[Keuangan] Undangan Rangkaian Acara LPPM Atma Jaya
Rangkaian Acara “Indonesia Menyongsong 2011 : Tantangan dan Peluang” Menapaki akhir tahun 2010 ini, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya memiliki tiga rangkaian acara dengan tema besar “Indonesia Menyongsong 2011 : Tantangan dan Peluang”. Acara meliputi diskusi aktual dengan tajuk “Arsitektur Finansial Indonesia Menyongsong Perekonomian 2011”, pada bulan September. Diikuti dengan launching buku pada bulan Oktober dan diakhiri dengan seminar besar “Indonesia Outlook 2011”, dengan fokus “Social Investment and Competitiveness: Indonesia 2011”. Kegiatan I : Diskusi Aktual Krisis finansial yang mendera perekonomian Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju lainnya pada 2007/2008 lalu menjadi momentum penting bagi reformasi sistem finansial secara global. Di AS, Presiden Barrack Obama berhasil mengesahkan UU Reformasi Keuangan (Financial Reform Bill). Di dalam negeri, kita juga sedang menghadapi persoalan reformasi kelembagaan sistem keuangan, khususnya terkait dengan RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebenarnya, gagasan pembentukan otoritas ini memiliki konteks yang lebih panjang, terkait dengan krisis 1997/1998 lalu. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan merupakan amanat UU 3/2004 Bank Indonesia (BI), khususnya pasal 34 ayat (1), yang mengatakan bahwa selambat-lambatnya 31 Desember 2010, “tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”. Tentu saja, amanat UU tersebut memiliki konteks sejarah, yaitu krisis 1997/1998 di mana dunia perbankan mengalami persoalan sangat serius. Pada waktu itu, ketika UUNo. 23 Tahun1999 yang mengatur independensi Bank Indonesia (BI) disusun, terdapat klausul mengenai pembentukan otoritas jasa keuangan di luar BI. Setelah lebih dari 10 tahun krisis, hingga kini lembaga itu belum juga terbentuk. Diskusi akan fokus pada beberapa pertanyaan berikut ini: 1. Mendesakkah pembentukan OJK setelah lebih dari 10 tahun mengalami krisis? Apakah konteksnya masih sama atau sebenarnya sudah berubah, sehingga justru kurang relevan? Dan apakah ada UU lain yang sebenarnya lebih mendesak, seperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK)? 2. Jika memang kita sepakat untuk memenuhi amanat UU tersebut, bagaimanakah format yang ideal? Benarkah struktur kelembagaan yang diusulkan pemerintah sudah relevan, atau ada alternatif lain yang perlu digali? 3. Bagaimana tanggapan dunia perbankan sendiri, sebagai pihak yang akan menanggung “biaya” finansial dan non-finansial (koordinasi) dari penerapan OJK? Pembicara 1. Dr. Rofikoh Rokhim, Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) dan Ekonom Harian Bisnis Indonesia. 2. Ryan Kiryanto, Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk 3. Yanuar Rizky, Pengamat Pasar Modal 4. Dr. Ir. Arief Budimanta, MSc.,anggota DPR Fraksi PDIP Host: Dr. A. Prasetyantoko, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Unika Atma Jaya Diselenggarakan oleh LPPM bekerja sama dengan Banking and Finance Working Group – Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Waktu : Rabu, 01 September 2010, Pukul 15.30 – 18.00 (Ditutup dengan Buka Puasa Bersama) Tempat : Gedung Yustinus Lantai 14, Unika Atma Jaya, Jakarta (Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi disarankan untuk parkir di parkir Gedung Yustinus, masuk lewat pintu belakang, Jl.Garnisun). Pendaftaran: menghubungi Yunti/Siwi/Tarno di Telp/Fax 021 – 5727461, Telp.021-5703306, 5727615 psw 427/139 (Segera mendaftar, tempat Terbatas!!!) [Non-text portions of this message have been removed]
[Keuangan] Undangan Seminar ACFTA
Seminar Nasional “Peningkatan Daya Saing dan Kesiapan UKM Menghadapi ACFTA” Kampus Unika Atma Jaya, 17 Maret 2010 Acara dalam rangka Menyongsong Atma Jaya Emas (1 Juni 1960 – 1 Juni 2010) Latar Belakang Diberlakukannya kesepakatan pasar bebas ASEAN – China (ASEAN China Free Trade Agreement – ACFTA) pada 1 Januari 2010 telah menimbulkan banyak reaksi dan bahkan kontroversi dalam masyarakat. Hampir semua kalangan menilai Indonesia cenderung tidak siap menghadapi perdagangan bebas, terutama dengan China. Dari kalangan industri, para pelaku usaha di sektor manufaktur beraksi paling keras dengan menuntut pemerintah melakukan penundaan terhadap kesepakatan tersebut. Di kalangan wakil rakyat (DPR), ada diskusi mengenai rencana pembentukan panitia kerja (panja), bahkan tidak menutup kemungkinan pembentukan panitian khusus (Pansus), terkait dengan kesepakatan ACFTA ini. Bagi kalangan akademisi/intelektual, ketidaksiapan Indonesia menghadapi ACFTA ini bukanlah isu baru. Meskipun demikian, ada sebuah kemendesakan/urgensi yang membutuhkan peran semua kalangan guna menghadapi tantangan tersebut. Memang langkah yang diperlukan sangat konkrit, tetapi tetap membutuhkan pemikiran dari berbagai kalangan, agar bisa terjadi sinergi yang berakumulasi menjadi gerakan positif mengantisipasi ACFTA tersebut. Pemerintah sudah memutuskan untuk melakukan renegosiasi terhadap 228 pos tarif yang dinilai mengalami persoalan serius. Renegosiasi terhadap beberapa pos penting merupakan langkah jangka pendek yang memang diperlukan, namun hal yang lebih mendasar adalah mempersiapkan daya saing perekonomian kita dalam jangka menengah – panjang. Di samping itu, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar sektor usaha kita adalah Usaha Menengah Kecil dan Mikro. Untuk itu, dalam rangka menghadapi ACFA, melihat peran mereka menjadi sangat penting. Dalam Global Competitiveness Index (GCI) 2009 – 2010, peringkat Indonesia naik menjadi 54 dari posisi 55 pada GCI 2008 – 2009. Sementara, Malaysia berada di peringkat 24, Singapura 3, Thailand 36, China 29. Dibandingkan dengan sesama negara ASEAN, daya saing kita relatif rendah. Rendahnya daya saing tidak terjadi seketika, melainkan merupakan hasil dari evolusi kebijakan industrial yang diambil oleh pemerintah sejak dulu. Dalam Global Competitiveness Report 2009 – 2010 tersebut dijelaskan bahwa ada tiga hal utama kelemahan perekonomian Indonesi. Pertama, buruknya infrastruktur (peringkat 84) terutama pelabuhan (peringkat 95) dan jalan (peringkat 94). Kedua, rendahnya kesehatan masyarakat, ditandai masih banyaknya penyakit TBC dan malaria, serta masih tingginya angka kematian bayi. Ketiga, kesiapan teknologi (peringkat 88). Laporan oleh Tim dari Indonesia Program, Rajawali Foundation Institute for Asia, Ash Center for Democratic and Innovation, Harvard Kennedy School (HKS) menjelaskan dengan lebih rinci, bahwa tingkat efisiensi pelabuhan di Indonesia hanya setengah dari Malaysia dan Singapura. Demikian pula jumlah jalan tol di Indonesia hanya separuh dari jalan tol di Malaysia. Laporan ini juga mengidentifikasi bahwa sektor usaha menengah di Indonesia sangat rapuh, bahkan tidak terbentuk (missing middle). Sektor usaha di Indonesia terdiri dari pengusaha besar (konglomerasi) dan UMKM. Data Kementrian Koperasi dan UMKM menyebutkan bahwa pada tahun 2008, sebesar 99,99 persen pelaku usaha di Indonesia adalah Kecil-Menengah-Mikro. Sisanya perusahaan besar. Sektor tersebut menyerap tenaga kerja 97,4% dari total tenaga kerja di Indonesia. Sementara kontribusinya terahadap perekonomian (PDB) sebesar 55,56% dan kontribusi terhadap ekspor (non-migas) sebesar 20,17%. Tujuan Seminar Seminar ini bertujuan secara spesifik menemukan titik terang mengenai langkah jangka pendek, menengah dan panjang dalam rangka mengantisipasi liberalisasi perdagangan, khususnya ACFTA. 1. Kebijakan-kebijakan jangka pendek seperti apa yang dibutuhkan untuk mengantisipasi ACFTA 2. Bagaimana kebijakan jangka menengah-panjang harus dirancang guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional 3. Bagaimana peluang dan tantangan serta kesiapan sektor UKM menghadapi ACFTA 4. Bagaimana Indonesia dalam peta perdagangan dan ekonomi dunia pada 5/10 tahun mendatang Acara : Seminar Nasional bertajuk “Peningkatan Daya Saing Perekonomian dan Kesiapan UKM Menghadapi ACFTA” Pembicara Utama : 1. Dr. Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan RI 2. Dr. H. Syarifuddin Hasan, SE. MM. MBA, Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Penanggap 1. Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M., Dekan FH Unpar 2. Dr. Firmanzah, Dekan FE-UI 3. Dr. A.Prasetyantoko, Ketua LPPM Unika Atma Jaya Moderator : Arief Budisusilo , Pemimpin Redaksi Harian Bisnis Indonesia Tempat : Yustinus Lantai 15, Unika Atma Jaya Jakarta Waktu : Rabu, 17 Maret 2010, Pukul 13.00 – 16.00 Susunan Acara 1. Makan Siang bersama 12.00 – 13.00 di
[Keuangan] LPPM Atma Jaya on Triple-helix Innovation System
The Institute for Research and Community Services (LPPM) The Graduate School of Business (MM) at Atma Jaya Catholic University, Jakarta invites you to attend the half-day discussion on: Building Triple-helix Innovation System in Indonesia: Managing collaborations of university-industry-government to enhance productivity of the nation Resource persons: 1. Dr. Yanuar Nugroho, Manchester Institute of Innovation Research, Manchester Business School, the University of Manchester, United Kingdom Topic: Systems of innovation, triple-helix and development policy: Some lessons learned for Indonesia. 2. Argo Wibowo, Founder of WWComm creative agency; former head of trade marketing, Samsung Indonesia; Former director of DDB Beyond, a multinational consumer activation agency. Topic: ”Innovative strategy to market innovative products: lessons learned from Sony Ericson case in Indonesia” Moderator : Dr. A. Prasetyantoko. Date : Wednesday, 11 November 2009 Time : 13.30 – 17.00 Venue : Aula D, Unika Atma Jaya For reservations: Yunti Siwi, LPPM Unika Atma Jaya, Jalan Sudirman 51, Jakarta 12930 Tel./Fax: (021) 572-7461; Tel. (021) 572-7615 - 19 psw 139 427 Email: eric.sant...@gmail.com Innovation through the creation, diffusion and use of knowledge has become a key driver for economic growth in knowledge economy. However this assumes a certain level of alignment between actors who play the central role: industries, universities, and government. The collaboration of universities, industries and government, often conceptualised as ‘triple-helix’ (Etzkowitz Leydesdorff, 2000), needs strengthening – let alone in a context like Indonesia. Innovation, after all, is socially and economically constructed rather than merely technologically or driven. No doubt that for Indonesia innovation and undertaking innovation is still a big challenge by all means. Let us take Research and development (RD) expenditure which is often used as proxy for innovativeness. In Indonesia RD constitutes only 0.098% of GDP in 2008, far behind the neighbouring countries such as Malaysia (0.69%), Singapore (2.2%) and South Korea (2.65%). The Indonesian government realises this fact and tries to increase its research budget. In 2009 up to one trillion Rupiah is allocated for RD, nearly doubling the 2007 figure of 531.13 billion Rupiah. This allocated budget alone however could not boost innovation processes without collaborative actions of industries and universities in conducting high quality research and development. Despite that RD depicts only an aspect of innovation undertakings, it gives us a fair indicator how innovation is performed as an aggregate in socio-economic development. Of course other aspects remain important and cannot be singled out if we are to have an effective innovation system. The Graduate School of Business Management (MM) and The Institute of Research and Community Services (LPPM) at Atma Jaya Catholic University Jakarta will organise a half-day informal discussion session aiming at building common understanding among businesses, universities and government on the need for a better collaboration system to boost innovation processes. The key questions being addressed in the discussion are: 1. What is the role of knowledge and innovation in socio-economic growth in general? How does innovation work as knowledge creation, diffusion and how it is adopted? What processes are involved in innovation? To what extent does innovation contribute in product or service development processes and in bringing them into the market? What lessons can we learn from cases from other countries? Are there living examples in Indonesia where such innovation processes induce socio-economic growth? 2. What is ‘triple helix’ in innovation systems? What is the role of collaboration in innovation? What are needed to create a conducive environment for universities, industries and government to advance their collaborations and how can they benefit from such collaborations? What can we learn from experiences in other countries? 3. How are such collaborations possible for Indonesia? What are and how to devise the strategies that are applicable in the Indonesian context? What are the first steps to start? ABOUT THE RESOURCE PERSONS: Yanuar Nugroho, PhD. Manchester Institute of Innovation Research (MIoIR/PREST), University of Manchester, United Kingdom Yanuar joined MIOIR in August 2008 as a Research Associate after completing his PhD and Post Doctoral research. His research interests are concerned with technological innovation and in particular the adoption and diffusion of innovations in the third sector (non-governmental and not for profit organisations); innovation and sustainable development; new communication media and social change; and knowledge dynamics. Yanuar works both with quantitative and qualitative approaches including Foresight. He has extensive experience in designing
Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how?
Bung WK, Saya juga sedang belajar, termasuk dari posting-posting rekan-rekan di mailist ini. Benar bahwa salah satu fondasi penting dari yang namanya ekonomi institusi adalah pemikiran Douglass North, yang menempatkan dinamika ekonomi dalam konteks historisitas dan konteks institusi (kebiasaan, sistem hukum, budaya dsb) sebuah nation. Sejauh yang saya tahu, North sedikit banyak terpengaruh dengan J.A. Schumpeter soal path-dependence: dinamika ekonomi di hari ini tak lain adalah resultante dari dinamika di masa lalu. Tapi, bacaan yang secara lugas mengutarakan soal variasi sistem kapitalisme, beberapa di antaranya adalah Hall and Soskice dengan konsep VoC (variety of capitalism), atau Robert Boyer yang menulis buku dalam bhs Prancis dg judul Apa Teori tentang Kapitalisme itu Mungkin?. Teori-teori ini bermuara pada heterodoxy dalam ekonomi yang mencoba memberikan alternatif terhadap pemikiran-pemikiran standard yang menjadi arus utama dalam ekonomi. Saya mengikuti pemikiran-pemikiran itu, sebenarnya dalam rangka mencari penjelasan tentang model corporate governance. Ada mode of governance gaya anglo-saxon, di mana peran pasar sangat dominan, tapi ada gaya Jerman yang memungkinkan karyawan melakukan kontrol lewat co-determinasi, misalnya, (gaya hirarki) atau gaya Jepang di mana hubungan dengan creditor sangat dekat (gaya relasional). Pertanyaan yang lebih konkrit, Selama ini ada asumsi bhwa sistem CG menyumbang peran besar bagi terpuruknya ekonomi di kawasan Asia. Tetapi, mengapa Singapore dan Hon Kong yang juga punya mode of governance yang kira-kira sama dengan Thailand dan Indonesia (family based) tidak terlalu terpengaruh dengan krisis? Nampaknya, sistem CG, pada level korporasi, tak bisa dilepaskan dari national governance, dan bahwa krisis punya dimensi yang sangat luas, shg butuh penjelasan yang lebih komprehensif, tdk sekedar faktor-faktor ekonomi saja. Sehingga, untuk menjelaskan krisis perlu pendekatan yang lebih bersifat heterodox. Begitu sedikit yang saya tahu, dan saya yakin teman-teman, baik yang terjun di dunia akademisi maupun praktisi, punya penjelasan yang lebih baik dan lengkap. Dan saya selalu ingin belajar dari teman-teman semua... salam saya, ap [EMAIL PROTECTED] wrote: Unsur lokalitas atau faktor-faktor institusi. Ini statement yang menarik. Pernyataan seperti ini sebetulnya sangat terkenal sejak tahun 1993 dengan penghadiahan Nobel kepada D. C. North, yang saat itu juga sedang gencar-gencarnya dilakukan persiapan globalisasi (Desember 1993 dilakukan Marakesh Round yang memutuskan rangkaian akhir Uruguay Round). Bagaimana kalau Bung Prasentoko mengelaborasi lebih dalam lagi tentang faktor-faktor insitusi dan unsur-unsur lokalitas ini? Salam/WK - Original Message - From: Prasetyantoko To: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com Sent: Wednesday, August 01, 2007 12:54 PM Subject: Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how? Setuju dengan bung Jerry, Sistem apapun itu, tak lain adalah bentukan manusia-manusia yang ada di dalamnya. Meminjam istilah ilmu sosial, sistem ekonomi tak lain adalah konstruksi sosial. Dan konstruksi sosial selalu bersifat khas: mengandung unsur lokalitas atau ditentukan oleh faktor-faktor institusi di mana relasi sosial itu terbangun. salam ap - Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out. [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how?
Setuju dengan bung Jerry, Sistem apapun itu, tak lain adalah bentukan manusia-manusia yang ada di dalamnya. Meminjam istilah ilmu sosial, sistem ekonomi tak lain adalah konstruksi sosial. Dan konstruksi sosial selalu bersifat khas: mengandung unsur lokalitas atau ditentukan oleh faktor-faktor institusi di mana relasi sosial itu terbangun. salam ap Jerry Matanari [EMAIL PROTECTED] wrote: Saya hanya ingin memberi pandangan tentang liberalisme ekonomi yang diagung-agungkan itu. Liberalisme, kapitalisme, sosialisme, atau apapun itu adalah paham yang diciptakan manusia. Naturenya: tidak akan ada yang sempurna. Sangat disayangkan kalau kita terlalu cepat meng-agung-agungkan suatu aliran atau dogma tanpa melihat dari sudut pandang yang netral dan proporsional. Fakta menunjukkan: 1. Saat depresi ekonomi di AS tahun 30-an. Orang pun bertanya: Dimanakah 'the invisible hand' yang 'katanya' dulu bisa secara alami menggerakkan perekonomian tanpa perlu ada campur tangan pemerintah? 2.Saat kegagalan komunis yang membawa Glasnost dan Perestroika di Rusia. Orang pun bertanya: dimanakah mimpi kemakmuran sosial yang benar-benar sama-adil dan sama-merata itu? Ya. (Kenyataannya: memang jadi sama-merata sih.. sama-sama miskin, maksudnya) 3.Amerika Serikat yang katanya paling liberal pun, fakta nya: sangat protektif dengan pasar dalam negerinya. Amerika memang pandai membujuk negara lain (membujuk, atau memaksa? saya nda tau) untuk sesegera membuka keran pasar dalam negeri terhadap perdagangan bebas. 4.Cina yang katanya paling komunis pun, fakta nya: koq sekarang rada-rada kapitalis ya? Ekonomi itu abu-abu, tidak pernah merupakan persoalan hitam-putih. Salam Keuangan, Jerry
Re: [Keuangan] Does capitalism lead to democracy, and how?
Sekedar nimbrung, Setuju: tidak ada yang lebih baik dari economic liberty dan kemudian political liberty. Pertanyaan: kebebasan yang macam apa/mana? Kalau menganggap kita harus seperti sebuah ideal type dan bukan berbasis atas realitas tertentu, maka kita masih di jaman Rostow. Pertanyaan yang lebih serius, adakah sebuah format (teori) tentang kapitalisme? Jawabannya menjadi relatif: kapitalisme macam apa yg terjadi di mana? Maka kebebasan (kapitalisme) yang terjadi di US, akan berbeda dengan kebebasan di Eropa, Amerika Latin dan Asia. Bahkan tiap negara punya karakteristiknya sendiri-sendiri. Diskusi yang lebih produktif, mungkin, adalah menemukan national trajectory, dan bukan rumus kebebasan. Menarik diskusi pada satu kutup, baik itu kebebasan dan perencanaan hanya akan menghentikan sejarah. Krn yang terjadi adalah dialektika ke kiri dan ke kanan salam a.prasetyantoko Irsal Imran [EMAIL PROTECTED] wrote: Ekonomi liberti itu mungkin bisa diibaratkan sebagai jalan tol dimana mulai dari Ferrari sampai becak siap berlomba kecepatan :{). Tentu saja hasilnya adalah Ferrari akan meninggalkan becak jauh di belakang. Akan tetapi kalau pemerintah punya nyali mereka bisa minta bantuan Ferrari supaya yang becaknya tidak jauh ketinggalan, dari pada Ferrarinya dikasih rambu tidak boleh jalan di atas 60 km/jam :{). salam, -Irsal Senior Financial Engineer http://www.fiserv.com --- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, mr_w4w [EMAIL PROTECTED] wrote: Yes, Economic liberty atau Economic freedom atau Free market Capitalism adalah penggerak pertumbuhan sesungguhnya. Idealnya memang Economic Liberty (free market capitalism) berbarengan dengan Political Liberty (Democracy). Tapi kalau mau disuruh pilih ... saya pilih Economic Liberty first, Political Liberty menyusul. Masalah utama dengan demokrasi adalah karena publik umumnya buta economy-101 .. yang muncul sebagai pemenang biasanya adalah kaum populis ... yang malah suka membatas-batasi Economic Liberty. Punya kebun dibatasi lah, bikin pajak2 baru se-enak udelnya, sedikit2 kasih subsidi, sedikit2 intervensi ke-urusan B2B, tiap tahun minimum wage dinaikan sampe ga masuk akal, PHK karyawan biayanya tinggi- nya bukan maen ... ya hasilnya begini Di India bertahun tahun pemilu yang menang kamu populis sosialis ... Baru belakangan saja politisi2 pro economic liberty menang. Hasilnya ... bisa dibandingkan India sekarang dengan India satu dekade lalu. Contoh lain Singapore ataupun China ... Meski tidak demokratis Economic Freedom di buka luas disana .. hasilnya bisa dilihat sendiri Kalau demokrasi kita berhasil menghasilkan politisi2 pro Economic Liberty yang berani menentang convensional wisdom masyarakat umum yang cenderung populis ... saya yakin kita bisa tumbuh lebih cepat dari India ataupun China. Just my 2 cents. - Shape Yahoo! in your own image. Join our Network Research Panel today! [Non-text portions of this message have been removed]
Re: [Keuangan] Jurnal dari Myers dan Majluf
Gak harus yang versi Journal of Financial Economics kan? versi working paper dengan mudah bisa didownload, misalnya di: http://dspace.mit.edu/bitstream/1721.1/2068/1/SWP-1523-15376412.pdf salam Utsman [EMAIL PROTECTED] wrote: Rekan, Kebetulan saya sedang membutuhkan jurnal dari Myers dan Majluf (1984) dengan judul corporate financing and investment decisions when firms have information that investors do not have, Journal of Financial Economics. Saya coba di EBSCO ternya tidak full text hanya abstrak saja. Barangkali rekan-rekan mempunyai koleksi jurnal tersebut, mohon sharingnya. Syukur-syukur dapat softcopy. Sebelumnya Diucapkan Terima Kasih Utsman Fax 021 83709591 [Non-text portions of this message have been removed] - Yahoo! oneSearch: Finally, mobile search that gives answers, not web links. [Non-text portions of this message have been removed]