi (OR) sudah menjadi obsesi dan setiap kali ingat
> membuat saya tertekan (depressed). Hal ini antara lain juga disebabkan
> dalam pekerjaan saya yang bertanggung jawab ikut serta dalam penyusunan
> anggaran negara, terutama anggaran pembangunannya, setiap kali menangis
> mendengarkan penderitaan saudara-saudara sebangsa setanah air kita yang
> miskin dan menderita karena sakit, karena tergusur (displaced) berkenaan
> dengan musibah banjir, jiwanya terancam karena terjadi kerusuhan,
> menganggur, hidup di tumpukan sampah yang penuh dengan kuman, dan
> sebagainya.
>
> Mereka ini menurut konstitusi kita sama-sama pemilik dari bumi, air dan
> segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Saya juga menangis membaca
> laporan Deputi saya betapa sekitar paling sedikit 50% dari infrastruktur
> kita sudah rusak berat dan tidak punya cukup uang untuk membenahinya.
> Menangis dan juga terkejut betapa TNI/Polri ternyata harus menjerit
> karena lumpuhnya persenjataan dan minimnya gaji para anggotanya.
>
> Yang membuat saya menjadi tertekan adalah jumlah uang yang mereka
> butuhkan untuk kesemuanya ini berkisar antara puluhan sampai ratusan
> miliar rupiah. Memang ada yang sampai beberapa triliun. Tetapi jauh di
> bawah angka-angka yang dibutuhkan untuk memberi subsidi kepada bank-bank
> yang sebenarnya secara finansial dan komersial sudah bangkrut, tetapi
> dipertahankan dengan subsidi dalam jumlah uang yang tidak pernah ada
> taranya dalam sejarah subsidi mensubsidi. Kesemuanya ini membuat saya
> dan banyak kawan lainnya memaksa diri terus-menerus mencari solusi
> bagaimana uang yang demikian banyaknya dapat dihemat.
>
> Pembayaran OR
>
> Pikiran saya tidak terlepas dari percakapan dengan Stanley Fischer dan
> Hubert Neiss ketika program merekap bank-bank kategori B sedang
> diberlakukan. Ketika itu saya menanyakan bagaimana cara pemerintah
> membayar jumlah uang yang begitu besar? Olehnya dijawab bahwa OR itu
> tidak dimaksud untuk dibayar, karena OR dipakai sebagai instrumen untuk
> mencapai dua tujuan. Yang pertama supaya bank serta merta memenuhi
> kecukupan modal atau CAR yang dipersyaratkan (ketika itu 4%). Sekaligus
> OR juga mengakibatkan pendapat- an bunga bagi bank rekap sehingga serta
> merta juga membuat bank yang rugi menjadi laba.
>
> Tentang pembayaran OR oleh pemerintah dikatakan bahwa seiring dengan
> membaiknya perekonomian pada umumnya, bank-bank juga akan mampu menarik
> deposito dari masyarakat dan menyalurkannya kepada dunia usaha dengan
> spread yang positif. Spread positif ini akan melampaui keseluruhan
> komponen biaya sehingga akan terciptakan laba neto. Laba neto ini
> memperbesar CAR sampai melampaui angka yang dipersyaratkan. Modal ekuiti
> diturunkan dengan cara menurunkan nilai OR yang senilai itu juga. Karena
> OR sudah musnah dalam pembukuan, fisiknya dikembalikan kepada
> pemerintah. Lambat laun dan setapak demi setapak OR akan habis. Jadi
> bank akan dapat mengembalikan OR atas kekuatannya sendiri membuat laba
> dan dari laba ini OR dikembalikan.
>
> Seterusnya bank beroperasi tanpa perolehan bunga dari OR, tetapi dari
> spread positif yang melampaui keseluruhan biaya operasional bank.
> Setelah itu barulah bank dijual. Bank yang dijual sudah terbebas dari
> subsidi oleh pemerintah. Kalau belum, seperti halnya dengan BCA, laba
> neto BCA 100% datangnya dari bunga OR walaupun sudah menjadi milik
> swasta. Sebagian dari laba neto ini dibagikan sebagai dividen. Ini tentu
> bukan maksudnya. S

[yonsatu] Ekonomi Mikro, pelajaran dari Thailand

2003-02-24 Terurut Topik Syafril Hermansyah
SUARA PEMBARUAN DAILY
Ekonomi Mikro Kunci Thailand Keluar dari Krisis

JAKARTA - Penguatan ekonomi mikro di tingkat masyarakat merupakan kunci
utama Thailand keluar dari krisis ekonomi yang melanda negeri tersebut
pertengahan tahun 1997. Bergeraknya roda perekonomian di level
masyarakat tersebut telah mendorong pertumbuhan ekonomi Thailand sebesar
lima persen di luar ekspor.

Hal ini dikatakan Deputi Perdana Menteri Thailand, Kon Dabbaransi, saat
bertemu Kadin Indonesia di Jakarta, Rabu (19/2).

Kon Dabbaransi mengatakan, Pemerintah Thailand di bawah Perdana Menteri
Taksin merumuskan suatu program pinjaman dana bergulir bagi masyarakat
pedesaan. Caranya, masyarakat desa diberi pinjaman dana tanpa bunga
sebesar satu juta baht per desa.

Penggunaan dana tersebut sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat desa
tersebut. ''Entah mereka mau beli televisi, sepeda motor atau apa pun
yang mereka inginkan, pemerintah tidak campur tangan,'' ujarnya.

Ternyata, lanjutnya, dana tersebut dibelanjakan oleh masyarakat baik itu
sepeda motor, alat-alat elektronik, dan sebagainya. Hal ini membuat
produksi meningkat dan dampaknya pemerintah mendapatkan nilai tambah
dari pajak sebesar tujuh persen.

Mereka juga merancang program One Tambon One Product. Program ini
mewajibkan satu tambon (sub district/ terdiri dari 10 desa) memproduksi
satu produk. Pemasaran produk hasil kreasi masyarakat ini dikelola oleh
pemerintah provinsi. Hasilnya, mereka memiliki banyak sekali produk
hasil kreasi masyarakat, yang bukan saja dipasarkan di dalam negeri tapi
juga diekspor.

Selain itu, untuk menggerakkan roda perekonomian di sektor mikro
tersebut, pemerintah juga mendirikan bank UKM (Usaha Kecil Menengah)
dengan dana awal sebesar US$ 50 juta. Bank tersebut berfungsi memberikan
kredit kepada UKM dengan bunga sangat rendah sehingga UKM yang perlu
modal bisa terlayani.

Ternyata, hal ini sangat membantu sehingga UKM di negeri tersebut tumbuh
subur, bahkan sekarang ini tersebar merata di seluruh Thailand. Sejalan
dengan itu, aset bank UKM ini bertambah besar menjadi sekitar US$ 500
juta.

Ia menjelaskan, keberhasilan Thailand mengatasi krisis dan membangun
kembali ekonominya dengan menggerakan perekonomian rakyat bisa menjadi
contoh bagi Indonesia. ''Tidak mustahil program sejenis ini diterapkan
di Indonesia. Saya yakin, ini bisa dilakukan di Indonesia,'' katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Kadin Indonesia Aburizal Bakrie mengatakan,
Indonesia ke depan haruslah mengubah pola pembangunan ekonominya dari
makro ke mikro.

Aburizal Bakrie menjelaskan, kestabilan ekonomi makro memang penting,
tetapi jauh lebih penting membangun ekonomi mikro. Sebab, dengan
tumbuhnya ekonomi mikro maka stabilitas makro pun akan terjaga dengan
baik.

Ia melihat keberhasilan Thailand yang bisa mencapai pertumbuhan ekonomi
sebesar lima persen tahun lalu hanya dengan membangun ekonomi mikro dan
memanfaatkan pasar domestik, dapat ditiru. ''Pembangunan ekonomi kita
perlu penekanan pada bisnis-bisnis kecil dari desa yang berkembang bagus
menuju ke nasional,'' tandasnya. (N-3)

Last modified: 20/2/2003

-- 
syafril
---
Syafril Hermansyah

--[YONSATU - ITB]--
Online archive : 
Moderators : 
Unsubscribe: 
Vacation   : 




[yonsatu] Obligasi Rekap

2003-02-24 Terurut Topik Syafril Hermansyah
Tanggapan Soal Obligasi Rekapitalisasi

Kwik Kian Gie

Di Suara Pembaruan tanggal 10 Februari 2003, Sdr Elvin Masassya
menanggapi artikel saya yang dimuat di harian Kompas tanggal 10 Februari
2003 juga.

Seluruh Kabinet Gotong Royong mengetahui bahwa lambat laun masalah
Obligasi Rekapitalisasi (OR) sudah menjadi obsesi dan setiap kali ingat
membuat saya tertekan (depressed). Hal ini antara lain juga disebabkan
dalam pekerjaan saya yang bertanggung jawab ikut serta dalam penyusunan
anggaran negara, terutama anggaran pembangunannya, setiap kali menangis
mendengarkan penderitaan saudara-saudara sebangsa setanah air kita yang
miskin dan menderita karena sakit, karena tergusur (displaced) berkenaan
dengan musibah banjir, jiwanya terancam karena terjadi kerusuhan,
menganggur, hidup di tumpukan sampah yang penuh dengan kuman, dan
sebagainya.

Mereka ini menurut konstitusi kita sama-sama pemilik dari bumi, air dan
segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Saya juga menangis membaca
laporan Deputi saya betapa sekitar paling sedikit 50% dari infrastruktur
kita sudah rusak berat dan tidak punya cukup uang untuk membenahinya.
Menangis dan juga terkejut betapa TNI/Polri ternyata harus menjerit
karena lumpuhnya persenjataan dan minimnya gaji para anggotanya.

Yang membuat saya menjadi tertekan adalah jumlah uang yang mereka
butuhkan untuk kesemuanya ini berkisar antara puluhan sampai ratusan
miliar rupiah. Memang ada yang sampai beberapa triliun. Tetapi jauh di
bawah angka-angka yang dibutuhkan untuk memberi subsidi kepada bank-bank
yang sebenarnya secara finansial dan komersial sudah bangkrut, tetapi
dipertahankan dengan subsidi dalam jumlah uang yang tidak pernah ada
taranya dalam sejarah subsidi mensubsidi. Kesemuanya ini membuat saya
dan banyak kawan lainnya memaksa diri terus-menerus mencari solusi
bagaimana uang yang demikian banyaknya dapat dihemat.

Pembayaran OR

Pikiran saya tidak terlepas dari percakapan dengan Stanley Fischer dan
Hubert Neiss ketika program merekap bank-bank kategori B sedang
diberlakukan. Ketika itu saya menanyakan bagaimana cara pemerintah
membayar jumlah uang yang begitu besar? Olehnya dijawab bahwa OR itu
tidak dimaksud untuk dibayar, karena OR dipakai sebagai instrumen untuk
mencapai dua tujuan. Yang pertama supaya bank serta merta memenuhi
kecukupan modal atau CAR yang dipersyaratkan (ketika itu 4%). Sekaligus
OR juga mengakibatkan pendapat- an bunga bagi bank rekap sehingga serta
merta juga membuat bank yang rugi menjadi laba.

Tentang pembayaran OR oleh pemerintah dikatakan bahwa seiring dengan
membaiknya perekonomian pada umumnya, bank-bank juga akan mampu menarik
deposito dari masyarakat dan menyalurkannya kepada dunia usaha dengan
spread yang positif. Spread positif ini akan melampaui keseluruhan
komponen biaya sehingga akan terciptakan laba neto. Laba neto ini
memperbesar CAR sampai melampaui angka yang dipersyaratkan. Modal ekuiti
diturunkan dengan cara menurunkan nilai OR yang senilai itu juga. Karena
OR sudah musnah dalam pembukuan, fisiknya dikembalikan kepada
pemerintah. Lambat laun dan setapak demi setapak OR akan habis. Jadi
bank akan dapat mengembalikan OR atas kekuatannya sendiri membuat laba
dan dari laba ini OR dikembalikan.

Seterusnya bank beroperasi tanpa perolehan bunga dari OR, tetapi dari
spread positif yang melampaui keseluruhan biaya operasional bank.
Setelah itu barulah bank dijual. Bank yang dijual sudah terbebas dari
subsidi oleh pemerintah. Kalau belum, seperti halnya dengan BCA, laba
neto BCA 100% datangnya dari bunga OR walaupun sudah menjadi milik
swasta. Sebagian dari laba neto ini dibagikan sebagai dividen. Ini tentu
bukan maksudnya. Subsidi dimaksud untuk menyehatkan bank, bukan untuk
membagi dividen kepada pemilik swasta.

OR sebagai instrumen yang dimaksud oleh Stanley Fisher dan Hubert Neiss
seperti yang dijelaskan tadi pelaksanaannya berbeda, terutama setelah
mereka tidak lagi di IMF. Jadinya adalah seperti yang sekarang ini
dengan beban luar biasa beratnya.

Tentang instrumen yang saya usulkan sebagai pengganti OR yang ternyata
lain pelaksanaannya dengan ide awal Stanley Fischer dan Hubert Neiss
tidak terlepas dari pikiran Paul Volcker. Seperti kita ketahui, BPK
melaporkan bahwa dari Rp 114,54 triliun BLBI yang dikucurkan oleh BI,
95,78% tidak dapat dipertanggungjawabkan. Timbul masalah bahwa kalau BI
harus menanggungnya, BI akan mengalami Modal Ekuiti negatif yang sangat
parah yang sama saja dengan bangkrut.

Setelah sangat lama tidak ada penyelesaiannya, Menko Perekonomian
Dorodjatun minta bantuan nasihat dari Paul Volcker, mantan Gubernur Bank
Sentral AS. Paul Volcker menganjurkan supaya Modal Ekuiti BI yang
negatif itu dijadikan positif dengan cara injeksi oleh Departemen
Keuangan. Tidak dengan uang tunai, melainkan dengan instrumen yang
dinamakan Capital Maintenance Note.

Kertas ini mengandung angka yang dipasang sesuai dengan kebutuhan. Tidak
mengandung kewajiban membayar bunga oleh BI.

Tetapi kalau BI mau membayar bunga dan mampu juga