[Keuangan] Undangan Rangkaian Acara LPPM Atma Jaya

2010-08-30 Terurut Topik Prasetyantoko
Rangkaian Acara 
“Indonesia Menyongsong 2011 : Tantangan dan Peluang”
Menapaki akhir tahun 2010 ini, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 
(LPPM) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya memiliki tiga rangkaian acara 
dengan tema besar “Indonesia Menyongsong 2011 : Tantangan dan Peluang”. Acara 
meliputi diskusi aktual dengan tajuk “Arsitektur Finansial Indonesia 
Menyongsong 
Perekonomian 2011”, pada bulan September. Diikuti dengan launching buku pada 
bulan Oktober dan diakhiri dengan seminar besar “Indonesia Outlook 2011”, 
dengan 
fokus “Social Investment and Competitiveness: Indonesia 2011”. 

Kegiatan I : Diskusi Aktual 
 
Krisis finansial yang mendera perekonomian Amerika Serikat (AS) dan 
negara-negara maju lainnya pada 2007/2008 lalu menjadi momentum penting bagi 
reformasi sistem finansial secara global. Di AS, Presiden Barrack Obama 
berhasil 
mengesahkan UU Reformasi Keuangan (Financial Reform Bill). 

Di dalam negeri, kita juga sedang menghadapi persoalan reformasi kelembagaan 
sistem keuangan, khususnya terkait dengan RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 
Sebenarnya, gagasan pembentukan otoritas ini memiliki konteks yang lebih 
panjang, terkait dengan krisis 1997/1998 lalu. Pembentukan lembaga pengawasan 
sektor jasa keuangan merupakan amanat UU 3/2004 Bank Indonesia (BI), khususnya 
pasal 34 ayat (1), yang mengatakan bahwa selambat-lambatnya 31 Desember 2010, 
“tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa 
keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”.
Tentu saja, amanat UU tersebut memiliki konteks sejarah, yaitu krisis 1997/1998 
di mana dunia perbankan mengalami persoalan sangat serius. Pada waktu itu, 
ketika UUNo. 23 Tahun1999 yang mengatur independensi Bank Indonesia (BI) 
disusun, terdapat klausul mengenai pembentukan otoritas jasa keuangan di luar 
BI. Setelah lebih dari 10 tahun krisis, hingga kini lembaga itu belum juga 
terbentuk.
Diskusi akan fokus pada beberapa pertanyaan berikut ini:
1.  Mendesakkah pembentukan OJK setelah lebih dari 10 tahun mengalami 
krisis? Apakah konteksnya masih sama atau sebenarnya sudah berubah, sehingga 
justru kurang relevan? Dan apakah ada UU lain yang sebenarnya lebih mendesak, 
seperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK)?
2.  Jika memang kita sepakat untuk memenuhi amanat UU tersebut, 
bagaimanakah 
format yang ideal? Benarkah struktur kelembagaan yang diusulkan pemerintah 
sudah 
relevan, atau ada alternatif lain yang perlu digali? 

3.  Bagaimana tanggapan dunia perbankan sendiri, sebagai pihak yang akan 
menanggung “biaya” finansial dan non-finansial (koordinasi) dari penerapan OJK?
Pembicara 
1.  Dr. Rofikoh Rokhim, Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 
(FE-UI) dan Ekonom Harian Bisnis Indonesia.
2.  Ryan Kiryanto, Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk
3.  Yanuar Rizky, Pengamat Pasar Modal
4.  Dr. Ir. Arief Budimanta, MSc.,anggota DPR Fraksi PDIP 
Host: Dr. A. Prasetyantoko, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 
(LPPM), Unika Atma Jaya
Diselenggarakan oleh LPPM bekerja sama dengan Banking and Finance Working Group 
– Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya
 
Waktu : Rabu, 01 September 2010, Pukul 15.30 – 18.00 (Ditutup dengan Buka Puasa 
Bersama)
Tempat : Gedung Yustinus Lantai 14, Unika Atma Jaya, Jakarta (Bagi yang 
menggunakan kendaraan pribadi disarankan untuk parkir di parkir Gedung 
Yustinus, 
masuk lewat pintu belakang, Jl.Garnisun).  

 
Pendaftaran: menghubungi Yunti/Siwi/Tarno di Telp/Fax 021 – 5727461, 
Telp.021-5703306, 5727615 psw 427/139 (Segera mendaftar, tempat Terbatas!!!)


  

[Non-text portions of this message have been removed]



[Keuangan] Undangan Seminar ACFTA

2010-03-07 Terurut Topik Prasetyantoko
Seminar Nasional 
“Peningkatan Daya Saing dan Kesiapan UKM Menghadapi ACFTA”
Kampus Unika Atma Jaya, 17 Maret 2010
 
Acara dalam rangka 
Menyongsong Atma Jaya Emas 
(1 Juni 1960 – 1 Juni 2010)
 
 
Latar Belakang
 
Diberlakukannya kesepakatan pasar bebas ASEAN – China (ASEAN China Free Trade 
Agreement – ACFTA) pada 1 Januari 2010 telah menimbulkan banyak reaksi dan 
bahkan kontroversi dalam masyarakat. Hampir semua kalangan menilai Indonesia 
cenderung tidak siap menghadapi perdagangan bebas, terutama dengan China. Dari 
kalangan industri, para pelaku usaha di sektor manufaktur beraksi paling keras 
dengan menuntut pemerintah melakukan penundaan terhadap kesepakatan tersebut. 
Di kalangan wakil rakyat (DPR), ada diskusi mengenai rencana pembentukan 
panitia kerja (panja), bahkan tidak menutup kemungkinan pembentukan panitian 
khusus (Pansus), terkait dengan kesepakatan ACFTA ini. 
 
Bagi kalangan akademisi/intelektual, ketidaksiapan Indonesia menghadapi ACFTA 
ini bukanlah isu baru. Meskipun demikian, ada sebuah kemendesakan/urgensi yang 
membutuhkan peran semua kalangan guna menghadapi tantangan tersebut. Memang 
langkah yang diperlukan sangat konkrit, tetapi tetap membutuhkan pemikiran dari 
berbagai kalangan, agar bisa terjadi sinergi yang berakumulasi menjadi gerakan 
positif mengantisipasi ACFTA tersebut. 
 
Pemerintah sudah memutuskan untuk melakukan renegosiasi terhadap 228 pos tarif 
yang dinilai mengalami persoalan serius. Renegosiasi terhadap beberapa pos 
penting merupakan langkah jangka pendek yang memang diperlukan, namun hal yang 
lebih mendasar adalah mempersiapkan daya saing perekonomian kita dalam jangka 
menengah – panjang. Di samping itu, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar 
sektor usaha kita adalah Usaha Menengah Kecil dan Mikro. Untuk itu, dalam 
rangka menghadapi ACFA, melihat peran mereka menjadi sangat penting. 
 
Dalam Global Competitiveness Index (GCI) 2009 – 2010, peringkat Indonesia naik 
menjadi 54 dari posisi 55 pada GCI 2008 – 2009. Sementara, Malaysia berada di 
peringkat 24, Singapura 3, Thailand 36, China 29. Dibandingkan dengan sesama 
negara ASEAN, daya saing kita relatif rendah. Rendahnya daya saing tidak 
terjadi seketika, melainkan merupakan hasil dari evolusi kebijakan industrial 
yang diambil oleh pemerintah sejak dulu. Dalam Global Competitiveness Report 
2009 – 2010  tersebut dijelaskan bahwa ada tiga hal utama kelemahan 
perekonomian Indonesi. Pertama, buruknya infrastruktur (peringkat 84) terutama 
pelabuhan (peringkat 95) dan jalan (peringkat 94). Kedua, rendahnya kesehatan 
masyarakat, ditandai masih banyaknya penyakit TBC dan malaria, serta masih 
tingginya angka kematian bayi. Ketiga, kesiapan teknologi (peringkat 88). 
 
Laporan oleh Tim dari Indonesia Program, Rajawali Foundation Institute for 
Asia, Ash Center for Democratic and Innovation, Harvard Kennedy School (HKS) 
menjelaskan dengan lebih rinci, bahwa tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia 
hanya setengah dari Malaysia dan Singapura. Demikian pula jumlah jalan tol di 
Indonesia hanya separuh dari jalan tol di Malaysia. Laporan ini juga 
mengidentifikasi bahwa sektor usaha menengah di Indonesia sangat rapuh, bahkan 
tidak terbentuk (missing middle). Sektor usaha di Indonesia terdiri dari 
pengusaha besar (konglomerasi) dan UMKM. 
 
Data Kementrian Koperasi dan UMKM menyebutkan bahwa pada tahun 2008, sebesar 
99,99 persen pelaku usaha di Indonesia adalah Kecil-Menengah-Mikro. Sisanya 
perusahaan besar. Sektor tersebut menyerap tenaga kerja 97,4% dari total tenaga 
kerja di Indonesia. Sementara kontribusinya terahadap perekonomian (PDB) 
sebesar 55,56% dan kontribusi terhadap ekspor (non-migas) sebesar 20,17%.
 
Tujuan Seminar 
 
Seminar ini bertujuan secara spesifik menemukan titik terang mengenai langkah 
jangka pendek, menengah dan panjang dalam rangka mengantisipasi liberalisasi 
perdagangan, khususnya ACFTA. 
1. Kebijakan-kebijakan jangka pendek seperti apa yang dibutuhkan untuk 
mengantisipasi ACFTA
2. Bagaimana kebijakan jangka menengah-panjang harus dirancang guna 
meningkatkan daya saing perekonomian nasional
3. Bagaimana peluang dan tantangan serta kesiapan sektor UKM menghadapi 
ACFTA
4. Bagaimana Indonesia dalam peta perdagangan dan ekonomi dunia pada 
5/10 tahun mendatang
 
Acara : Seminar Nasional bertajuk “Peningkatan Daya Saing Perekonomian dan 
Kesiapan UKM Menghadapi ACFTA”
 
Pembicara Utama :
1.   Dr. Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan RI
2.   Dr. H. Syarifuddin Hasan, SE. MM. MBA, Menteri Negara Koperasi dan UKM 
RI
 
Penanggap 
1.   Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M., Dekan FH Unpar
2.   Dr. Firmanzah, Dekan FE-UI 
3.   Dr. A.Prasetyantoko, Ketua LPPM Unika Atma Jaya
Moderator : Arief Budisusilo , Pemimpin Redaksi Harian Bisnis Indonesia
 
 
 
 
Tempat :
Yustinus Lantai 15, Unika Atma Jaya Jakarta
 
Waktu : Rabu, 17 Maret 2010, Pukul 13.00 – 16.00
 
Susunan Acara
1.   Makan Siang bersama 12.00 – 13.00 di 

[Keuangan] LPPM Atma Jaya on Triple-helix Innovation System

2009-11-10 Terurut Topik Prasetyantoko
The Institute for Research and Community Services (LPPM)   The Graduate School 
of Business (MM) at Atma Jaya Catholic University, Jakarta invites you to 
attend the half-day discussion on:
Building Triple-helix Innovation System in Indonesia: Managing collaborations 
of university-industry-government to enhance productivity of the nation

Resource persons:

1. Dr. Yanuar Nugroho, Manchester Institute of Innovation Research, Manchester 
Business School, the University of Manchester, United Kingdom
Topic: Systems of innovation, triple-helix and development policy: Some lessons 
learned for Indonesia.

2. Argo Wibowo, Founder of WWComm creative agency; former head of trade 
marketing, Samsung Indonesia; Former director of DDB Beyond, a multinational 
consumer activation agency.
Topic: ”Innovative strategy to market innovative products: lessons learned from 
Sony Ericson case in Indonesia”

Moderator : Dr. A. Prasetyantoko. 

Date : Wednesday, 11 November 2009
Time : 13.30 – 17.00
Venue : Aula D, Unika Atma Jaya

For reservations:
Yunti  Siwi, LPPM Unika Atma Jaya, Jalan Sudirman 51, Jakarta 12930
Tel./Fax: (021) 572-7461; Tel. (021) 572-7615 - 19 psw 139  427
Email: eric.sant...@gmail.com


Innovation through the creation, diffusion and use of knowledge has become a 
key driver for economic growth in knowledge economy. However this assumes a 
certain level of alignment between actors who play the central role: 
industries, universities, and government. The collaboration of universities, 
industries and government, often conceptualised as ‘triple-helix’ (Etzkowitz  
Leydesdorff, 2000), needs strengthening – let alone in a context like 
Indonesia. Innovation, after all, is socially and economically constructed 
rather than merely technologically or driven. 
 
No doubt that for Indonesia innovation and undertaking innovation is still a 
big challenge by all means. Let us take Research and development (RD) 
expenditure which is often used as proxy for innovativeness. In Indonesia RD 
constitutes only 0.098% of GDP in 2008, far behind the neighbouring countries 
such as Malaysia (0.69%), Singapore (2.2%) and South Korea (2.65%). The 
Indonesian government realises this fact and tries to increase its research 
budget. In 2009 up to one trillion Rupiah is allocated for RD, nearly doubling 
the 2007 figure of 531.13 billion Rupiah. This allocated budget alone however 
could not boost innovation processes without collaborative actions of 
industries and universities in conducting high quality research and 
development. Despite that RD depicts only an aspect of innovation 
undertakings, it gives us a fair indicator how innovation is performed as an 
aggregate in socio-economic development. Of course other aspects remain
 important and cannot be singled out if we are to have an effective innovation 
system.

The Graduate School of Business Management (MM) and The Institute of Research 
and Community Services (LPPM) at Atma Jaya Catholic University Jakarta will 
organise a half-day informal discussion session aiming at building common 
understanding among businesses, universities and government on the need for a 
better collaboration system to boost innovation processes. The key questions 
being addressed in the discussion are:

1. What is the role of knowledge and innovation in socio-economic growth in 
general? How does innovation work as knowledge creation, diffusion and how it 
is adopted? What processes are involved in innovation? To what extent does 
innovation contribute in product or service development processes and in 
bringing them into the market? What lessons can we learn from cases from other 
countries? Are there living examples in Indonesia where such innovation 
processes induce socio-economic growth?

2. What is ‘triple helix’ in innovation systems? What is the role of 
collaboration in innovation? What are needed to create a conducive environment 
for universities, industries and government to advance their collaborations and 
how can they benefit from such collaborations? What can we learn from 
experiences in other countries? 

3. How are such collaborations possible for Indonesia? What are and how to 
devise the strategies that are applicable in the Indonesian context? What are 
the first steps to start?

ABOUT THE RESOURCE PERSONS:

Yanuar Nugroho, PhD.
Manchester Institute of Innovation Research (MIoIR/PREST), University of 
Manchester, United Kingdom

Yanuar joined MIOIR in August 2008 as a Research Associate after completing his 
PhD and Post Doctoral research. His research interests are concerned with 
technological innovation and in particular the adoption and diffusion of 
innovations in the third sector (non-governmental and not for profit 
organisations); innovation and sustainable development; new communication media 
and social change; and knowledge dynamics.

Yanuar works both with quantitative and qualitative approaches including 
Foresight. He has extensive experience in designing

Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how?

2007-08-03 Terurut Topik Prasetyantoko
Bung WK, 
  Saya juga sedang belajar, termasuk dari posting-posting rekan-rekan di 
mailist ini. 
   
  Benar bahwa salah satu fondasi penting dari yang namanya ekonomi institusi 
adalah pemikiran Douglass North, yang menempatkan dinamika ekonomi dalam 
konteks historisitas dan konteks institusi (kebiasaan, sistem hukum, budaya 
dsb) sebuah nation. Sejauh yang saya tahu, North sedikit banyak terpengaruh 
dengan J.A. Schumpeter soal path-dependence: dinamika ekonomi di hari ini tak 
lain adalah resultante dari dinamika di masa lalu. 
   
  Tapi, bacaan yang secara lugas mengutarakan soal variasi sistem kapitalisme, 
beberapa di antaranya adalah Hall and Soskice dengan konsep VoC (variety of 
capitalism), atau Robert Boyer yang menulis buku dalam bhs Prancis dg judul 
Apa Teori tentang Kapitalisme itu Mungkin?. Teori-teori ini bermuara pada 
heterodoxy dalam ekonomi yang mencoba memberikan alternatif  terhadap 
pemikiran-pemikiran standard yang menjadi arus utama dalam ekonomi. 
   
  Saya mengikuti pemikiran-pemikiran itu, sebenarnya dalam rangka mencari 
penjelasan tentang model corporate governance. Ada mode of governance gaya 
anglo-saxon, di mana peran pasar sangat dominan, tapi ada gaya Jerman yang 
memungkinkan karyawan melakukan kontrol lewat co-determinasi, misalnya, (gaya 
hirarki) atau gaya Jepang di mana hubungan dengan creditor sangat dekat (gaya 
relasional). 
   
  Pertanyaan yang lebih konkrit, 
  Selama ini ada asumsi bhwa sistem CG menyumbang peran besar bagi terpuruknya 
ekonomi di kawasan Asia. Tetapi, mengapa Singapore dan Hon Kong yang juga punya 
mode of governance yang kira-kira sama dengan Thailand dan Indonesia (family 
based) tidak terlalu terpengaruh dengan krisis? 
   
  Nampaknya, sistem CG, pada level korporasi, tak bisa dilepaskan dari 
national governance, dan bahwa krisis punya dimensi yang sangat luas, shg 
butuh penjelasan yang lebih komprehensif, tdk sekedar faktor-faktor ekonomi 
saja. Sehingga, untuk menjelaskan krisis perlu pendekatan yang lebih bersifat 
heterodox.
   
  Begitu sedikit yang saya tahu, dan saya yakin teman-teman, baik yang terjun 
di dunia akademisi maupun praktisi, punya penjelasan yang lebih baik dan 
lengkap. Dan saya selalu ingin belajar dari teman-teman semua... 
   
  salam saya, 
  ap 

[EMAIL PROTECTED] wrote:
  Unsur lokalitas atau faktor-faktor institusi. Ini statement yang 
menarik. 
Pernyataan seperti ini sebetulnya sangat terkenal sejak tahun 1993 dengan 
penghadiahan Nobel kepada D. C. North, yang saat itu juga sedang 
gencar-gencarnya dilakukan persiapan globalisasi (Desember 1993 dilakukan 
Marakesh Round yang memutuskan rangkaian akhir Uruguay Round). Bagaimana 
kalau Bung Prasentoko mengelaborasi lebih dalam lagi tentang faktor-faktor 
insitusi dan unsur-unsur lokalitas ini?

Salam/WK

- Original Message - 
From: Prasetyantoko
To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, August 01, 2007 12:54 PM
Subject: Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how?

Setuju dengan bung Jerry,
Sistem apapun itu, tak lain adalah bentukan manusia-manusia yang ada di 
dalamnya. Meminjam istilah ilmu sosial, sistem ekonomi tak lain adalah 
konstruksi sosial. Dan konstruksi sosial selalu bersifat khas: mengandung 
unsur lokalitas atau ditentukan oleh faktor-faktor institusi di mana 
relasi sosial itu terbangun.

salam
ap



 

   
-
Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out. 

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how?

2007-08-01 Terurut Topik Prasetyantoko
Setuju dengan bung Jerry,
  Sistem apapun itu, tak lain adalah bentukan manusia-manusia yang ada di 
dalamnya. Meminjam istilah ilmu sosial, sistem ekonomi tak lain adalah 
konstruksi sosial. Dan konstruksi sosial selalu bersifat khas: mengandung 
unsur lokalitas atau ditentukan oleh faktor-faktor institusi di mana relasi 
sosial itu terbangun. 
   
  salam 
  ap
  

Jerry Matanari [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Saya hanya ingin memberi pandangan tentang liberalisme ekonomi yang 
diagung-agungkan itu.

Liberalisme, kapitalisme, sosialisme, atau apapun itu adalah paham yang 
diciptakan manusia. Naturenya: tidak akan ada yang sempurna. Sangat disayangkan 
kalau kita terlalu cepat meng-agung-agungkan suatu aliran atau dogma tanpa 
melihat dari sudut pandang yang netral dan proporsional.

Fakta menunjukkan:

1. Saat depresi ekonomi di AS tahun 30-an. Orang pun bertanya: Dimanakah 'the 
invisible hand' yang 'katanya' dulu bisa secara alami menggerakkan perekonomian 
tanpa perlu ada campur tangan pemerintah?

2.Saat kegagalan komunis yang membawa Glasnost dan Perestroika di Rusia. Orang 
pun bertanya: dimanakah mimpi kemakmuran sosial yang benar-benar sama-adil dan 
sama-merata itu? Ya. (Kenyataannya: memang jadi sama-merata sih.. sama-sama 
miskin, maksudnya)

3.Amerika Serikat yang katanya paling liberal pun, fakta nya: sangat protektif 
dengan pasar dalam negerinya. Amerika memang pandai membujuk negara lain 
(membujuk, atau memaksa? saya nda tau) untuk sesegera membuka keran pasar dalam 
negeri terhadap perdagangan bebas.

4.Cina yang katanya paling komunis pun, fakta nya: koq sekarang rada-rada 
kapitalis ya?



Ekonomi itu abu-abu, tidak pernah merupakan persoalan hitam-putih.



Salam Keuangan,
Jerry






Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how?

2007-07-31 Terurut Topik Prasetyantoko
Sekedar nimbrung,
  Setuju: tidak ada yang lebih baik dari economic liberty dan kemudian 
political liberty. Pertanyaan: kebebasan yang macam apa/mana? Kalau menganggap 
kita harus seperti sebuah ideal type dan bukan berbasis atas realitas tertentu, 
maka kita masih di jaman Rostow. 
   
  Pertanyaan yang lebih serius, adakah sebuah format (teori) tentang 
kapitalisme? Jawabannya menjadi relatif: kapitalisme macam apa yg terjadi di 
mana? Maka kebebasan (kapitalisme) yang terjadi di US, akan berbeda dengan 
kebebasan di Eropa, Amerika Latin dan Asia. Bahkan tiap negara punya 
karakteristiknya sendiri-sendiri. 
   
  Diskusi yang lebih produktif, mungkin, adalah menemukan national 
trajectory, dan bukan rumus kebebasan. 
   
  Menarik diskusi pada satu kutup, baik itu kebebasan dan perencanaan hanya 
akan menghentikan sejarah. Krn yang terjadi adalah dialektika ke kiri dan ke 
kanan
   
  salam 
  a.prasetyantoko

Irsal Imran [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Ekonomi liberti itu mungkin bisa diibaratkan sebagai jalan tol 
dimana mulai dari Ferrari sampai becak siap berlomba kecepatan :{). 
Tentu saja hasilnya adalah Ferrari akan meninggalkan becak jauh di 
belakang. Akan tetapi kalau pemerintah punya nyali mereka bisa 
minta bantuan Ferrari supaya yang becaknya tidak jauh ketinggalan, 
dari pada Ferrarinya dikasih rambu tidak boleh jalan di atas 60 
km/jam :{).

salam,

-Irsal
Senior Financial Engineer
http://www.fiserv.com

--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, mr_w4w [EMAIL PROTECTED] 
wrote:

 
 Yes, Economic liberty atau Economic freedom atau Free market 
 Capitalism adalah penggerak pertumbuhan sesungguhnya.
 
 Idealnya memang Economic Liberty (free market capitalism) 
berbarengan 
 dengan Political Liberty (Democracy).
 
 Tapi kalau mau disuruh pilih ... saya pilih Economic Liberty 
first, 
 Political Liberty menyusul.
 
 Masalah utama dengan demokrasi adalah karena publik umumnya buta 
 economy-101 .. yang muncul sebagai pemenang biasanya adalah kaum 
 populis ... yang malah suka membatas-batasi Economic Liberty.
 Punya kebun dibatasi lah, bikin pajak2 baru se-enak udelnya, 
sedikit2 
 kasih subsidi, sedikit2 intervensi ke-urusan B2B, tiap tahun 
minimum 
 wage dinaikan sampe ga masuk akal, PHK karyawan biayanya tinggi-
nya 
 bukan maen ... ya hasilnya begini
 
 Di India bertahun tahun pemilu yang menang kamu populis 
sosialis ... 
 Baru belakangan saja politisi2 pro economic liberty menang. 
 Hasilnya ... bisa dibandingkan India sekarang dengan India satu 
 dekade lalu.
 
 Contoh lain Singapore ataupun China ... 
 Meski tidak demokratis Economic Freedom di buka luas disana .. 
 hasilnya bisa dilihat sendiri 
 
 Kalau demokrasi kita berhasil menghasilkan politisi2 pro Economic 
 Liberty yang berani menentang convensional wisdom masyarakat umum 
 yang cenderung populis ... saya yakin kita bisa tumbuh lebih cepat 
 dari India ataupun China.
 
 Just my 2 cents.
 
 



 

   
-
Shape Yahoo! in your own image.  Join our Network Research Panel today!

[Non-text portions of this message have been removed]



Re: [Keuangan] Jurnal dari Myers dan Majluf

2007-07-11 Terurut Topik Prasetyantoko
Gak harus yang versi Journal of Financial Economics kan? 
  versi working paper dengan mudah bisa didownload, misalnya di:
   
  http://dspace.mit.edu/bitstream/1721.1/2068/1/SWP-1523-15376412.pdf
  
 
  salam
   
   
  
Utsman [EMAIL PROTECTED] wrote:
  Rekan,

Kebetulan saya sedang membutuhkan jurnal dari Myers dan Majluf (1984) dengan 
judul corporate financing and investment decisions when firms have information 
that investors do not have, Journal of Financial Economics.

Saya coba di EBSCO ternya tidak full text hanya abstrak saja.
Barangkali rekan-rekan mempunyai koleksi jurnal tersebut, mohon sharingnya. 
Syukur-syukur dapat softcopy.

Sebelumnya
Diucapkan Terima Kasih
Utsman
Fax 021 83709591

[Non-text portions of this message have been removed]



 

   
-
Yahoo! oneSearch: Finally,  mobile search that gives answers, not web links. 

[Non-text portions of this message have been removed]