RE: [Dokter Umum] Vaksin penyebab autis

2006-08-02 Terurut Topik Hendarwin (Jakarta)
Mas, vaksin HepB dan HiB yg bebas Thimerosal (skrg menggunakan Aluminium
Hidroksida) sudah banyak beredar kok...
Sebelum anaknya divaksin, minta aja brosur vaksinnya dan baca
preservative yg digunakan. Setahu saya Vaksin HepB yg bebas thimerosal
spt Engerix, sdg yg Euvax ada thimerosalnya. Kalo vaksin HiB spt
TetraHiB (kombinasi DPT dan HiB) juga bebas Thimerosal.
But anyway, debat ttg thimerosal ini sdh lama. Dan katanya belum bisa
dibuktikan secara ilmiah penggunaan thimerosal mempengaruhi perkembangan
syaraf anak.
Yg lebih penting, resiko akibat tidak divaksin probabilitasnya dan
consequences nya jauh lebih besar. 
Hepatitis B itu silent killer no.1 atau no. 2 di sini (disamping
penyakit jantung). Sedang HiB bisa menyebabkan meningitis (radang
selaput otak) yg berakibat kematian ataupun cacat menetap akibat
kerusakan otak. DSA saya bilang kebanyakan kasus meningitis di RSCM
akibat HiB ini yg bisa dicegah dgn vaksin.
Jadi dunia medis adalah dunia 'menimbang2 antara risk and benefit'... Be
wise...
 
Rgds,
Hendarwin 
E-mail  : [EMAIL PROTECTED] 
Office  : (021)-7854-9437 
Business Phone: 0812-909-797-1 
 



From: dokter_umum@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED]
On Behalf Of Dodik Kurniawan
Sent: Wednesday, August 02, 2006 10:21 PM
To: dokter_umum@yahoogroups.com
Subject: Re: [Dokter Umum] Fwd: [smpn1_ptk] Fw:Info : Vaksin penyebab
autis



mana dokternya hayoo kasih penjelasan dong ??

- Original Message - 
From: Tri Harry Budi Nugraha 
To: z 
Sent: Wednesday, August 02, 2006 7:44 PM
Subject: [Dokter Umum] Fwd: [smpn1_ptk] Fw:Info : Vaksin penyebab autis

Dokter, mohon pencerahan nih.
terima kasih.

- ARRY - 

Budi Santosa [EMAIL PROTECTED]
mailto:Budi.Santosa%40asuransibintang.com  wrote:
To: [EMAIL PROTECTED] mailto:smpn1_ptk%40yahoogroups.com 
From: Budi Santosa [EMAIL PROTECTED]
mailto:Budi.Santosa%40asuransibintang.com 
Date: Wed, 2 Aug 2006 13:51:19 +0700
Subject: [smpn1_ptk] Fw:Info : Vaksin penyebab autis

Date: Thu, 27 Jul 2006 18:36:47 -0700 (PDT)
From: severin christine [EMAIL PROTECTED] mailto:gsxtine%40yahoo.com

Subject: Info : Vaksin penyebab autis
To: BG [EMAIL PROTECTED] mailto:benteng-gading%40egroups.com
, KKMK MBK [EMAIL PROTECTED]
mailto:kkmk_mbk%40yahoogroups.com 

- Original Message - 
From: Lely Liga 

To: Lely Liga 

Sent: Tuesday, July 04, 2006 4:23 PM

Subject: Fw: Vaksin penyebab Autis VERY TOP URGENT !

Message: Buat para ibu2 dan bapak2. om dan tante yg punya keponakan...
atau bahkan calon ibu ... perlu nih dibaca ttg autisme..

Bisa di share kepada yang masih punya anak kecil supaya
ber-hati2

Setelah kesibukan Lebaran yang menyita waktu, baru sekarang saya bisa
dapat waktu luang membaca buku Children with Starving Brains karangan
Jaquelyn McCandless,MD yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Grasindo.


Ternyata buku yang saya beli di toko buku Gramedia seharga Rp. 50,000,-
itu benar-benar membuka mata saya, dan sayang, sayang sekali baru terbit
setelah anak saya Joey (27 bln) didiagnosa mengidap Autisme Spectrum
Disorder.

Bagian satu, bab 3, dari buku itu benar-benar membuat saya menangis.
Selama 6 bulan pertama hidupnya (Agustus 2001 -Februari 2002), Joey
memperoleh 3 kali suntikan vaksin Hepatitis B, dan 3 kali suntikan
vaksin HiB. Menurut buku tersebut (halaman 54 - 55) ternyata dua macam
vaksin yang diterima anak saya dalam 6 bulan pertama hidupnya itu
positif mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari
Etilmerkuri yang menjadi penyebab utama sindrom Autisme Spectrum
Disorder yang meledak pada sejak awal tahun 1990 an. Vaksin yang
mengandung Thimerosal itu sendiri sudah dilarang di Amerika sejak akhir
tahun 2001. Alangkah sedihnya saya, anak yang saya tunggu kehadirannya
selama 6 tahun, dilahirkan dan divaksinasi di sebuah rumah sakit besar
yang bagus, terkenal, dan mahal di Karawaci Tangerang dengan harapan
memperoleh treatment yang
terbaik, ternyata... Malah diracuni oleh Mercuri dengan selubung
vaksinasi.

Beruntung saya masih bisa memberi ASI sampai sekarang, sehingga Joey
tidak menderita Autisme yang parah. Tetapi tetap saja, sampai sekarang
dia belum bicara, harus diet pantang gluten dan casein, harus terapi
ABA, Okupasi, dan nampaknya harus dibarengi dengan diet supplemen yang
keseluruhannya sangat besar biayanya.

Melalui e-mail ini saya hanya ingin menghimbau para dokter anak di
Indonesia, para pejabat di Departemen Kesehatan, tolonglah baca buku
tersebut diatas itu, dan tolong musnahkan semua vaksin yang masih
mengandung Thimerosal. Jangan sampai (dan bukan tidak mungkin sudah
terjadi) sisa stok yang tidak habis di Amerika Serikat tersebut di
ekspor dengan harga murah ke Indonesia dan dikampanyekan sampai ke
puskesmas-puskesmas seperti contohnya vaksin Hepatitis B, yang sekarang
sedang giat-giatnya dikampanyekan sampai ke pedesaan. 

Kepada para orang tua dan calon orang tua, marilah kita bersikap
proaktif, dan assertif dengan menolak vaksin yang mengandung Thimerosal

[Dokter Umum] Fwd: anak kena Flek Paru? Mana ada itu!

2006-05-31 Terurut Topik Hendarwin \(Jakarta\)



Dear miliser yg berstatus parents,
Pernahkah anak anda di-diagnosa 'Flek Paru' oleh DSA anda, dan diberi
obat antibiotik berbulan-bulan?
Tahukah anda bahwa 'There Is No Such A Term of 'Flek Paru-paru'' di
dunia kedokteran?
Tahukah anda bahwa banyak kasus DSA dgn gegabah memberikan obat TBC utk
'Flek Paru' ini tanpa diagnosa yg runut dan benar?
Tahukah anda obat2 TBC tsb punya efek samping terhadap fungsi hati si
anak (yg menjadi resiko tidak perlu jika diagnosa TB tidak ditegakkan
secara benar) ?
Jika anda penasaran, silakan baca artikel dibawah, cross-posting dari
milist SEHAT. 
Jadi, lain kali dokter anda bilang anak anda kena 'Flek Paru', bilang
saja: Bah, darimana pulak kau belajar istilah tu! :)

Hendarwin
Stopmalpraktekdokterindonesiadgnmenjadikonsumenygrasional,kolerik,dandem
anding
-Original Message-
From: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Monday, May 29, 2006 4:34 PM
Subject: Re: [sehat] Tentang Flek

...(deleted)

INTISARI EDISI TERBARU (APRIL 2005)
Flek Paru Yang Mengecoh
Flek yang satu ini pasti bikin pening kepala, terutama jika menyerang
anak. Orangtua dan dokter pun sering dibuat serba salah. Tak jarang,
gara-gara munculnya flek, anak divonis berpenyakit TB(C) paru-paru. 
Padahal sebenarnya ia sehat walafiat. Sebaliknya, bocah yang disangka
sehat, malah terjangkit penyakit. Aneh, 'kan?
-
Flek yang suka mengecoh itu punya nama lengkap flek paru-paru
(disingkat flek paru). Nama yang membuat banyak dokter anak
bersungut-sungut. Maklum, sampai detik ini, istilah flek paru tidak
pernah ada di dalam kamus kedokteran mana pun. Statusnya mirip dengan
masuk angin, panas dalam, atau saraf kejepit. Ngetop di masyarakat, tapi
tak ada rujukannya di dunia medis.
Entah siapa yang mulai menggunakan istilah ini. Yang jelas, kata flek
berasal dari bahasa Belanda, vlek, artinya bintik alias bercak atawa
noda. 

Para ahli radiologi menggunakannya untuk menyebut gambaran noda yang
khas di foto rontgen. Lucunya, belakangan istilah ini dipakai sebagai
eufemisme untuk tuberkulosis (TB) paru-paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. 
Padahal, Flek di foto rontgen tidak selalu berarti tuberkulosis, kata
Dr. dr. Muljono Wirjodihardjo, Sp.A (K), ahli respirologi anak dari
Rumah Sakit Internasional Bintaro. Tuberkulosis pada anak berbeda
dengan orang dewasa, sehingga diagnosisnya lebih sulit, tambah dr.
Muljono. Dengan kata lain, jangan terkecoh oleh flek yang memang suka
menyaru dan membuat orang keliru itu.

Naik kelas
Pelacakan dan keberadaan TB pada anak dan orang dewasa memang berbeda. 
Kuman TB pada orang dewasa bisa dilacak dari dahaknya. Sedangkan pada
anak-anak, kuman itu sulit dilacak, sebab mereka belum bisa berdahak
seperti sang bapak. Selain itu, gejala TB pada anak sering tersamar oleh
gejala penyakit lain, misalnya flu atau batuk. Tak jarang dokter
menganggapnya sebagai batuk biasa.
Pada orang dewasa, gejala TB tampak lebih jelas. Gambaran radiologisnya
pun khas. Tapi pada anak, ada banyak faktor yang bisa menyebabkan salah
diagnosis. Kemal, seorang karyawan perusahaan asuransi, punya cerita
tentang hal ini. Anak saya pernah divonis TB. Waktu itu umurnya baru
setahun. Awalnya, berat badannya enggak naik-naik. Dokter curiga, ia
kena TB. Waktu dites Mantoux, hasilnya negatif. Lalu dokter minta tes
rontgen. 
Ternyata ada flek di paru-parunya.
Dari hasil rontgen itu, tambah Kemal, Dokter menyimpulkan anak saya
kena TB dan disuruh minum obat jangka panjang. Setelah tiga bulan, saya
tanya apakah obat perlu diteruskan. Dokter bilang, terus. Namun, pada
bulan keempat saya disuruh menghentikan pemberian obat tanpa ada
penjelasan. Waktu itu saya enggak ngerti apa-apa. Tak tahunya, setelah
mencari second opinion, anak saya sebetulnya enggak apa-apa, tuturnya
sembari geleng-geleng kepala. 

Selama ini, TB identik dengan penyakit udik. Orangtua biasanya akan
merunduk malu jika anaknya diketahui sebagai pengidapnya. Menurut dr. 
Muljono, dalil itu tak lagi berlaku 100%kini. Menurut pengalamannya,
banyak juga pasien anak-anak dari kelas ekonomi mapan. Banyak di antara
mereka yang enggak percaya. Tertular dari mana? Wong di rumah enggak
ada yang kena kok, protes mereka. 

Dr. Muljono mencatat, sumber penularan yang diketahui hanya sekitar 10%.

Ada yang tertular dari baby sitter, orangtua, atau orang lain yang
tinggal serumah. Selebihnya, yang 90%, biang keladinya tidak diketahui
secara pasti. Yang jelas, si anak pasti tertular dari orang dewasa,
bukan dari teman bermain. Sebab pada anak, TB bersifat tertutup, tidak
menular. 
Kuman ini diyakini menular secara tidak langsung dari orang lain yang
tidak tinggal serumah. Saat penderita batuk, kuman TB keluar dari
paru-paru bersama percikan air ludah, lalu bertahan hidup sambil
beterbangan di udara, dan akhirnya terhirup oleh si anak. Dalam tubuh
anak, kuman ini bersarang di kelenjar getah bening. Itulah sebabnya,
orangtua harus waspada jika si Upik atau si Ucok punya benjolan kelenjar
getah bening di leher bagian belakang telinga. 
Selain itu, orangtua 

Tanggung Jawab Siapa? : RE: Balasan: Re: Fwd: [sehat] Fw: VOOT INFO Fw: [Dokter Umum] Memanusiakan Dokter

2006-04-27 Terurut Topik Hendarwin \(Jakarta\)



Saya sependapat dgn pendapat semua rekan2 SEHAT disini (dr. windarti,
black eagle, henry)dan termasuk penulis email tsb (pak daniel).
Masalah medis di indonesia ini memang sudah jadi rantai setan (pasien
irasional, dokter irasional, pabrik obat promosi tanpa etis, pemerintah
tidak perduli) yg memutuskannya seperti memakan buah simalakama. 

Apa harus menuntut semua pasiennya pinter2 spt para Smart Parents
dimilis ini (atau milis SEHAT nya dr. Waty)? Khan tdk semua org
terexpose dgn internet. Merekapun juga punya kebutuhan spesialisasi
masing2, yg jadi insinyur harus belajar mendalam ttg teknik, trus harus
belajar lagi ttg medik, yg enak sih yg bidangnya medik dong, cukup satu
bidang keilmuan aja dia kaji. Belum lagi mereka harus mikirin kerja cari
uang dijaman susah begini, punya waktu utk main dgn anak istri aja udah
bersyukur, tambah harus meluangkan waktu luang (apa masih ada?) utk baca
ttg medis kayaknya berat juga

Apa harus menuntut pemerintah peduli? Harusnya begitu, krn siapa yg bisa
kontrol intervensi tidak etis dari pabrik obat selain pemerintah? Siapa
yg bisa mengesahkan standarisasi sertifikasi para dokter kalo tidak ada
endorse dari pemerintah? (btw apa sudah ada belum sertifikasi para
dokter sblm mereka berhak utk mpraktek?)
Tapi khan katanya pemerintah skrg lagi pusing dgn masalah busung lapar,
kemiskinan, penanganan pengungsi bencana alam, outbreak DBD, flu burung,
yaa mungkin juga mrk tidak punya cukup resource utk menangani masalah
ini?
Saya malah bermimpi adanya badan pengawanan praktek medis di negara ini,
termasuk badan pengawasan penggunaan antibiotik, seperti cerita dr. Waty
yg ada di US sana, jadi kalo dokter sini mau kasih antibiotik level 3,
minta izin dulu dong ke mereka.. Jadi ada mekanisme control disini.

Apa harus menuntut para dokter agar RASIONAL, mau meng-educate pasien?
Nah inilah satu-satunya solusi yg paling tepat. Mau apa lagi, wong ente2
yg dididik 5 th di bangku kedokteran, tambah 3 tahun(?) sekolah
spesialisasi, lha kok masih mendiagnosa dan kasih obat tidak rasional?
Halo para dokter... 
Asumsikanlah anda memang tidak punya banyak waktu utk meng-educate
pasien, tapi anda khan tetap bisa meresepkan obat yg rasional... Kalo
pasien ngeyel minta puyer, kasih aja tablet isi gula sama vit. C
(placebo)... Biasanya yg ngeyel begini toh enggak bakalan sadar juga
kalo yg dia terima Cuma placebo. 

Bahkan saya berani anda tantang begini. Saya keahliannya dibidang
pengeboran minyak, namun saya bisa menjelaskan kepada seorang dokter yg
belum pernah lihat rig bagaimana proses pengeboran minyak dilakukan, dgn
ilustrasi sederhana dan bahasa yg simple, hanya dlm waktu 10 menit, dan
anda bisa bercerita didepan kelas dgn narasi yg sama seperti saya. 
Sekarang tantangan saya kepada para dokter: Bisakah anda dalam waktu 10
menit menerangkan kepada setiap pasien anda, apa dan bagaimana penyakit
yg dialami, dan apa langkah RASIONAL yang harus dijalani, dan kenapa
anda memberikan atau tidak memberikan obat dlm bahasa simplifikasi dan
edukatif ? Jika anda tidak bisa pasti krn anda tidak menguasainya. Krn
sbgmn pepatah: Seorang ahli mampu membuat Masalah Sulit tampak Mudah,
sedang seorang pembual membuat masalah Mudah tampak Sulit.

Apa kita harus minta pemerintah utk melakukan resertifikasi keahlian
ulang utk para dokter? Kalo melihat perkembangan sekarang tampaknya
begitu. 
Mohon maaf saja buat para dokter, semenjak saya kenal dr. Waty (fyi
beliau adalah ahli hepatology yg menjadi wakil WHO disini sbg pelopor
gerakan RUD, pencetus website sehatgroup dan milis SEHAT ) dan belajar dari beliau, tingkat kepercayaan saya kepada dokter kita turun cuma tinggal 10% saja.

Artinya apa yg dijelaskan oleh seorang dokter pasti akan saya recheck ke
internet entah ke AAP, FDA, CDC, atau web2 medis lainnya.
Artinya konsekuensinya ada waktu saya yg terbuang utk belajar ttg
sesuatu yg harusnya sudah ada ahlinya yg menanganinya. Dan ini namanya
pemborosan, ineffisiensi.

Akhir kata, mohon maaf kalau ada kata saya yg keras, saya hanya bisa
berharap kepada para dokter disini, termasuk dokter windarti, ayo
tunjukkan bahwa anda layak digelari the docter bukan the cheater.
Ditangan andalah beban amanah memberikan wawasan medis kepada para
pasien anda. Untuk itulah anda sekolah nyaris 10 tahun lamanya, dan
untuk itulah anda diberi gelar panggilan kehormatan 'dokter' di depan
nama anda.
Seperti yg dibilang Spiderman (movie): There comes greater power, comes
greater responsibility (Mereka yg dikaruniai kelebihan kemampuan disaat
yg sama juga dibebani tanggung jawab yg lebih besar dari orang2 yg
awam).

Very Best Regards for RUD docters and Smart Parents here,
Hendarwin

-Original Message-
From: dokter_umum@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED]
On Behalf Of windarti isminarsih
Sent: Thursday, April 27, 2006 10:52 AM
To: dokter_umum@yahoogroups.com
Subject: Balasan: Re: Fwd: [sehat] Fw: VOOT INFO Fw: [Dokter Umum]
Memanusiakan Dokter

jangan memandang bhw kesalahan medis hanya oleh seorang dokter