Fw: [GELORA45] Paradigma Pemimpin Anti Kekerasan

2018-02-23 Terurut Topik 'Chan CT' sa...@netvigator.com [GELORA45]


From: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] 
Sent: Saturday, February 24, 2018 2:31 AM
  



https://news.detik.com/kolom/d-3882186/paradigma-pemimpin-anti-kekerasan?_ga=

2.22364.585233847.1519409556-1152474324.1519409556


Jumat 23 Februari 2018, 15:00 WIB
Kolom Kalis
Paradigma Pemimpin Anti Kekerasan
Kalis Mardiasih - detikNews
Kalis Mardiasih 

 Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom) 

Jakarta - Jika cerita tragedi besar akibat peperangan tak cukup membuat manusia 
berhenti coba-coba bermain-main dengan kekerasan, maka mari mencoba mengajukan 
cerita kecil berkaitan dengan pengalaman paling personal yang lirih. Nun di 
Jambi, pada tahun 2000, ada seorang anak perempuan usia delapan tahun yang 
akhirnya bisa melewati hari dengan menonton televisi bersama bapaknya, lalu 
bermain sepakbola bersama pada sore hari. Hal sesederhana itu tidak biasa untuk 
anak dari salah seorang panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).. 

Bapaknya akhirnya bisa pulang sebab Gus Dur, yang kala itu menjabat sebagai 
Presiden Republik Indonesia, menerbitkan kebijakan gencatan sementara. Anak itu 
mengenang, kira-kira dua bulan lamanya ia bisa merasakan kehangatan keluarga, 
sebelum akhirnya Gus Dur diberhentikan dari jabatan Presiden dan ketegangan 
meletus kembali. Sang bapak harus kembali lagi ke Aceh, lalu menjadi tahanan 
politik pada 2003 dengan vonis hukuman penjara terlama. Beruntung, pada 2005 
terselenggara penandatanganan MoU Helsinki, sang bapak pun bebas dan pulang.

"Siapa saja tak akan bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak yang 
membayangkan baru bisa bertemu bapak setelah beranjak dewasa, tapi tiba-tiba 
bapaknya dibebaskan dari tahanan karena ada nota kesepakatan damai dari daerah 
yang telah berkonflik sepanjang 30 tahun," begitu ia mengenang.

Awal 2018 yang disebut-sebut sebagai tahun politik jelang pesta demokrasi lima 
tahunan pada 2019 disambut dengan rangkaian teror di berbagai daerah. Modus 
penyerangan pada sejumlah rumah ibadah dan tokoh agama mengingatkan korban 
penyerangan Operasi Naga Hijau jelang Reformasi 1998 ketika isu pembantaian 
dukun santet diembuskan dan sejumlah ulama diserang dengan tujuan memobilisasi 
massa dan membuat chaos.

Selain narasi orang gila, isu kebangkitan PKI selalu berhasil untuk memicu 
keributan. Bisnis ketakutan ini efektif, sebab sepanjang 32 tahun rezim Orde 
Baru mengindoktrinasi masyarakat dengan imajinasi PKI sebagai pembunuh yang 
kejam dan anti agama. Hingga hari ini, kata komunis menjadi momok, padahal 
komunisme sesungguhnya adalah paham antikapitalisme yang dalam posisinya 
sebagai filsafat pengetahuan memiliki hasrat untuk memperjuangkan kesejahteraan 
ekonomi. PKI serupa pemburu yang cocok diperlawankan dengan jiwa nasionalisme 
sekaligus mengincar orang-orang beragama, meskipun sesungguhnya ia adalah hantu 
tanpa tubuh dan jiwa sebab telah dimatikan sejak setengah abad lebih lalu. 

Lagi-lagi Gus Dur, sebagai Presiden, pernah mengusulkan pencabutan Tap MPRS 
XXV/1966 namun ditolak oleh MPR/DPR. Meskipun begitu, Gus Dur menunjukkan 
langkah konkret dengan mencabut label tahanan politik, memperbolehkan mereka 
memilih dalam pemilu sebagai simbol kembalinya hak-hak sebagai warga negara, 
dan yang paling paripurna adalah meminta maaf kepada korban, meskipun ketika 
itu ia harus berpolemik dengan kaum santri, asal identitas kulturalnya sendiri. 
Teladan semacam itu menunjukkan paradigma Gus Dur sebagai pemimpin anti 
kekerasan.

Selain PKI, satu ideologi yang jiwanya hidup bersama negara ini adalah Islam. 
Cherian George dalam buku Pelintiran Kebencian (2017) menjelaskan bahwa di masa 
pasca-Soeharto, berbagai kelompok berlomba-lomba memperebutkan kekuasaan dan 
pengaruh melalui sesuatu yang dapat disebut ruang publik Islam. Demokratisasi 
membawa konsekuensi yang sangat penting bagi kelompok beragama garis-keras, 
yakni barisan kekuatan politik yang memimpikan berdirinya negara Islam, sesuatu 
yang bertentangan dengan civil Islam. Pada praktiknya, basis massa yang 
menonjolkan eksklusivitasnya ini juga sering menimbulkan gelombang, dan sering 
juga disikapi secara kurang tepat oleh negara. George menggambarkan, beberapa 
kepentingan memanfaatkan dengan menghidupinya, beberapa yang lain juga 
menstigma mereka dengan sebutan kaum radikal, kaum makar, dan lain-lain.

Generasi yang lahir dekade 90-an, sesungguhnya adalah generasi milenial 
sekaligus generasi ketiga yang tidak berpretensi menjadi pendendam. Tragedi 
besar dekade 60-an, lalu berbagai peristiwa kekerasan HAM dalam kurun rezim 
Orde Baru, dialami nyata oleh kakek atau nenek dalam struktur sebuah keluarga 
yang kemudian mewariskan cerita menakutkan kepada bapak atau ibu. Tetapi, pada 
generasi milenial, tensi ketakutan itu sudah berkurang bahkan hilang sama 
sekali sebab mereka tidak hidup bersama pengalaman berdarah tersebut.

Merujuk beberapa peristiwa teror dan kekerasan yang terjadi beberapa waktu ini, 
sepertinya Presiden Jokowi perlu lebih berhati-hati dan 

[GELORA45] Paradigma Pemimpin Anti Kekerasan

2018-02-23 Terurut Topik 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45]


https://news.detik.com/kolom/d-3882186/paradigma-pemimpin-anti-kekerasan?_ga=

2.22364.585233847.1519409556-1152474324.1519409556

Jumat 23 Februari 2018, 15:00 WIB


   Kolom Kalis


 Paradigma Pemimpin Anti Kekerasan

Kalis Mardiasih - detikNews

Kalis Mardiasih 
 

Share *0* 
 
Tweet 
 
Share *0* 
 
1 komentar 
 

Paradigma Pemimpin Anti Kekerasan Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Kiagoos 
Auliansyah/detikcom)
 
 
 
 

*Jakarta* - Jika cerita tragedi besar akibat peperangan tak cukup 
membuat manusia berhenti coba-coba bermain-main dengan kekerasan, maka 
mari mencoba mengajukan cerita kecil berkaitan dengan pengalaman paling 
personal yang lirih. Nun di Jambi, pada tahun 2000, ada seorang anak 
perempuan usia delapan tahun yang akhirnya bisa melewati hari dengan 
menonton televisi bersama bapaknya, lalu bermain sepakbola bersama pada 
sore hari. Hal sesederhana itu tidak biasa untuk anak dari salah seorang 
panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).


Bapaknya akhirnya bisa pulang sebab Gus Dur, yang kala itu menjabat 
sebagai Presiden Republik Indonesia, menerbitkan kebijakan gencatan 
sementara. Anak itu mengenang, kira-kira dua bulan lamanya ia bisa 
merasakan kehangatan keluarga, sebelum akhirnya Gus Dur diberhentikan 
dari jabatan Presiden dan ketegangan meletus kembali. Sang bapak harus 
kembali lagi ke Aceh, lalu menjadi tahanan politik pada 2003 dengan 
vonis hukuman penjara terlama. Beruntung, pada 2005 terselenggara 
penandatanganan MoU Helsinki, sang bapak pun bebas dan pulang.


"Siapa saja tak akan bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak 
yang membayangkan baru bisa bertemu bapak setelah beranjak dewasa, tapi 
tiba-tiba bapaknya dibebaskan dari tahanan karena ada nota kesepakatan 
damai dari daerah yang telah berkonflik sepanjang 30 tahun," begitu ia 
mengenang.


Awal 2018 yang disebut-sebut sebagai tahun politik jelang pesta 
demokrasi lima tahunan pada 2019 disambut dengan rangkaian teror di 
berbagai daerah. Modus penyerangan pada sejumlah rumah ibadah dan tokoh 
agama mengingatkan korban penyerangan Operasi Naga Hijau jelang 
Reformasi 1998 ketika isu pembantaian dukun santet diembuskan dan 
sejumlah ulama diserang dengan tujuan memobilisasi massa dan membuat 
/chaos/.


Selain narasi orang gila, isu kebangkitan PKI selalu berhasil untuk 
memicu keributan. Bisnis ketakutan ini efektif, sebab sepanjang 32 tahun 
rezim Orde Baru mengindoktrinasi masyarakat dengan imajinasi PKI sebagai 
pembunuh yang kejam dan anti agama. Hingga hari ini, kata komunis 
menjadi momok, padahal komunisme sesungguhnya adalah paham 
antikapitalisme yang dalam posisinya sebagai filsafat pengetahuan 
memiliki hasrat untuk memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. PKI serupa 
pemburu yang cocok diperlawankan dengan jiwa nasionalisme sekaligus 
mengincar orang-orang beragama, meskipun sesungguhnya ia adalah hantu 
tanpa tubuh dan jiwa sebab telah dimatikan sejak setengah abad lebih lalu.


Lagi-lagi Gus Dur, sebagai Presiden, pernah mengusulkan pencabutan Tap 
MPRS XXV/1966 namun ditolak oleh MPR/DPR. Meskipun begitu, Gus Dur 
menunjukkan langkah konkret dengan mencabut label tahanan politik, 
memperbolehkan mereka memilih dalam pemilu sebagai simbol kembalinya 
hak-hak sebagai warga negara, dan yang paling paripurna adalah meminta 
maaf kepada korban, meskipun ketika itu ia harus berpolemik dengan kaum 
santri, asal identitas kulturalnya sendiri. Teladan semacam itu 
menunjukkan paradigma Gus Dur sebagai pemimpin anti kekerasan.


Selain PKI, satu ideologi yang jiwanya hidup bersama negara ini adalah 
Islam. Cherian George dalam buku /Pelintiran Kebencian/ (2017) 
menjelaskan bahwa di masa