Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal
Ikutan komen utk komen bang anis yg ke empat "Kalo Abang bikin Ane seneng, dapur ngebul saban hari, hidup anak2 ade jaminana, terserah deh Abang mau kerja apa, Neoliberal kek, Sosialisme kek, Ane masih mau kok ame Abang " Ini sepertinya sama spt komen2 rakyat yg merasa jaman pak harto lebih baik dr pada sekarang..mo g ada demokrasi, mo utangmo bla bla..yang penting harga2 g naik dan semua terjangkau...??? Kalau saya sih berpendapat "How to get" juga awal yang harus diperhatikan...dari mana kita mendapatkan dan akhirnya bagaimana kita membelanjakan..(how we spend) juga harus dipertanggungjawabkan Tio Emang cuaca lg g jelas nih.. From: Anis Radianis To: PPIBelgia@yahoogroups.com Sent: Thursday, May 14, 2009 5:40:03 PM Subject: Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Wah berhubung nama gw disamber-samberin, ikutan komen deh. Komen Satu : Emang bener gw tahu Bang Faisal itu lurus, buktinya 5 tahun jadi pembimbing akademis gw padahal gw jurusan akuntansi.. Artinya orang yang lurus itu pasti senengnya sama yang lurus juga kayak gw... hehehe...(jangan protes yaa.. ) Nah masalahnya setelah enggak membimbing orang lurus kayak gw, gw kagak tahu yaa masih bisa lurus apa enggak ... hahahaha Komen Dua : Lagian kenapa ribut si Boed baru sekarang sih ? dan udah bisa ketebak ada yang enggak suka karena SBY enggak milih si 'X' dan si 'X' nyuruh agen mahasiswa untuk protes cara halus dengan modal at least 100 jeti (ini tarif waktu tahun 2000-an waktu Suharto turun). Mungkin karena inflasi sekarang udah naik kali yaa. Nah semakin banyak modal si 'X' dia bisa pesan in ke beberapa agen katakanlah dengan modal 1/2 sampai 1 milyar berarti sudah bisa membeli corong 5 elemen mahasiswa ato masyarakat. So enggak usah bingung, ini merupakan fenomena politik dan uang. Kalau pake istilah Naomi, inilah salah satu 'business model' politik di Indonesia, it works perfectly and make everybody involved in the system happy.. paling rakyat kebanyakan doang yang bengong2. To break the model sebenarnya gampang, buat aja regulasi yang mengharamkan praktek seperti ini. Tapi lucunya yang bikin regulasi yang ikut terlibat kok dan dapet manfaat alias profit, ya jadi kagak bisa berubah deh sampe tua... ciaaan deh.. Komen Tiga: Menarik bicara tentang Antek2, yang kalau kita nonton filemnya Indonesia bernuansa perjuangan disebut istilah 'Anjing Buduk Belanda' atau sederhananya orang-orang yang mau mengorbankan bangsanya sendiri demi segelintir uang. Atau makna lebih sempitnya, orang yang mau mengorbankan siapapun demi kepentingan pribadinya. Nah kalau si Boed dibilang antek2 IMF atau Amerika, gw rasa akan sulit membuktikannya, even Adam Malik pun dituduh agen CIA. Gw sendiri berpikir sebaiknya kita jaga baik2 para antek2 ini, jangan bikin marah mereka dan akhirnya membenci bangsa sendiri, kita buat mereka sadar pentingnya memikirkan nasib bangsa Indonesia. Mudah2an pada akhirnya mereka akan memihak bangsa Indonesia. So 'Anjing Buduk Amerika' atau bukan enggak penting, yang penting apa bisa bikin seluruh rakyat Indonesia hidupnya senang seperti kita2 ini yang di eropa... hehehe... Komen Empat: Kalo Abang bikin Ane seneng, dapur ngebul saban hari, hidup anak2 ade jaminana, terserah deh Abang mau kerja apa, Neoliberal kek, Sosialisme kek, Ane masih mau kok ame Abang, Tapi kalo Abang bikin Ane sepet, dapur kagak keruan ngebulnye, hidup anak2 blebetan, mau kerja jadi Neoliberal ato Sosialisme Ane kagak peduli lagi, Ane ogah dah ame Abang. Ane mau cari yang laen aje.. (pembicaraan suami dan istri betawi about hidup dan pilihan) Anis Cuaca Belgia lagi jelek banget.. kagak jelas... From: dendi ramdani To: ppibel...@yahoogrou ps.com Sent: Thursday, May 14, 2009 2:55:32 PM Subject: Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Betul... Tulisan Faisal Basri meluruskan pandangan banyak orang yg bengkok tentang Pak Budiono. Selama ini dia dicap beraliran neoliberal, atau antek-antek IMF/WB. Saya benci dengan orang-orang yang sok mencap neoliberalisme tanpa tahu binatang apa itu. Terutama orang yang sok kekiri-kirian atau sosialisme. Padahal nge-rokok-nya Marlboro... produk kapitalis tulen... he..he --- On Thu, 5/14/09, Sulistiono Kertawacana wrote: From: Sulistiono Kertawacana Subject: Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal To: ppibel...@yahoogrou ps.com Date: Thursday, May 14, 2009, 3:49 PM Hahahaha kok kampanye, inikan testimoni dari Faisal B yang dikeal juga ekonom "lurus" , bener kan Bung Dendi dan Bung Anis? hehe Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/ Furqon Azis wrote: kampanye niy -utong- From: Sulistiono Kertawacana To: "mail=milis- ika-unpad@ yahoogroups. com" ; ia-ip-unpad
Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal
Wah berhubung nama gw disamber-samberin, ikutan komen deh. Komen Satu : Emang bener gw tahu Bang Faisal itu lurus, buktinya 5 tahun jadi pembimbing akademis gw padahal gw jurusan akuntansi.. Artinya orang yang lurus itu pasti senengnya sama yang lurus juga kayak gw... hehehe...(jangan protes yaa.. ) Nah masalahnya setelah enggak membimbing orang lurus kayak gw, gw kagak tahu yaa masih bisa lurus apa enggak ... hahahaha Komen Dua : Lagian kenapa ribut si Boed baru sekarang sih ? dan udah bisa ketebak ada yang enggak suka karena SBY enggak milih si 'X' dan si 'X' nyuruh agen mahasiswa untuk protes cara halus dengan modal at least 100 jeti (ini tarif waktu tahun 2000-an waktu Suharto turun). Mungkin karena inflasi sekarang udah naik kali yaa. Nah semakin banyak modal si 'X' dia bisa pesan in ke beberapa agen katakanlah dengan modal 1/2 sampai 1 milyar berarti sudah bisa membeli corong 5 elemen mahasiswa ato masyarakat. So enggak usah bingung, ini merupakan fenomena politik dan uang. Kalau pake istilah Naomi, inilah salah satu 'business model' politik di Indonesia, it works perfectly and make everybody involved in the system happy.. paling rakyat kebanyakan doang yang bengong2. To break the model sebenarnya gampang, buat aja regulasi yang mengharamkan praktek seperti ini. Tapi lucunya yang bikin regulasi yang ikut terlibat kok dan dapet manfaat alias profit, ya jadi kagak bisa berubah deh sampe tua... ciaaan deh.. Komen Tiga: Menarik bicara tentang Antek2, yang kalau kita nonton filemnya Indonesia bernuansa perjuangan disebut istilah 'Anjing Buduk Belanda' atau sederhananya orang-orang yang mau mengorbankan bangsanya sendiri demi segelintir uang. Atau makna lebih sempitnya, orang yang mau mengorbankan siapapun demi kepentingan pribadinya. Nah kalau si Boed dibilang antek2 IMF atau Amerika, gw rasa akan sulit membuktikannya, even Adam Malik pun dituduh agen CIA. Gw sendiri berpikir sebaiknya kita jaga baik2 para antek2 ini, jangan bikin marah mereka dan akhirnya membenci bangsa sendiri, kita buat mereka sadar pentingnya memikirkan nasib bangsa Indonesia. Mudah2an pada akhirnya mereka akan memihak bangsa Indonesia. So 'Anjing Buduk Amerika' atau bukan enggak penting, yang penting apa bisa bikin seluruh rakyat Indonesia hidupnya senang seperti kita2 ini yang di eropa... hehehe... Komen Empat: Kalo Abang bikin Ane seneng, dapur ngebul saban hari, hidup anak2 ade jaminana, terserah deh Abang mau kerja apa, Neoliberal kek, Sosialisme kek, Ane masih mau kok ame Abang, Tapi kalo Abang bikin Ane sepet, dapur kagak keruan ngebulnye, hidup anak2 blebetan, mau kerja jadi Neoliberal ato Sosialisme Ane kagak peduli lagi, Ane ogah dah ame Abang. Ane mau cari yang laen aje.. (pembicaraan suami dan istri betawi about hidup dan pilihan) Anis Cuaca Belgia lagi jelek banget.. kagak jelas... From: dendi ramdani To: PPIBelgia@yahoogroups.com Sent: Thursday, May 14, 2009 2:55:32 PM Subject: Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Betul... Tulisan Faisal Basri meluruskan pandangan banyak orang yg bengkok tentang Pak Budiono. Selama ini dia dicap beraliran neoliberal, atau antek-antek IMF/WB. Saya benci dengan orang-orang yang sok mencap neoliberalisme tanpa tahu binatang apa itu. Terutama orang yang sok kekiri-kirian atau sosialisme. Padahal nge-rokok-nya Marlboro... produk kapitalis tulen... he..he --- On Thu, 5/14/09, Sulistiono Kertawacana wrote: From: Sulistiono Kertawacana Subject: Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal To: ppibel...@yahoogrou ps.com Date: Thursday, May 14, 2009, 3:49 PM Hahahaha kok kampanye, inikan testimoni dari Faisal B yang dikeal juga ekonom "lurus" , bener kan Bung Dendi dan Bung Anis? hehe Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/ Furqon Azis wrote: kampanye niy -utong- From: Sulistiono Kertawacana To: "mail=milis- ika-unpad@ yahoogroups. com" ; ia-ip-unpad ; "ILUNI-FHUI@ yahoogroups. com" ; 94 ; PPI Belgia Sent: Thursday, May 14, 2009 2:13:53 PM Subject: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 188 Kali - http://faisalbasri. kompasiana. com/2009/ 05/14/pak- boed-yang- saya-kenal/ Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata �sinopsis,� ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna. Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius se
Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal
Betul... Tulisan Faisal Basri meluruskan pandangan banyak orang yg bengkok tentang Pak Budiono. Selama ini dia dicap beraliran neoliberal, atau antek-antek IMF/WB. Saya benci dengan orang-orang yang sok mencap neoliberalisme tanpa tahu binatang apa itu. Terutama orang yang sok kekiri-kirian atau sosialisme. Padahal nge-rokok-nya Marlboro... produk kapitalis tulen... he..he --- On Thu, 5/14/09, Sulistiono Kertawacana wrote: From: Sulistiono Kertawacana Subject: Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal To: PPIBelgia@yahoogroups.com Date: Thursday, May 14, 2009, 3:49 PM Hahahaha kok kampanye, inikan testimoni dari Faisal B yang dikeal juga ekonom "lurus" , bener kan Bung Dendi dan Bung Anis? hehe Kind regards, Sulistiono Kertawacana http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/ Furqon Azis wrote: kampanye niy -utong- From: Sulistiono Kertawacana To: "mail=milis- ika-unpad@ yahoogroups. com" ; ia-ip-unpad ; "ILUNI-FHUI@ yahoogroups. com" ; 94 ; PPI Belgia Sent: Thursday, May 14, 2009 2:13:53 PM Subject: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 188 Kali - http://faisalbasri. kompasiana. com/2009/ 05/14/pak- boed-yang- saya-kenal/ Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata �sinopsis,� ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna. Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati. Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing� di bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga sekarang. Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih atau jauh lebih muda dari saya. Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi. Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet ,� jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun. Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. S
Re: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal
kampanye niy -utong- From: Sulistiono Kertawacana To: "mail=milis-ika-un...@yahoogroups.com" ; ia-ip-unpad ; "iluni-f...@yahoogroups.com" ; 94 ; PPI Belgia Sent: Thursday, May 14, 2009 2:13:53 PM Subject: [PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 188 Kali - http://faisalbasri. kompasiana. com/2009/ 05/14/pak- boed-yang- saya-kenal/ Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna. Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati. Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga sekarang. Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih atau jauh lebih muda dari saya. Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi. Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet ,” jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun. Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: “Tak ada yang konflik kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah … Keesokan harinya, saya membaca di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua mereka berwajah “cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan. Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito. Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka. Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu
[PPIBelgia] Sisi lain Pak Boed yang saya kenal
Sisi lain Pak Boed yang saya kenal Oleh Faisal Basri - 14 Mei 2009 - Dibaca 188 Kali - http://faisalbasri.kompasiana.com/2009/05/14/pak-boed-yang-saya-kenal/ Saya pertama kali mengenal Pak Boed pada akhir 1970-an lewat buku-bukunya yang enak dibaca, ringkas, dan padat. Pada akhir 1970-an. Kalau tak salah, judul-judul bukunya selalu dialawali dengan kata ”sinopsis,” ada Sinopsis Makroekonomi, Sinopsis Mikroekonomi, Sinopsis Ekonomi Moneter, dan Sinopsis Ekonomi Internasional. Kita mendapatkan saripati ilmu ekonomi dari buku-bukunya yang mudah dicerna. Pada suatu kesempatan, Pak Boed mengutarakan pada saya niatnya untuk merevisi buku-bukunya itu. Mungkin ia berniat untuk menulis lebih serius sehingga bisa menghasilkan buku teks yang lebih utuh. Kala itu saya menangkap keinginan kuat Pak Boed untuk kembali ke kampus dan menyisihkan waktu lebih banyak menulis buku. Karena itu, ia tak lagi berminat untuk kembali masuk ke pemerintahan setelah masa tugasnya selesai sebagai Menteri Keuangan di bawah pemerintihan Ibu Megawati. Pak Boed dan Pak Djatun (Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Perekonomian) bekerja keras memulihkan stabilitas ekonomi yang “gonjang-ganjing” di bawah pemerintahan Gus Dur. Hasilnya cukup mengesankan. Pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan terus menerus. Di tengah hingar bingar masa kampanye seperti dewasa ini, Ibu Mega ditinggalkan oleh wapresnya, dua menko, dan seorang menteri (Agum Gumelar). Ternyata perekonomian tak mengalami gangguan berarti. Kedua ekonom senior ini bekerja keras mengawal perekonomian. Hasilnya cukup menakjubkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan keempat 2004 mencapai 6,65 persen, tertinggi sejak krisis hingga sekarang. Selama dua tahun pertama pemerintahan SBY-JK, perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Tatkala muncul gelagat Pak SBY hendak merombak kabinet, sejumlah kawan mengajak Pak Boed bertemu. Niat para kolega ini adalah membujuk Pak Boed agar mau kembali masuk ke pemerintahan seandainya Pak SBY memintanya. Agar lebih afdhol, kolega-kolega saya ini juga mengajak Ibu Boed. Mungkin di benak mereka, Ibu bisa turut luluh dengan pengharapan mereka. Akhirnya, Pak Boed menduduki jabatan Menko Perekonomian. Mungkin sahabat-sahabat saya itu masih terngiang-ngiang sinyal penolakan Pak Boed dengan selalu mengatakan bahwa ia sudah cukup tua dan sekarang giliran yang muda-muda untuk tampil. Memang, Pak Boed selalu memilih ekonom muda untuk mendampinginya: Mas Anggito, Bung Ikhsan, Bung Chatib Basri, Mas Bambang Susantono, dan banyak lagi. Semua mereka lebih atau jauh lebih muda dari saya. Interaksi langsung terjadi ketika Pak Boed menjadi salah seorang anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Saya ketika itu anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden (anggota lainnya adalah Pak Widjojo Nitisastro, Pak Alim Markus, dan Ibu Sri Mulyani Indrawati). Ibu Sri Mulyani memiliki jabatan rangkap (jadi bukan sekarang saja), selain sebagai anggota Tim Asistensi juga menjadi sekretaris DEN. Pak BOed tak pernah mau menonjolkan diri, walau ia sempat jadi menteri pada masa transisi. Sikap rendah hati itulah yang paling membekas pada saya. Lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Kalau ditanya yang “nyerempet-nyerempet,” jawabannya cuma dengan tersenyum. Saya tak pernah dengar Pak Boed menjelek-jelekkan orang lain, bahkan sekedar mengkritik sekalipun. Tak berarti bahwa Pak Boed tidak tegas. Seorang sahabat yang membantunya di kantor Menko Perekonomian bercerita pada saya ketegasan Pak Boed ketika hendak memutuskan nasib proyek monorel di Jakarta yang sampai sekarang terkatung-katung. Suatu waktu menjelang lebaran, Pak Boed dan sejumlah staf serta, kalau tak salah, Menteri Keuangan dipanggil Wapres. Sebelum meluncur bertemu Wapres, Pak Boed wanti-wanti kepada seluruh stafnya agar kukuh pada pendirian berdasarkan hasil kajian yang mereka telah buat. Pak Boed sempat bertanya kepada jajarannya, kira-kira begini: “Tak ada yang konflik kepentingan, kan? Ayo kita jalan, Bismillah … Keesokan harinya, saya membaca di media massa bahwa sekeluarnya dari ruang pertemuan dengan Wapres, semua mereka berwajah “cemberut” tanpa komentar satu kata pun kepada wartawan. Adalah Pak Boed pula yang memulai tradisi tak memberikan “amplop” kalau berurusan dengan DPR. Tentang ini, saya dengar sendiri perintahnya kepada Mas Anggito. Ada dua lagi, setidaknya, pengalaman langsung saya berjumpa dengan Pak Boed. Pertama, satu pesawat dari Jakarta ke Yogyakarta tatkala Pak Boed masih Menteri Keuangan. Berbeda dengan pejabat pada umumnya, Pak Boed dijemput oleh Ibu. Dari kejauhan saya melihat Ibu menyetir sendiri mobil tua mereka. Kedua, saya dan isteri sekali waktu bertemu Pak Boed dan Ibu di Supermarket dekat kediaman kami. Dengan santai, Pak Boed mendorong keranjang belanja. Rasanya, hampir semua orang di sana tak sadar bahwa si pendorong keranjang itu adalah seorang Menko. Banyak lagi cerita lain yang saya dapatkan dari berbagai kalangan. Kemarin di bandara Soekarno Hatta setidaknya dua orang (pramugara dan staf